Memutus Rantai Penyebaran Radikalisme di Kalangan ASN

ilustrasi

Oleh : Edi Jatmiko )*

Paham radikal masih menjadi ancaman bangsa Indonesia dan dapat menyasar semua golongan, termasuk kalangan Aparatur Sipil Negara. Diperlukan langkah konkret dan simultan agar mata rantai penyebaran radikalisme dapat dihentikan karena ASN merupakan ujung tombak pelayanan negara. 

Jika diibaratkan paham radikal adalah benih dari terorisme. Maka benih itu tentu akan sulit untuk tumbuh pada lahan yang tandus. Namun jika benih itu dibiarkan pada lahan yang subur, maka bukan tidak mungkin benih itu akan tumbuh.

Salah satu lahan subur bagi paham radikal adalah lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan BUMN. Hal ini dibuktikan dengan adanya ASN yang terlibat dalam kasus terorisme seperti aksi teror bom di Medan.

Keberadaan ASN yang terpapar oleh paham radikal layaknya angin yang bisa dirasakan, namun tidak bisa terlihat secara kasatmata. Baru ketahuan terpapar paham radikal setelah ada Asng N yang diproses hukum karena terlibat aksi terorisme.

Salah satu cara mengenali ASN yang terpapar paham radikal adalah sikapnya yang intoleran dan tidak mau menghargai pendapat maupun keyakinan orang lain. Dirinya sangat fanatik sehingga menganggap bahwa apa yang diyakininya adalah yang paling benar dan yang lain adalah salah bin sesat.

Tentu saja cukup mudah menemukan ASN yang sudah terpapar radikalisme, namun tentu saja seseorang tidak dapat diproses secara hukum hanya karena dituduh terpapar paham radikal.

Masyarakat pun telah resah melihat ASN yang terpapar paham radikal. Keresahan ini dikarenakan ASN yang bertugas cenderung bersikap diskriminatif dan hanya ingin melayani yang sealiran dengan dirinya.

Atas keresahan tersebut, 12 kementerian pun memiliki landasan untuk menandatangani kerja sama untuk menangani masalah radikalisme di kalangan ASN.

Tidak hanya meneken kerjasama, namun pada kesempatan tersebut juga menjadi momen peluncuran portal aduanasn.id yang digunakan untuk menampung pengaduan masyarakat terhadap ASN yang terpapar paham radikalisme.

Terdapat 11 pon yang menjadi fokus pengaduan ASN terpapar radikalisme, misalnya seperti menyebarluaskan audio, gambar dan video yang memuat ujaran kebencian terhadap pancasila dan UUD 1945.

ASN juga bisa dilaporkan apabila memberikan tanggapan atau dukungan sebagai tanda sesuai pendapat dengan memberikan likes, dislike, love, retweet atau comment di sodial media terhadap konten radikalisme.

Negara tentu harus bertindak tegas terhadap ASN yang terbukti terpapar paham radikal. Apalagi ASN digaji dari uang rakyat. Oleh karena itu sudah semestinya ASN bersikap netral dalam melayani masyarakat tanpa memandang suku, agama, maupun antar golongan.

ASN sebagai profesi, sesuai perintah undang-undang nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, berlandaskan pada prinsip antara lain nilai dasar. Nilai dasar yang dimaksud menurut pasal 4 adalah memegang teguh ideologi pancasila, setia dan mempertahankan UUD 1945 serta pemerintahan yang sah.

Dalam upaya memutus rantai penyebaran paham radikal, ada 2 strategi yang diatur dalam UU antiterorisme, yakni kontraradikalisasi dan deradikalisasi. Kontraradikalisasi adalah upaya penanaman nilai-nilai keindonesiaan serta nilai-nilai non-kekerasan.

Kontraradikalisasi ini bisa dilakukan melalui pendidikan formal maupun non-formal. Bisa juga dengan menjalin kerjasama dengan tokoh informal terkait dengan penanaman nilai-nilai kebangsaan.

Sedangkan deradikalisasi merupakan upaya terencana, terpadu, dan berkesinambungan yang bertujuan untuk menghilangkan atau membalikkan pemahaman radikal yang telah terjadi. 

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo mengungkapkan ada sejumlah pegawai negeri sipil atau PNS yang gagal dalam seleksi eselon 1 dan 2 karena terpapar radikalisme.

Tjahjo mengatakan bahwa setiap pejabat eselon 1 dan 2 harus bersih dari paparan paham radikali, narkoba dan korupsi. Selain itu, mereka harus memahami masalah yang berkaitan dengan gratifikasi dan PPATK.

Disisi lain, yang tidak kalah penting adalah mencegah radikalisme sejak proses rekrutmen ASN. Sehingga perlu adanya kewaspadaan pemerintah terhadap kemungkinan adanya calon pegawai negeri sipil yang terpapar paham radikal. 

Tentu saja hal ini tidak cukup hanya dilakukan dengan tes kompetensi dasar dan kompetensi bidang. Bila perlu, pemerintah dapat melacak rekam jejak digita calon ASN terkait dengan konten radikalisme.

Para ASN yang secara terang-terangan menyuarakan paham radikal tentu wajib mendapatkan tindakan tegas. Kalau perlu direhabilitasi agar para ASN tersebut dapat menunjukkan sumpah setianya kepada NKRI, Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan dan ideologi bangsa yang tidak bisa ditawar.  

)* Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini