Kiblat dan Instrumen Baru Politik Muhammadiyah

Syaifullah (tengah)
  • Teologi Politik

Sejak awal berdiri tahun 1912, Muhammadiyah merupakan gerakan kultural. Namun sepanjang perjalanan hidupnya, Muhammadiyah bersentuhan dengan politik. Persentuhannya dengan politik adalah suatu yang niscaya walaupun gerakan ini memilih jalur kultural. Oleh karena itu, oleh pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan menamakan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam nonpolitik tetapi tidak antipolitik. Gerakannya, secara sadar memilih jalur organisasi kemasyarakatan, bukan jalur partai politik. Hal ini didasarkan pada teologi (visi atau pandangan) politik menurut Muhammadiyah yang memosisikan politik selain bagian integral ajaran Islam, politik juga berfungsi sebagai instrumen meraih cita-citanya, yaitu masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Politik dalam kehidupan berbangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur addunyawiyat) yang dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama atau etika. Usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik (struktural) maupun melalui pengembangan masyarakat (kultural), pada dasarnya merupakan instrumen atau wahana yang mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan. Perjuangan politik dan pengembangan masyarakat tersebut berpedoman pada nilai-nilai Ilahiah (ke-Tuhanan) yang tumbuh subur bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, kebersamaan, dan keadaban untuk terwujudnya "Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.”

  • Struktural dan Kultural sebuah pilihan sadar

Implementasi dari teologi di atas, yaitu dalam kurun waktu tertentu Muhammadiyah menggunakan strategi politik yang berbeda. Pada kurun waktu empat belas tahun, sejak negara RI ini diproklamasikan 1945 hingga 1959, Muhammadiyah cenderung struktural karena secara institusi menempatkan diri sebagai anggota istimewa Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Partai ini merupakan partai Islam yang dideklarasikan oleh tokoh-tokoh dan ormas Islam dalam Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta tepatnya di Madrasah Mu'alimin Muhammadiyah Kompleks Perguruan Muhammadiyah, tanggal 7 November 1945, sebagai respons umat Islam terhadap imbauan pemerintah melalui maklumat yang ditandatangani wakil presiden RI Mohammad Hatta pada 3 Oktober 1945 dan dua bulan kemudian imbauan ini ditegaskan ulang yaitu pada tanggal 3 November 1945.

Sementara itu, hampir setengah abad (1971-2020) Muhammadiyah secara institusi berhaluan kultural, atau nonpartisan, tidak menempatkan diri sebagai afiliasi atau underbow dari partai tertentu atau bahkan menjadi partai. Muhammadiyah memilih dan menempatkan diri dalam masyarakat, dengan maksud terutama membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera, dan dalam skala yang lebih besar untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dengan menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya, yaitu masyarakat. High politics dalam istilah M. Amien Rais dan allocative politics dalam istilah Din Syamsudin diposisikan Muhammadiyah tetap dalam strategi besarnya sebagai gerakan kultural terutama sejak kurun waktu 1971 hingga hari ini. Ada dua penegasan dalam khittah Makassar (1971) menyangkut lembaga dan warga. Muhammadiyah sebagai lembaga memilih gerakan Islam non-politik atau gerakan kultural. Sedangkan sebagai warga, Muhammadiyah memberi kebebasan untuk masuk dalam organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan atau pun tidak memasukinya. Kebijakan politik tahun 1971 ini memperoleh penegasan dan peneguhan ulang yang sama pada sembilan kali muktamar sesudahnya, termasuk muktamar satu abad Muhammadiyah di Yogyakarta, tahun 2010 dan Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makasar, Sulawesi Selatan 2015.

Dalam Sidang Tanwir era reformasi di Bali tahun 2002 kebijakan tahun 1971 memperoleh format baru dengan mendudukkan posisi Muhammadiyah sebagai gerakan kultural yang menjamah urusan politik dengan pendekatan interest group. Dalam strategi berbangsa dan bernegara, Muhammadiyah menegaskan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dilakukan melalui dua strategi dan lapangan perjuangan.

Pertama, melalui perjuangan kekuasaan atau kenegaraan (real politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik atau kekuatan-kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan Negara.

