Keris-Keris Pangeran Diponegoro

Lukisan Pangeran Diponegoro

Bengkulutoday.com - Sejarawan Inggris Peter Carey melukiskan secara menarik keris-keris Pangeran Diponegoro, dalam buku mutakhirnya “Kuasa Ramalan” (The Power of Prophecy, 2011). Di antara enam keris pusaka dan tujuh tombak Diponegoro yang disebut Carey, kisah Kiai Bondoyudo (Yang Mulia Bertarung dengan Tangan Kosong) yang paling menarik. Lantaran keris yang hampir selalu dibawa Sang Pangeran sampai akhir hayatnya, dan bahkan ikut dikuburkan dalam pembuangannya di Makassar pada 8 Januari 1855, itu ternyata merupakan keris remposan dari tiga pusaka penting miliknya.

Peter Carey (ia menulis bukunya yang diterbitkan dalam tiga jilid itu selama 30 tahun) mengutip catatan dari Diponegoro dalam buku yang dibikinnya, yakni Babad Diponegoro. Tiga pusaka yang dirempos, dilebur jadi satu untuk dijadikan keris Kiai Bondoyudo, adalah panah Kiai Sarutomo (lebih dulu dijadikannya belati), tombak Kiai Barutobo dan Kiai Abijaya, keris pusaka warisan yang diperolehnya semasa masih kecil dari ayahnya. Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengku Buwana III.

Diponegoro merempos tiga pusaka andalannya itu menjadi Kiai Bondoyudo berdasarkan wangsit, guna mengobarkan semangat prajuritnya selama tahap perjuangan sulit melawan penjajah Belanda. (Peter Carey, 2011:178). Keris itu kemudian dijadikannya ‘sipat kandel’ Sang Pangeran sampai akhir hayatnya.

Kadya wus karsaning Hyang Widi/linebur ingkang pusaka/tiga karsanya Sang Katong/didadosaken sayuga/nenggih Kiai Sarutomo/lan Ki Barutobo/tiga Kiai Abijaya.

Panah Kiai Sarutomo diperoleh Pangeran Diponegoro dalam pengembaraan spiritualnya, tirakat dan nglakoni, menyepi dari hiruk-pikuk kehidupan dan bersamadi di Gua Langse di Gunungkidul pada tahun 1805. Sepulang dari pengembaraannya di wilayah Gunungkidul, dan kembali ke Tegalrejo, panah yang didapatnya selama tirakat itu malah diubahnya menjadi sebentuk belati kecil, cundrik, yang kemudian selalu dibawa-bawa isterinya yang keempat, Raden Ayu Maduretno (pasca Agustus 1825, Ratu Kedaton), selama perang Jawa (1825-1830).

Kira-kira 1827, belati yang berasal dari panah Kiai Sarutomo itu dileburnya bersama tombak Kiai Barutobo yang dibawakan Ngusman Alibasah dari panglima resimen pengawal pribadinya, Bulkio, serta Keris pusaka Kiai Abijaya pemberian ayahnya.

Peter Carey melukiskan, setidaknya ada enam keris pusaka yang dimiliki Pangeran Diponegoro, yakni Kiai Bromokedali berupa cundrik, Kiai Habit (Abijaya), Kiai Blabar, Kiai Wreso Gemilar, Kiai Hatim dan Kiai Ageng Bondoyudo. Sedangkan tombaknya, Kiai Rondan, Kiai Gagasono, Kiai Mundingwangi, Kiai Tejo, Kiai Simo, Kiai Dipoyono dan Kiai Bandung.

Keris-keris Pangeran Diponegoro yang lainnya sulit dilacak lagi keberadaannya. Tercatat di antaranya ada yang pernah dipersembahkan kepada Raja Willem (1813-1840). Keris yang dilukiskan sangat indah dan berperabot mahal ini dinamai Kanjeng Kiai Nogo Siluman, dan kini disimpan di Kabinet Kerajaan Belanda di Den Haag, dimana pelukis muda dari Jawa Raden Saleh Syarif Bustaman (1811-1880) pernah tinggal.

(Kanjeng Sunan Lumping)