Kubangan Demokrasi Membawa Pada Krisis Keadilan

Ratna Sari

Keadilan pada saat ini sungguh amat sangat sulit untuk didapatkan, biasa nya keadilan selalu tidak memihak kepada mereka yang kritis terhadap penguasa dan pemerintah, atau yang tidak pro terhadap pemerintah, juga tidak memihak kepada rakyat biasa yang tidak memiliki uang untuk dapat menyogok alias membayar untuk membungkam. Keadilan dapat diperjual belikan, juga dapat di ibaratkan tajam kebawah tumpul keatas. 

Baru-baru ini rakyat dihebohkan dengan kasus penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni Novel Baswedan, dimana pelaku hanya mendapatkan tuntutan 1 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sungguh tuntutan yang sangat ringan, padahal apa yang dialami Novel Baswedan menyebabkan mata sebelah kiri beliau menjadi cacat permanen alias buta, dan mata sebelah kanannya tinggal 60 % penglihatan.

Awal mula nya kasus ini yakni pada tahun 2017 awal kelam bagi Novel, pasal nya pada tanggal 11 April 2017 lalu beliau diserang oleh dua orang yang tak dikenal dengan menggunakan sepeda motor, dua orang tersebut menyiramkan air keras kemuka atau wajah Novel Baswedan pada saat berjalan menuju kediamannya, setelah menunikan ibadah Shalat Subuh di Masjid Al-Ihsan, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Pengungkapan kasus ini juga dibilang pelik, lama dan juga terkesan tidak serius dalam menanganinya.

Hingga pada akhirnya pelaku ditemukan dan diduga kuat dari kalangan polri. Padahal Presiden Joko Widodo juga sempat memberikan target ke Kapolri yakni Jenderal Pol Tito Karnavian, untuk mengungkap kasus Novel dalam tiga bulan. Setelah itu Tito Karnavian membentuk sebuah tim pencarian fakta, tetepi dalam kurun waktu yang diberikan, kasus tersebut belum juga terungkap. Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar sekaligus menyingkap apakah adanya kerja sama antar pelaku dan juga polri? Ataukah ada hal yang lain nya?

Dikutip dari detiknews, pada kamis, 11/06/2020, alasan jaksa memberikan tuntutan tersebut yakni dinilai bahwa dalam fakta persidangan, terdakwa tidak pernah menginginkan untuk melakukan penganiayaan berat. Jaksa juga menyebut dakwaan primer yang didakwakan dalam kasus tidak terbukti. Selain itu juga terdakwa telah mengakui perbuatan nya, juga kedua pelaku telah meminta maaf.

Selain itu Pengamat Politik yakni Rocky Gerung juga buka suara atas persoalan ini, menurut Rocky ibaratkan air keras yang digunakan pelaku saat penyiraman ke mata Novel Baswedan adalah air keras kekuasaan. Untuk itu, beliau meminta agar publik tidak buta dengan proses pradilan.

 Kasus ini tentu nya bukan satu-satu nya kasus yang tidak mendapatkan keadilan, pasal nya ada beribu kasus juga yang sama sekali tidak mendapatkan keadilan. Dari para penista agama, kriminalisasi, persekusi, dan juga diskriminasi terhadap ulama, agama dan juga beserta ajaran-ajaran Islam. Mereka semua masih bebas berkeliaran, sengat kebal dengan hukum, serta seolah-olah mereka memiliki orang dalam sehingga sangat sulit untuk dapat masuk kedalam jeruji besi dimana tempat seharusnya mereka berada. 

Lain hal nya juga para tikus berdasi alias koruptor, dimana para tikus berdasi bak jamur yang tumbuh subur dimusim hujan, begitu banyak dan menjamur dimana-mana. Para koruptor di ibaratkan seperti bunglon yang mudah berubah warna. Didepan kamera dan televisi mereka membungkus diri dengan pemanis pembela rakyat, dibelakang ternyata sibuk merampok dan merampas uang rakyat. 

Hukuman yang diberikan untuk para perampok uang rakyat juga terkesan kurang adil, serta tumpang tindih antar lembaga penegak hukum. Mekanisme pengadilan juga sangat tidak efektif dan efisien karena prosesnya begitu rumit, bertele-tele dan berujung tanpa kepastian yang jelas. Cukup memperihatin, melihat banyak generasi dan juga kaderisasi koruptor yang kian berkembang. 

Kasus Novel Baswedan bukan hanya contoh dari ketidak adilan hukum di Negara yang menganut demokrasi. Bahkan banyak kasus dan rekam jejak digital dengan mudah ditemukan pada sistem demokrasi. Lembaga hukum juga sudah tidak mendapatkan kepercayaan penuh dari rakyat. Selain itu penggunakan hukum untuk kepentingan pemerintah dan penguasa tentu hal yang wajar dalam sistem ini. 

Itulah keadilan yang ada didalam sistem demokrasi, keadilan yang sangat sulit untuk didapatkan. Makna dari sila ke Lima dalam pancasila hanyalah pemanis dan pajangan semata. Padahal nyata nya tidak terealisasi sama sekali. Kepentingan rakyat juga semakin dinomer akhirkan dan makin dipinggirkan.

Berbeda sekali dengan Sistem Khilafah, dimana keadilan murni dan mutlak berada dalam hukum Syar’a. Hukum yang diterapkan juga bukan berasal dari nafsu buatan dan ciptaan manusia, melainkan murni dari sang pencipta yakni Allah SWT. Ketika hukum Allah yang diterapkan dan diambil, maka keadilan benar-benar akan diproleh dan didapatkan. Tidak akan ada unsur kepentingan politik didalamnya.

Sebagaimana Allah SWT telah berfirman:

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapa yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. (QS. Al-Maidah ayat 50)

Kebijakan yang berdasarkan hasil pemikiran akal manusia tentu tidak akan membawa keadilan, karena pada dasarnya akal manusia terbatas. Tentu kebijakan, dan juga keputusan serta hukum yang ada berdasarkan hawa nafsu semata. Bahkan bisa jadi untuk kepentingan dan keuntungan mereka. Dalam surah diatas juga sudah Allah peringatkan bahwasan nya hendaklah menggunakan dan memakai hukum serta aturan yang berasal dari sang Khaliq yakni Allah SWT. Karena hukum Allah lah yang mempu memberikan keadilan yang seadil-adilnya, bukan seperti sistem demokrasi yang hanya ilusi yang tidak akan menjadi kenyataan. 

Bagi Khalifah wujud ketaqwaan kaum muslim yakni tegak nya hukum-hukum Allah. Keadilan dalam sistem Khilafah tentu akan dirasakan bukan hanya untuk umat muslim, tapi non muslim juga dapat merasakan nya. Sistem khilafah juga tidak akan tumpang tindih dalam menjalankan roda pemerintahan. 

Begitupun terhadap kasus Novel Baswedan, dalam Islam sudah sangat jelas bahwasan nya kejahatkan yang dialami beliau seharusnya diqishas, dimana darah dibayar dengan darah. Tetapi juga dapat dengan denda atau diyat apa bila keluarga telah memaafkan. Diyat juga harus sesuai dengan kadar yang telah ditetapkan syariat Islam. Dalam riwayat Imam Malik dalam Muwattha, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Pada satu biji mata, diyat nya 50 ekor unta.”

Hukum yang diberikan Islam bukan hanya membuat jera, bukan juga hanya sebagai pencegah terjadinya kejahatan baru, tetapi juga sebagai penebus dosa di akhirat kelak. Pelaku yang sudah diberikan hukuman yang sesuai dengan syariat Islam tidak akan dihisab lagi atas kejahatan yang dilakukan nya, karena sudah mendapatkan hukuman didunia yakni sudah menebus dosanya. 

Tentu keadilan semacam ini tidak akan pernah didapatkan dalam kubangan demokrasi, dimana sistem ini tidak akan dapat menyelesaikan persoalan keadilan, apa lagi persoalan dan problematika yang lainnya. Justru yang ada akan menimbulkan dan membawa berbagai macam masalah baru. Akan menimbulkan banyak cabang permasalahan yang tidak memiliki arah kejelasan serta solusi yang nyata.

Semua itu akan terlaksana dan terealisasikan apa bila kita mengambil dan menerapkan hukum Islam yakni dalam bingkai Khilafah. Sistem Khilafah akan menegakan hukum Allah, dan melaksanakan nya dengan Iman dan Ketaqwaan dalam segala aspek kehidupan. Selain itu rakyat yang berada dalam sistem Khilafah pun senantiasa akan patuh dan senantiasa akan bertaqwa. Sehingga Allah SWT akan menurunkan berkahnya dari langit dan bumi. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-A’raf ayat 96. Wallah’uallam.

*Ratna Sari, Mahasiswi Bengkulu