Maraknya Kekerasan Bersenjata di Wilayah Global

ilustrasi.net

Oleh : RA Wulandari

Kondisi keamanan global pada September 2019 masih diwarnai berbagai kekerasan bersenjata bernuansa teror maupun kriminal dengan target bervariasi, seperti aparat keamanan, pejabat publik, dan warga sipil. Selain menggunakan senjata api, serangan juga marak dilakukan dengan teror bom berbagai varian, membajak, menculik, dan serangan menggunakan senjata tajam. Dari sejumlah sumber yang ada, kekerasan bersenjata terjadi di beberapa wilayah ini. 

Berdasarkan istilahnya, kekerasan bersenjata atau bisa dikatakan sebagai konflik bersenjata, Pietro Verri menyatakan bahwa konflik bersenjata (armed conflict) merupakan ungkapan umum yang mencakup segala bentuk konfrontasi antara beberapa pihak, yaitu dua degara atau lebih; suatu negara dengan suatu entitas bukan negara; suatu negara dan suatu faksi pemberontak; atau dua kelompok etnis yang berada di dalam suatu Negara. 

Di kawasan Asia Tenggara, kekerasan bersenjata terjadi di Filipina, Malaysia, dan Vietnam. Di Filipina, terjadi 33 aksi teror dan kekerasan bersenjata dengan korban tewas sebanyak 28 orang, di antaranya penembakan oleh New Peoples Army (NPA) di Prov. Samar yang menewaskan anggota parlemen lokal (Claudio Gabiana) beserta istrinya. Di Malaysia, kelompok Abu Sayyaf Group (ASG) menculik 3 WNI yang merupakan anak buah kapal berbendera Malaysia di perairan Sabah. Di Vietnam, terjadi ledakan bom paket di Kota Hanoi, namun tidak menimbulkan korban jiwa. 

Di kawasan Asia Selatan, konflik bersenjata diantaranya tercatat di Afghanistan, Bangladesh, Pakistan, dan India. Di Afghanistan, terjadi 33 aksi teror dan kekerasan bersenjata dengan korban jiwa sebanyak 353 orang, di antaranya serangan bom Taliban yang menargetkan kampanye Presiden Asraf Ghani dan Kedubes AS di Kota Kabul, mengakibatkan 48 orang tewas. Di Bangladesh, kelompok afiliasi ISIS melakukan serangan bersenjata dan bom di Kota Dhaka dan Coxs Bazar yang menewaskan 3 orang. Di Pakistan, terjadi 5 kasus teror dan kekerasan bersenjata dengan korban tewas sebanyak 8 orang, seperti serangan bom motor oleh kelompok Tehrik e Taliban Pakistan (TTP) di Balochistan yang menewaskan 3 orang. Di India, terjadi 4 kasus teror dan kekerasan bersenjata yang menewaskan 5 orang, di antaranya ledakan bom oleh Communist Pary of India (CPI) yang menargetkan pekerja konstruksi rel kereta di Chhattisgarh, sehingga menewaskan 3 pekerja. 

Di kawasan Timur Tengah, konflik bersenjata diantaranya terjadi di Yaman, Suriah, dan Irak. Di Yaman, terjadi 4 kasus teror dan kekerasan bersenjata dengan korban tewas sebanyak 10 orang, seperti serangan bom terhadap patroli militer di Hadramaut yang menewaskan 4 tentara. Di Suriah, terjadi 4 insiden teror dan kekerasan bersenjata yang menewaskan 21 orang, di antaranya peledakan bom mobil oleh kelompok ISIS dekat rumah sakit di Al Rai yang berbatasan dengan Turki yang menewaskan 10 orang. Di Irak, terjadi 6 aksi teror dan kekerasan bersenjata yang menewaskan 31 orang, di antaranya aksi peledakan bom mobil oleh milisi ISIS di Karbala yang menewaskan 12 orang.

Di kawasan Afrika, kekerasan bersenjata terjadi di Nigeria, Burkina Faso, Mesir, Tunisia, Mali, Kongo, Kamerun, Afrika Selatan, dan Somalia. Di Nigeria, terjadi 8 kasus teror dan kekerasan bersenjata yang menewaskan 38 orang, di antaranya serangan Boko Haram terhadap Kamp Militer di Yobe, mengakibatkan 5 tentara tewas. Di Burkina Faso, terjadi 8 aksi teror dan kekerasan bersenjata dengan korban tewas sebanyak 101 orang, di antaranya ledakan bom di wilayah Ougadougou yang menewaskan 29 orang. Di Mesir, kelompok yang berafiliasi dengan ISIS melakukan aksi penembakan dan peledakan bom di Kota Rafah, Sheikh Zuweid, dan Sinai yang menewaskan 19 orang. Di Tunisia, Kelompok Al Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM) menembak mati 4 polisi di Haidra. 

Di Mali, kelompok Ansar Ul Islam menyerang pos militer di Mopti yang menewaskan 53 tentara, sementara di lokasi yang sama, kelompok Jamaat Nasr al-Islam Wal Muslimin (JNIM) menembak mati 20 warga sipil. Di Kongo, kelompok bersenjata tidak dikenal menembak mati 14 warga sipil di wilayah Ituri. Di Kamerun, kelompok Boko Haram menembak mati 6 tentara di Fotokol. Di Afsel, kelompok nasionalis radikal Afsel menembak mati 7 warga asing di Kota Johanesburg. Di Somalia, terjadi 17 aksi teror dan kekerasan bersenjata yang menewaskan 83 orang, di antaranya peledakan bom mobil oleh milisi Al Shabaab terhadap kamp militer di Lower Shabelle yang menewaskan 23 tentara. 

Sementara di Eropa, negara yang menghadapi kekerasan bersenjata di antaranya Perancis, Jerman, Inggris, Turki, Italia, dan Yunani. Di Perancis, terjadi 2 aksi penikaman terhadap pejalan kaki di Kota Lyon yang menewaskan 1 orang. Di Jerman, kelompok anti imigran melakukan aksi penembakan di Taunusstein, namun tidak ada korban jiwa. Di Inggris, Kelompok New IRA membom kantor polisi di Strabane, namun tidak menimbulkan korban jiwa. Di Turki, kelompok PKK menembak mati 7 orang di wilayah Kulp. Di Kota Milan, Italia, terjadi penikaman oleh pelaku tunggal, namun tidak menimbulkan korban jiwa. Di Yunani, terjadi penembakan oleh pelaku tunggal di Kota Pefki, namun tidak ada korban jiwa. 
Di kawasan Amerika sebagai salah satu benua yang dikenal paling maju, kekerasan bersenjata juga terjadi di Nicaragua, Kolombia, bahkan Amerika Serikat (AS). Di Nicaragua, kelompok Nicaraguan Patriotic Alliance (ANP) melakukan pemboman di Corinto, Managua, dan Masaya, namun tidak ada korban jiwa. Di Kolombia, kelompok Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia (FARC) menembak mati kandidat wali kota, Karina Garcia dan 5 orang lainnya di Bogota. Di AS, terjadi penembakan di Kota Texas dan Kota Alabama yang menewaskan 18 orang. 

Sementara itu, operasi militer anti teror yang dilakukan di beberapa negara berhasil menewaskan sejumlah pimpinan/tokoh kelompok militan, di antaranya Syekh Salah al Qasimi (AQIM/Tunisia), Okba Ibn Nafaa (AQIM/Tunisia), Nanz Sawadjaan (ASG/Filipina), dan Mullah Rahmat (Taliban/Afghanistan).
Aksi teror dan kekerasan bersenjata pada September 2019 tercatat sebanyak 148 kasus dengan jumlah korban tewas mencapai 836 orang, yang tersebar di 29 negara. Kasus terbanyak terjadi di Philipina dan Afghanistan (masing-masing 33 kasus), serta Somalia (17 kasus). Sementara itu, jumlah korban tewas terbanyak terjadi di Afghanistan (353 orang), Burkina Faso (101 orang), dan Somalia (83 orang). Sedangkan kasus yang mendapat perhatian dunia internasional karena menimbulkan korban jiwa masif dalam satu insiden, di antaranya peledakan bom di Mopti, Mali (53 orang); Kabul, Afghanistan (48 orang); dan Ougadougou, Burkina Faso (29 orang). Di sisi lain, kasus penculikan 3 WNI oleh kelompok ASG di perairan Sabah menjadi perhatian negara-negara di kawasan Asia Tenggara, karena telah berulang kali terjadi. 
Dari jumlah kasus dan korban tewas, aksi teror dan kekerasan bersenjata pada September 2019 mengalami penurunan dibandingan dengan periode Agustus 2019 yang hanya sebanyak 220 kasus dengan korban jiwa sebanyak 889 orang. Namun demikian, data tersebut belum dapat dijadikan indikator keberhasilan meredam aksi teror dan kekerasan bersenjata global, mengingat berbagai akar persoalan pemicunya belum juga terselesaikan. Oleh karena itu, potensi ancaman teror dan kekerasan bersenjata global diperkirakan masih cukup tinggi, terutama di negara-negara yang masih mengalami konflik. 
Selain masalah ideologi, persoalan kriminal maupun isu rasisme masih akan menjadi faktor pemicu utama ancaman teror dan kekerasan bersenjata global ke depan. Apalagi, belum adanya strategi anti teror global yang saling terintegrasi dan berlanjutnya perang proxy antar major power di berbagai kawasan. Di samping itu, propaganda kelompok teror juga masih berlanjut, terutama melalui media non-mainstream yang rentan memicu aksi lone wolf di berbagai negara. 

Kekerasan bersenjata bukanlah suatu hal yang normal yang terjadi di negara beradab. Negara beradab berisikan masyarakat yang memiliki pengetahuan dan ketaatan akan hukum yang berlaku. Bahkan, berdasarkan artikel yang dimuat oleh artikel di situs CNN Indonesia mengatakan, bahwa kekerasan bersenjata yang terlalu sering akan lebih mematikan dibandingkan kasus kematian yang disebabkan oleh penyakit, seperti Ebola. Pasalnya, kekerasan bersenjata dipercaya dapat menular. Setiap individu harus melakukan suatu hal untuk mengantisipasi kekerasan bersenjata yang marak terjadi di wilayah global. Dengan segala risiko dan tanggung jawab yang ada, penanangan kasus ini tidak bisa hanya diakukan oleh pemerintah melainkan perlu adanya bantuan dari setiap individu yang ada. Hal ini karena kekerasan bersenjata seringkali bersumber dari kesalahan pendidikan dan pengaruh lingkungan yang memicu pelaku untuk melakukan kekerasan bersenjata. 
Kekerasan bersenjata merupakan isu serius yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari seluruh individu. Apabila tidak segera ditanggulangi, jumlah korban jiwa akibat peristiwa ini akan semakin bertambah. Lebih buruk, kekerasan bersenjata mampu menggoyahkan keamanan suatu negara yang dapat mengganggu aktivitas sosial dan ekonomi suatu negara, yang pada akhirnya dapat mengancam stabilitas negara itu sendiri.