Mengenang Letkol Santoso dan Mayor Salim Batubara, Pahlawan Kepahiang yang Mulai Dilupa

Seminar literasi sejarah

Bengkulutoday.com - Tak ada orang-orang di Kepahiang yang akan mengingkari Letnan Kolonel Santoso dan Mayor Salim Batubara sebagai dua sosok pahlawan Kepahiang. Nama kedua sosok ini juga telah diabadikan sebagai nama jalan, bukan hanya di Kepahiang, tetapi juga di Curup, Bengkulu, Palembang dan beberapa kota lain di Provinsi Bengkulu dan Sumatera Selatan. Khususnya makam Letkol Santoso yang berada di Pemakaman Umum Pasar Ujung Kepahiang, selalu menjadi tujuan ziarah pada hari-hari besar nasional, seperti malam renungan suci Hari Proklamasi Kemerdekaan dan Hari Pahlawan.

Namun, pada kenyataannya, tidak banyak masyarakat yang mengenal dua pahlawan mati muda ini. Bagaimana sosok perjalanan perjuangan mereka tidak banyak masyarakat akan bisa bercerita tentang bagaimana kisah gugur mereka.

Santoso dan Salim Batubara, dua sosok mati muda, mereka yang dikenang, namun sekaligus juga kurang dikenal.

Letnan Kolonel Santoso, seorang pemuda Kepahiang, guru Taman Siswa, Komandan  Batalyon TKR Bengkulu gugur melawan pasukan dari Kompi I Nakani Tai Tentara Kekaisaran Jepang yang menguasai Kepahiang, pada 13 November 1945.

Mayor Salim Batubara, Komandan Batalyon I Sub Teritorium Bengkulu gugur pada 11 Februari 1949, saat berhadapan dengan 1 peleton pasukan dari Kompi Divisi D Palmboom Batalyon 16 AAT Kerajaan Belanda yang menguasai Kepahiang saat itu. 

Monumen Mayor Salim

Hanya dikenal lewat lisan

Belum ada juga banyak literatur yang menceritakan detail perjuangan mereka. Dari kepustakaan yang ada, maupun hasil penelitian dari pihak Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi, kisah-kisah mereka hanya secara garis besar. Kisah kedua pahlawan relatif lengkap sampai saat ini hanya dapat ditemui dalam 2 buku, yakni buku Sejarah Perjuangan Rakyat Kota Curup dan 400 Tahun Kepahiang. Walaupun harus diakui, kisah-kisah dalam dua buku itu ternyata melalui narasumber sayang sama, yakni Bapak Zainal Arifin Jamil (alm) dan Bapak Zainuri Mayang (alm). 

Kisah-kisah heroik kedua pahlawan ini pada faktanya hanyalah melalui sumber-sumber lisan, yang bukan pula ditulis atau dituturkan langsung oleh saksi mata atas sebuah peristiwa. Mau tidak mau kisah-kisah itu pun adalah percampuran fakta dan tafsiran-tafsiran yang tidak menutup kemungkinkan terkorupsi juga dengan suasana imajinatif penuturnya. Apalagi kisah-kisah itu pun tertuturkan dengan jangka waktu yang relatif panjang dengan peristiwa fisiknya. 

Penelurusan ini pun akan semakin sulit dilakukan hari ini. Selain tak ditemukannya lagi saksi mata, narasumber lisan yang dekat dengan saksi mata, ditambah juga  dengan ketiadaan dokumen otentik yang mendukung keberadaan dan perjalanan perjuangan kedua sosok pahlawan ini. 

Namun, dengan semua fragmentasi atau serpihan-serpihan kisah yang nyaris tak utuh ini, hal yang terpenting adalah kepercayaan dan pengakuan masyarakat, bahwa sosok ini memang pernah hadir dalam pentas perjalanan sejarah perjuangan rakyat Kepahiang. Versi-versi yang beredar tentang dua sosok ini pun akan semakin memperkaya khazanah sejarah bagi masyarakat Kepahiang. Segala kontroversi atau perdebatan tentang bagaimana mereka berperang dan gugur kita selalu yakini tidak akan pernah bisa melenyapkan sebuah fakta dan penghormatan kita, bahwa mereka benar-benar ada, mereka telah berjuang mempertaruhkan nyawa lalu gugur demi mempertahankan sang merah putih tetap berkibar di ujung tiang tertinggi di Indonesia ini.

Harapan selanjutnya, terutama sekali sebagai proyeksi ke depan dengan penyusunan buku perjuangan Mayor Salim Batubara yang digagas oleh Keluarga Besar Malik Batubara melalui Bang Hamid Batubara dan Bang Ramdan Malik, kita di Kepahiang akan semakin takzim mengenang pahlawan kita, karena kita sendiri telah semakin mengenalnya. 

Penghargaan yang tinggi patut diberikan kepada keluarga besar Malik Batubara, yang telah penuh kesungguhan berupaya mengumpulkan yang terserak lalu menghimpunnya kembali yang akan kita simak sebagai sebuah kisah yang akan mementas ulang kisah hidup dan perjuangan seorang anak muda yang bernama Salim Batubara.

Seminar

Kembali mengenang melalui literasi sejarah

Salim Batubara, sosok yang dikenang, sekaligus tak dikenal oleh masyarakat Kepahiang. Namun perjuangannya wajib diapresiasi dan dikenalkan pada generasi penerus sebagai upaya menjaga nilai kepahlawanan dan meneruskan perjuangan persatuan. 

Hari ini, Senin (09/12/19), Seminar Nasional Literasi Sejarah, Tribute to Pahlawan Kepahiang, Mayor Salim Batubara, dilaksanakan bersama Bupati Kepahiang, Ketua DPRD Kabupaten Kepahiang, Kadisdikbud Kepahiang dengan menghadirkan Sejarawan Bengkulu Tantawi Jauhari, Motivator Mang Geo, Bang Ramdan Malik, Bang Hamid Batubara dan Sejarawan Prof Dr Ahmad Mansur Suryanegara.

Disampaikan Sastrawan Bengkulu, Emong Soewandi yang juga hadir dalam acara tersebut mengatakan, menjaga nilai-nilai kepahlawanan adalah salah satu pembentukan karakter dan dedikasi untuk negeri. 

"Di mana, dengan mengenalkan biografi pahlawan yang sudah berkontribusi memperjuangkan kemerdekaan, ini tentu akan memberikan edukasi untuk generasi penerus. Apalagi jejaknya mulai atau malah sudah dilupakan, jelas sangat sayang jika kita sebagai generasi penerus hanya diam melihat hal tersebut," ujar Emong bernama Asli Firmansyah.

Diceritakan Emong, Kapten Salim Batubara merupakan salah satu pejuang kemerdekaan RI yang berjuang di wilayah Kepahiang. Prajurit gagah berani  yang menjabat Komandan Batalyon I Bengkulu itu akhirnya gugur setelah disergap 2 tank panser dan 1 tank mini pasukan Belanda.

Salim Batubara tewas tertembak di areal persawahan di tepian Sungai Air Kotok Desa Penanjung Panjang, Tebat Karai Kepahiang, 11 Februari 1949. Jasad prajurit yang gugur sebagai kesuma bangsa dikebumikan di Desa Penanjung Panjang.

Sebelum disergap, Salim Batubara bersama pasukannya sedang berada di Desa Embong Ijuk, Bermani Ilir. Tiba-tiba, muncul pasukan Belanda yang diperkuat 2 tank panser dan 1 tank mini yang langsung mengepung tempat persembunyian Salim Batubara dan pasukannya.

Saat itu, Salim Batubara bersama pasukannya berusaha melakukan perlawanan dengan persenjataan seadanya. Namun, pasukan Belanda yang dilengkapi 2 panser dan 1 tank mini terus berusaha merangsek. Merasa terdesak, Salim Batubara dan pasukannya langsung bergerak mundur. Tapi, Belanda terus melakukan pengejaran sambil memberondongkan tembakan. Akhirnya, Salim Batubara tewas tertembak tentara Belanda di Desa Penanjung Panjang.

***
Bisri, melalui catatan Emong Soewandi (Sastrawan)