Menelisik Risiko di Balik Kenaikan Iuran BPJS

BPJS Kesehatan

Sejarah awal terbentuknya BPJS Kesehatan dimulai pada Tahun 2014. Pada tanggal 1 Januari 2014, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 40/2004, dan Undang-Undang No. 24/2011, lembaga pemerintah Indonesia yang bertanggung jawab dalam mengelola asuransi kesehatan beralih menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

BPJS Kesehatan merupakan sebuah terobosan pemerintah untuk memberikan jaminan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Oleh karena itu, kehidupan seluruh warga negara Indonesia dan warga negara asing yang tinggal di Indonesia akan dipengaruhi oleh munculnya BPJS Kesehatan.

Namun, dalam penerapannya program BPJS Kesehatan menemui banyak persoalan. Di satu sisi membuka akses bagi masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan, tapi di sisi lain berdampak pada munculnya banyak permasalahan dari pemberi layanan.

Permasalahan keuangan BPJS Kesehatan terjadi dari tahun ke tahun belum mampu menemukan solusi jitu. Setiap tahun selalu mengalami defisit dan semakin besar. Sejak Tahun 2014, BPJS Kesehatan mengalami defisit mencapai sekitar Rp 1,9 triliun. Defisit terus berlanjut di Tahun 2015 yaitu menjadi Rp 9.4 triliun. Pada Tahun 2016 agak turun sedikit ke Rp 6.7 triliun karena ada kenaikan iuran. Defisit terus meningkat di Tahun 2017 menjadi Rp 13.8 triliun. Pada Tahun 2018 defisit kembali naik sebesar Rp 19.4 triliun dan diprediksikan akan lebih besar pada Tahun 2019 yakni mencapai Rp 28,5 Triliun.

Defisit yang terus membengkak tersebut disebabkan oleh tingginya klaim kesehatan peserta, sementara premi peserta tidak sebanding. Berbagai upaya untuk mengatasi situasi gawat darurat ini terus diupayakan. Pemerintah pun terpaksa harus memberikan suntikan dana untuk memastikan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berjalan terus. Namun, solusi emergency tersebut bersifat jangka pendek.

Pada Tahun 2020 Pemerintah akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebagai salah satu opsi untuk menambal defisit. Kenaikan tarif mencapai 100 persen untuk kelas 1 dan 2. Kepastian mengenai tarif baru BPJS Kesehatan masih menunggu keluarnya peraturan presiden. Mengacu pada usulan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tarif JKN peserta mandiri kelas II dari Rp 51.000 akan naik menjadi Rp 110.000 per bulan. Sementara untuk kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 per bulan.

Kenaikan ini menuai banyak komentar dari berbagai pihak terutama terkait risiko yang akan ditimbulkan apabila kebijakan tersebut dilaksanakan. Dalam hal ini Risiko yang akan muncul adalah risiko yang bersifat fundamental yakni menimbulkan dampak yang sangat luas. Risiko-risiko tersebut antara lain :

Risiko Kerugian

Jika kebijakan tersebut diterapkan berpotensi akan menimbulkan tunggakan yang semakin besar, sehingga defisit BPJS bukannya berkurang malah akan semakin bertambah. Tunggakan yang semakin besar karena tingginya tarif  iuran untuk kelas 1 dan kelas 2 mengakibatkan adanya perpindahan kelas peserta menjadi kelas 3 yang ditanggung pemerintah sebagai penerima bantuan (PBI), jika hal tersebut terjadi maka potensi yang diterima dari peserta kelas 1 dan 2 pun akan hilang.

Risiko Kehilangan Pangsa Pasar

Kenaikan iuran BPJS yang tidak diimbangi dengan perubahan dalam hal kualitas pelayanan kesehatan akan menyebabkan masyarakat lebih tertarik untuk beralih ke asuransi swasta karena perbedaan tarif yang semakin kecil antara BPJS dan asuransi swasta.

Risiko Inflasi

Meskipun tidak terlalu signifikan, kenaikan iuran tersebut secara langsung juga pasti akan menimbulkan risiko inflasi. Di mana, akan mendorong administered price atau harga yang diatur pemerintah melonjak lebih tinggi dari sebelumnya. Masyarakat nantinya juga akan mengurangi pembelian barang-barang lain agar mampu menutupi biaya jaminan kesehatan. Pengaruh kenaikan iuran BPJS Kesehatan terhadap inflasi akan langsung terasa begitu keputusan ditetapkan oleh pemerintah.

Risiko Peningkatan Kemiskinan

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diusulkan pemerintah berpotensi menambah jumlah orang miskin, karena ada sekitar 8 juta jiwa dari kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin menjadi peserta mandiri. Mereka tidak dapat subsidi alias bayar sendiri. Jika peserta BPJS Mandiri sudah kesulitan membayar iuran, tidak menutup kemungkinan kepesertaannya di BPJS ditanggalkan. Capaian universal health coverage atau cakupan kesehatan semesta pun semakin menjauh dari 100 persen. Dengan demikian, target pemerintah tentang jaminan kesehatan tidak akan tercapai.

BPJS Kesehatan merupakan lembaga yang memiliki peran krusial dalam menjamin masa depan kesehatan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah mengkaji kembali mengenai rencana kenaikan iuran tersebut serta harus dapat mengelola dan menangani risiko-risiko yang mungkin akan muncul guna menghindari kegagalan yang dapat membahayakan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Lisa-Hedi-Ade, S1 Akuntansi Universitas Bengkulu