Kedua, melalui pembinaan atau pemberdayaan masyarakat. Muhammadiyah mengambil posisi sadar memilih perjuangan melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat secara langsung guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

  • Muhammadiyah dan Politik Kebangsaan

Bagaimana posisi Muhammadiyah jika bersentuhan dengan politik? Jawabnya adalah Muhammadiyah memosisikan diri sebagai kelompok kepentingan (interest groups), Muhammadiyah tidak bergerak dalam dunia politik-praktis (real politics) seperti partai politik, namun tetap mengembangkan fungsi sebagai kelompok kepentingan (interest groups) yang efektif melalui berbagai saluran atau media untuk memainkan peranan politik secara aktif dan strategis dengan melakukan kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat memengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara, sebagaimana dilakukan oleh kelompok-kelompok kepentingan (interest groups). Pertimbangannya sesuai dengan prinsip dakwah Islam amar ma'ruf nahi munkar dalam menentukan arah perjalanan bangsa dan negara, sehingga tidak menarik diri dan cenderung alergi terhadap politik yang pada akhirnya dikhawatirkan, proses dan sistem kehidupan politik ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lain yang dimungkinkan tidak sejalan dengan kepentingan umat dan kemaslahatan bangsa.

Jadi, kiblat baru sebagai haluan dasar Muhammadiyah yang memosisikan dirinya sebagai gerakan kultural dengan dua panggung gerak sekaligus, yaitu melakukan “amal kemanusiaan” dengan pembinaan masyarakat secara langsung, sekaligus melakukan “amal kenegaraan” secara tidak langsung dengan memengaruhi kebijakan sebagaimana fungsi kelompok kepentingan (interest group).

  • Instrumen Baru (sebagai penguatan dan percepatan)

Arah baru dari haluan dasar yang telah dirumuskan dan disahkan di Bali dalam sidang Tanwir 18 tahun yang lalu dalam implementasinya berjalan kurang signifikan, untuk tidak mengatakan berjalan di tempat. Oleh karena itu, saatnya Muhammadiyah segera membumikan arah baru dari haluan tersebut dengan langkah-langkah strategis yang menjanjikan dan dibutuhkan, yang selama ini belum pernah dilakukan. 

Pertama, school of hikmah. Sekolah politik, semacam laboratorium politik yang salah satu kegiatannya memberi kursus politik angkat, 3-4 bulan. School of hikmah dilakukan dengan kerja sama perguruan tinggi Muhammadiyah yang memiliki fakultas ilmu sosial dan politik dan dikelola oleh tim yang terdiri minimal tiga badan pembantu Muhammadiyah, yaitu LHKP (lembaga hikmah dan kebijakan publik) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Majelis pendidikan Tinggi (yang sekarang jumlahnya lebih dari 150 perguruan tinggi) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Majelis Tarjih dan Tajdid. Kenapa tiga badan pembantu ini? LHKP yang mempunyai konsep dan kebijakan, sementara majelis Dikti yang memiliki fasilitas dan sumber daya, sementara majelisTarjih dan Tajdid pemandu dalam bidang etika dan spiritualnya. Pesertanya adalah mereka yang memiliki komitmen dan libido lebih dalam bidang perjuangan politik, termasuk politisi lokal yang direkrut dari keluarga besar Muhammadiyah di setiap provinsi, daerah dan cabang.

Sementara tempat school of hikmah ada tiga tempat:

Indonesia bagian Timur ada di Makassar Sulawesi Selatan, Indonesia bagian Barat ada Padang Sumatera Barat atau Bengkulu dan Indonesia Tengah ada di Jakarta atau Yogyakarta. Setiap tahun bisa dua kali angkatan, dan setiap angkatan maksimal tiga puluh orang. Dengan kata lain, setiap tahun bisa melahirkan politisi Muhammadiyah 180 orang. Dalam lima tahun, angka politisi bisa mencapai 900 orang. Mereka yang sudah mendapatkan pencerahan tentang politik, tentu diberi tugas dan terus didampingi oleh pimpinan Muhammadiyah lokal atau setempat. Soal kurikulum shool of hikmah dirancang oleh sebuah tim ad-hock kurikulum yang melibatkan para ahli dan praktisi politik.

Kedua, segera dibentuk tim lobi di semua tingkatan Muhammadiyah, terutama di tingkat wilayah, daerah, cabang dan ranting. Tim ini berfungsi memberi penguatan politik (lokal) Muhammadiyah dalam posisinya sebagai kelompok kepentingan. Tim lobi langsung dikoordinir ketua pimpinan ditingkatannya masing-masing, jika lembaga hikmah dan kebijakan publik belum atau tidak ada. Tim lobi bertugas melakukan lobi institusi dengan silaturahim pada penentu kebijakan di tingkatannya masing-masing dengan membawa agenda aktual yang sedang dihajadkan jamak manusia.

Ketiga, pengajian politik di tingkat lokal bisa dilakukan secara rutin atau berkala di setiap tingkatan dengan menu materi yang mengkombinasikan muatan lokal, nasional dan internasional dengan narasumber yang kompeten pada bidang dan keahliannya.

Akhirnya, wallahu a'lam bishshowab.

***

UM Bengkulu, 07 Februari 2020

Syaifullah Ketua PWM Bengkulu