Kualitas Pembangunan Ekonomi Bengkulu Rendah?

Dyah Tari Nur’aini, SST

Oleh Dyah Tari Nur’aini, SST

Pembangunan ekonomi tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, dimana terjadinya pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator terciptanya pembangunan ekonomi. Dewasa ini pertumbuhan ekonomi menjadi suatu hal yang dinanti-nanti dan dinomorsatukan capaiannya. Berhasil tidaknya pembangunan terutama di negara-negara dunia ketiga sering dinilai berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi berupa output dan pendapatan nasional (PDB). Tak heran jika para ekonom, politisi, maupun pemerintah menantikan data-data statistik yang meningkat berkaitan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi di akhir tahun. Ditengah meluasnya penggunaan indikator tersebut, muncul anggapan bahwa jika pertumbuhan ekonomi tinggi maka secara otomatis tingkat kesejahteraan masyarakat juga meningkat. Akankah demikian?

Menurut M.P.Todaro, pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang menyangkut perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat, percepatan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan, dan penghapusan dari kemiskinan mutlak. Melihat definisi pembangunan ekonomi yang terdiri dari berbagai aspek, tentunya kita tak dapat menggambarkan begitu saja hanya berdasarkan data pertumbuhan. Juga jika kita melihat kenyataan kondisi dilapangan, meski angka pertumbuhan ekonomi meningkat kemiskinan bisa saja tidak berkurang. Jangan sampai karna analisis perekonomian yang salah menimbulkan kebijakan yang kurang sesuai dan justru berdampak merugikan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Bengkulu pada 2019 Triwulan II adalah sebesar 5,05 persen. Kontribusi perekonomian Bengkulu teraebut merupakan yang terendah diantara provinsi lain di Pulau Sumatera, yakni hanya 2,10 persen. Sementara secara nasional, Bengkulu menduduki peringkat ke lima terendah dengan kontribusi perekonomian sebesar 0.45 persen. Hal ini mencerminkan kegiatan ekonomi yang terjadi di Bengkulu masihlah rendah dibandingkan dengan provinsi lain.

Kondisi tersebut ternyata sejalan dengan kegiatan ekspor Bengkulu yang ternyata paling rendah dibandingkan provinsi lain di Sumatera. Pada periode Januari-Juni 2019 total ekspor Bengkulu hanya 0,13 persen dari total ekspor 34 provinsi di Indonesia. Sama halnya dengan peringkat pertumbuhan ekonominya, Bengkulu juga menempati peringkat pertama di Sumatera dan ke lima di Indonesia dengan jumlah ekspor terendah. 

Namun jika dilihat dari keadaan sosial tenaga kerjanya, Bengkulu memiliki angka pengangguran yang cukup rendah dibanding Provinsi lain di Indonesia. Data BPS menyebutkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Bengkulu pada Februari 2019 sebesar 2,50 persen. Angka tersebut menempatkan Bengkulu sebagai Provinsi ke tiga dalam TPT terendah. Sayangnya banyaknya penduduk yang bekerja tidak menjadikan kemakmuran masyarakat Bengkulu serta belum bisa termanfaatkan dengan baik untuk memberikan kontribusi bagi negara.

Nyatanya meskipun jumlah pengangguran Bengkulu lebih sedikit dibanding Provinsi lain, tapi jumlah penduduk miskin di Bengkulu terbilang besar persentasenya. Pada Maret 2019 persentase penduduk miskin Bengkulu mencapai angka 15,23 persen, lebih tinggi dari angka kemiskinan nasional yang hanya sebesar 9,41 persen. Hal ini menjadikan Bengkulu menjadi peringkat pertama persentase penduduk miskin terbanyak di Sumatera dan ke enam secara Nasional. Untuk tingkat pengangguran yang sedikit, seharusnya kondisi ini tidak terjadi. 

Melihat capaian ekonomi Bengkulu yang cukup tertinggal, sudah seharusnya pemerintah setempat mengambil langkah guna menggerakan roda perekonomian masyarakat. Peningkatan jumlah sektor industri padat karya bisa menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan performa dari lapangan usaha yang ada. Diharapkan dengan adanya hal tersebut, akan lebih banyak jenis komoditas-komoditas barang untuk dipasarkan antar provinsi maupun ke mancanegara. Peningkatan akses permodalan juga menjadi salah satu cara guna meningkatkan kualitas dan kuantitas yang dapat bersaing dengan daerah lain.

Kemudian, perlu juga adanya jaminan kesejahteraan bagi para pekerja. Hal ini dicapai dengan pemberian upah dengan standar yang layak. Diharapkan mereka yang telah bekerja  tidak tergolong lagi menjadi masyarakat miskin dengan adanya standar upah yang baik.

Penulis adalah Statistisi Ahli Pertama BPS Kab. Kolaka, Sulawesi Tenggara