Kondisi Petani Perkebunan Rakyat Kala Pandemi 

Zulfikar Halim Lumintang, SST

Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST. 


Orang bilang, di Indonesia ini memiliki tanah yang subur, jadi apapun jenis tanaman yang ditanam pasti akan berbuah atau menghasilkan. Termasuk juga tanaman perkebunan. Itulah yang menyebabkan banyaknya ragam tanaman perkebunan di Indonesia. Mulai dari tanaman tahunan maupun tanaman musiman. 

Perkebunan Rakyat merupakan salah satu usaha yang dimiliki oleh masyarakat secara individu, dan bergerak di bidang tanaman perkebunan. Perkebunan rakyat merupakan usaha perkebunan yang paling dominan di Indonesia. Luas lahan dan produksinya tanamannya melebihi Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). 

Tanaman perkebunan yang paling "mewah" di Indonesia adalah kelapa sawit. Kenapa paling mewah? Karena pada tahun 2016, kelapa sawit berhasil menghasilkan nilai produksi sebesar 236 triliun rupiah. Nilai tersebut jauh meninggalkan nilai produksi komoditas lain, sebut saja karet yang berada di posisi kedua dengan nilai produksi hanya mencapai 34 triliun rupiah. 

Data Direktorat Jenderal Perkebunan mencatat hingga akhir 2018, total lahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14.309.256 hektare. Rinciannya, kepemilikan Perkebunan Rakyat (PR) seluas 5.807.514 hektare, Perkebunan Besar Negara (PBN) 713.121 hektare, dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) seluas 7.788.621 hektare. Dari data tersebut sudah jelas membuktikan salah satu komoditas perkebunan yang dikuasai oleh perkebunan rakyat. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa lebih dari 17 juta yang bergantung dari perkebunan kelapa sawit. 

Dengan jumlah yang sangat dominan tersebut, tentunya jumlah petani (PR) komoditas apapun pasti lebih besar dibandingkan tenaga kerja PBN dan PBS. Petani PR tentu harus mendapatkan perhatian lebih, karena mereka tidak memiliki jaminan pemasaran produk pasca panen. Berbeda dengan PBN yang sudah dijamin oleh negara, maupun PBS yang sudah punya pasar ekspor sendiri. 

Selama pandemi Covid-19, dikabarkan petani subsektor tanaman pangan mendapatkan dampak negatif juga. Namun apakah hal tersebut menimpa petani subsektor tanaman perkebunan rakyat juga? Mari kita simak datanya. 
Tren NTP Tanaman Perkebunan Rakyat.

Selama awal pandemi Covid-19 hingga sekarang (Februari 2020-April 2020), Nilai Tukar Petani Tanaman Perkebunan Rakyat (NTPR) selalu menurun, atau memiliki tren negatif. Pada awal masa pandemi (Februari 2020) NTPR tercatat mencapai 105,40. Dalam kondisi ini, petani masih mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya. 

Indeks Harga yang Diterima Petani (It) Februari 2020 mencapai 110,67. Indeks tersebut menunjukkan perkembangan harga produsen atas hasil produksi petani. Komoditas yang masuk dalam hitungan adalah seluruh tanaman perkebunan rakyat, baik itu teh, kopi, kakao, lada, hingga jambu mete. 

Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) Februari 2020 mencapai 105,05. Indeks tersebut menunjukkan perkembangan harga kebutuhan rumah tangga petani, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk proses produksi pertanian. Ib terdiri dari Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) mencapai 105,32 dan Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM) mencapai 103,92. 

Pada Maret 2020, NTPR ternyata mengalami penurunan menjadi 103,39. Atau turun sebesar 1,91% dari bulan Februari 2020. Turunnya NTPR disebabkan oleh turunnya It Maret 2020 yang mencapai 1,83% dari Februari 2020 menjadi 108,65. Selain itu, Ib Maret 2020 yang mengalami kenaikan 0,08% dari Februari 2020 menjadi 105,14, juga menjadi penyebab turunnya NTPR. Tercatat IKRT meningkat 0,09% dari Februari 2020 menjadi 105,41 dan Indeks BPPBM meningkat 0,11% dari Februari 2020 menjadi 104,04. 

Selanjutnya, pada April 2020, NTPR kembali mengalami penurunan sebesar 2,48% menjadi 100,82. Sama halnya dengan kondisi Maret 2020. Penurunan NTPR pada bulan April 2020 ini disebabkan oleh turunnya It April 2020 dan naiknya Ib April 2020. It April 2020 turun sebesar 2,38% menjadi 106,06. Sedangkan Ib April 2020 naik sebesar 0,11% menjadi 105,25. 

Kita bisa melihat bahwa semakin kesini petani tanaman perkebunan rakyat semakin berkurang keuntungannya. Apalagi pada bulan April 2020, NTPR sudah hampir menuju titik impas (NTPR=100). Kalau sampai NTPR mencapai titik impas, artinya petani tidak mendapatkan keuntungan. Karena apa yang dia keluarkan sama dengan apa yang dia terima. Ditambah lagi, pandemi belum jelas kapan akan berakhir. 

Solusi Alternatif 
Subsektor tanaman perkebunan sangat didominasi oleh tanaman tahunan, seperti yang kita ketahui bersama, bahwa tanaman tahunan tentu tidak setiap saat bisa menghasilkan buah. Dan setiap tanaman juga memiliki waktu panen yang berbeda-beda. 

Namun tingkat kesejahteraan petani, khususnya petani tanaman perkebunan rakyat bisa diukur melalui pendekatan Nilai Tukar Petani Tanaman Perkebunan Rakyat (NTPR). Angka NTPR bisa diketahui setiap bulan. 

Komponen NTPR adalah Indeks Harga Yang Dibayar Petani (Ib) dan Indeks Harga Yang Dibayar Petani (It). Mungkin wajar ketika melihat bahwa petani tanaman perkebunan rakyat akan memiliki Ib yang meningkat setiap bulannya. Mengingat mereka membutuhkan perawatan tanaman perkebunan setiap bulan. Sedangkan It mereka selalu turun tiap bulan. 

Namun, itu berjalan ketika kondisi normal, bukan pandemi. Sekarang, saat pandemi tentunya mereka akan semakin memiliki NTPR yang turun juga. Terbukti, pada April 2020 NTPR sudah hampir impas. Kemungkinan pada bulan Mei 2020 mereka akan memiliki NTPR yang defisit jika pandemi terus berlangsung, dan banyak komoditas yang gagal panen ataupun tidak terserap pasar. 

Direktorat Jenderal Perkebunan sangat dibutuhkan peran dan kontribusinya untuk mengatasi gagal serap produk perkebunan rakyat ini di tengah pandemi. Kebijakan menggemakan lagi industri pengolahan tanaman perkebunan menjadi produk setengah jadi maupun produk jadi sangat diharapkan oleh petani, agar produk mereka bisa terserap pasar. 

Disisi lain, kebijakan ekspor memang harus tetap berjalan di komoditas perkebunan rakyat ini. Karena, industri yang ada memang masih belum cukup untuk menyerap produk perkebunan rakyat. 

Dari sisi petani, mereka juga harus memberikan kontribusi terbaik demi menghasilkan produk yang berkualitas juga, sehingga pasar mau menyerap. Petani bisa memulai inovasi, seperti menemukan cara tanam baru supaya bisa panen dalam waktu singkat. 

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara