Kurang Tepat Membandingkan Kasus Covid-19 di Indonesia dan China

ilustrasi

Oleh : Edi Jatmiko )*

Jumlah pasien Corona di negeri ini masih stabil di atas angka 1.000 orang per hari. Orang-orang jadi membandingkan keadaan Indonesia yang dianggap sama parahnya dengan di Tiongkok. Padahal perbandingan ini tidak apple to apple karena luas wilayah, jumlah penduduk dan pasiennya berbeda. Sangat tidak adil jika dibandingkan satu sama lain.

Achmad Yurianto, juru bicara gugus tugas penanganan Covid-19 di Indonesia menegaskan bahwa jangan pernah membandingkan kasus Corona di Indonesia dengan Tiongkok. Penyebabnya adalah jumlah pasien pernah mencapai 1.800 orang per hari, jumlah yang hampir sama dengan di Tiongkok. Masyarakat jadi mempertanyakan kinerja gugus tugas.

Padahal perbandingan ini jelas tidak sama. Yuri menegaskan bahwa jumlah pasien ini tak bisa disamakan dari segi epidemiologinya. Karena tiap negara memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga penanganannya beda. Ia dan seluruh anggota gugus tugas lain fokus untuk bekerja maksimal, tanpa menoleh dan membandingkan dengan keadaan negara lain.

Tri Yunis Miko, ahli epidemiologi dari UI menegaskan bahwa jumlah pasien Corona hampir serupa, namun dilihat dulu jumlah penduduknya. Di Indonesia ada 260 juta penduduk dan pasien Covid-19 ada 1.800 orang. Sedangkan di Huabei, Tiongkok, jumlah penduduknya hanya 20.000 orang dengan pasien hampir 2.000 orang. Jadi keadaan di Indonesia jauh lebih aman.

Miko juga menambahkan bahwa untuk menangani Corona, penduduk Indonesia harus punya tekad yang tinggi. Dalam artian kita seharusnya tetap pakai masker kain, mematuhi protokol kesehatan dan menjaga imunitas tubuh dan lingkungan. Karena bertekad kuat untuk bebas dari serangan virus Covid-19 dan tidak mau menularkannya kepada orang lain.

Menurut Miko, gugus tugas sudah membagi wilayah di Indonesia jadi zona hijau, kuning, jingga, dan merah. Jadi masyarakat bisa paham dan tidak berkunjung (untuk sementara) ke wilayah zona kuning, jingga, dan merah. Kalaupun wilayahnya termasuk zona hijau, jangan ceroboh dan melepas masker, karena masih ada potensi tertular coron dan warna zona berubah.

Memang lebih baik konsentrasi pada penanganan Covid-19 daripada sibuk melihat ke Tiongkok. Bukankah kita lebih baik bekerja sama mengatasi Corona, daripada membandingkan jumlah pasien Covid-19? Lagipula, saat membandingkan jumlahnya, lantas  apa gunanya? Malah terkesan tidak menghargai kerja keras gugus tugas penanganan Covid-19.

Jika masyarakat mem-bully kinerja gugus tugas tapi ceroboh dan tidak menaati protokol kesehatan, maka dikhawatirkan bisa ada serangan Corona jilid 2. Ketika sudah seperti ini, jangan salahkan orang lain. Jangan sampai kuman di sebrang pulau tampak tapi gajah di pelupuk mata jelas terlihat. Perundungan terhadap gugus juga bisa masuk ke UU ITE dan diancam hukuman.

Jumlah pasien Covid-19 yang melonjak adalah hasil gencarnya tes spesimen yang dilakukan oleh pemerintah, di seluruh provinsi di Indonesia. Jadi masyarakat diharap tidak mengejek gugus tugas, karena mereka sudah bekerja semaksimal mungkin. Para anggota gugus sudah keluar-masuk RS untuk mencari data dan membantu penanganan pasien, jadi wajib dihargai,

Lebih baik kita tahu dari hasil tes spesimen kalau tertular coron lantas lekas diobati. Daripada jadi Orang Tanpa Gejala lalu meninggal mendadak. Miris sekali, bukan? Jadi ketika ada tawaran untuk rapid test dari pihak berwajib, jangan langsugn lari tunggang-langgang. Hadapi saja dan pasti kita tidak positif hasilnya, ketika sudah disiplin menaati protokol kesehatan.

Jangan membandingkan jumlah pasien Covid-19 di Indonesia dengan negara lain, apalagi Tiongkok. Karena karakteristik dan jumlah penduduknya jauh berbeda. Lebih baik kita fokus bekerja sama dalam menangani Corona. Serta membantu gugus tugas penanganan Covid-19 dalam mengatasi pandemi Covid-19.

)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini