Kemajuan Kopi Bengkulu untuk Petani Lebih Sejahtera

M Fatichuddin

Kalau ditanya apa oleh-oleh khas dari Bengkulu, maka hampir semua orang yang melakukan perjalanan dari Bengkulu akan menjawab “KOPI”. Rasanya ada yang kurang kalau kita kembali dari Bengkulu tidak membawa oleh-oleh kopi. 

Kata kopi berasal dari Bahasa arab “qahwah” yang artinya kekuatan, karena pada awalnya kopi digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Qahwah mengalami perubahan menjadi “kahveh” yang berasal dari Bahasa Turki dan selanjutnya berubah menjadi “koffie” dalam bahas Belanda. Penggunaan kata koffie ini diserap dalam bahasa Indonesia sampai sekarang.

Kopi ditemukan sebagai minuman berkhasiat dan berenergi pertama kali oleh Bangsa Etiopia di Benua Afrika sekitar tahun 1000 SM, saudagar arab membawanya masuk ke daerah timur tengah dan membudidayakannya untuk pertama kali dalam sejarah. Kopi terus berkembang di dunia hingga pada tahun 1938 perusahaan Nestle mengkomersilkan produk kopinya dengan nama Nescafe di Swiss. Dan tahun 1946 Achilles Gaggia berhasil membuat kopi mikacino untuk pertama kalinya.

Selain rasa dan aromanya yang menarik kopi juga dapat menurunkan resiko terkena kanker, diabetes, batu empedu, Kesehatan mulut, mengurangi resiko penyakit Demensia dan Alzheimer, mencegah Parkinson serta bermanfaat pula bagi kecantikan. 

Kopi bagi provinsi Bengkulu menjadi bagian penting karena berada dalam sektor pertanain yang memiliki peranan terbesar dalam perekonomian, selain menjadi oleh-oleh khas Bengkulu. Kopi menjadi salah satu komoditas perkebunan utama Bengkulu selain kelapa sawit dan karet.

Kondisi ini mungkin sama dengan provinsi lain yang bertetangga dengan Bengkulu, yang menjadikan perkebunan sebagai sektor yang berperan dalam perekonomiannya. Meski untuk Bengkulu berada di bawah tanaman pangan, perikanan dan peternakan. Menurut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bengkulu peranan sektor perkebunan Bengkulu selama lima tahun terakhir (2015-2019) mengalami penurunan dari 4,57 persen di 2015 menjadi 3,88 persen di 2019.

Statistik Kopi Indonesia 2018 (BPS) mencatat Provinsi Bengkulu merupakan salah satu penghasil kopi terbesar secara nasional, berada di posisi ke enam pada tahun 2018 dengan produksi 55.385 ton dengan luas areal perkebunan kopi 88.962 hektar, sedangkan produsen terbesar nasional adalah Provinsi Sumatera Selatan dengan produksi 184.168 ton dan luas areal 250.193 hektar. Angka produksi Provinsi Bengkulu jika dibandingkan tahun sebelumnya 2017 mengalami penurunan 5,98 persen.

Kondisi lain yang dapat menunjukkan bagaimana pentingnya kopi dalam kehidupan penduduk Provinsi Bengkulu adalah banyaknya penduduk yang menggantungkan hidupnya pada kopi. Dari Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) BPS tahun 2018, menyebutkan ada 103.693 rumah tangga yang mengusahakan komoditas kopi, dengan jumlah terbesar berada di Kabupaten Rejang Lebong sebanyak 30.954 rumah tangga. Angka-angka yang mengindikasikan signifikannya pengaruh kopi dalam kehidupan penduduk.  

Sisi lain yang menjadi potensi kopi bagi penduduk Bengkulu adalah kopi menjadi bahan baku bagi kegiatan di sektor lain yaitu pariwisata dan penyediaan makan minum. Kopi bahkan dapat menjadi “penarik” dari suatu destinasi wisata atau tempat makan minum. Danau Dedam menjadikan kopi sebagai magnet yang disajikan di minggu pagi di kedai-kedai pinggir danau. Wisatawan diajak menikmati keindahan danau di pagi hari dengan diiringi nikmatnya kopi panas dan jagung rebus.

Covid-19 memaksa penduduk untuk melaksanakan kehidupan yang tidak biasa sebelumnya. Mereka di paksa untuk di rumah saja, hanya keluar untuk kepentingan yang benar-benar perlu. Setelah sekian lama di dalam rumah, mulai juni penduduk mlai dikenalkan dengan era kehidupan new normal. Inilah peluang untuk kopi untuk lebih berkembang karena dipastikan kebutuhan kopi lebih meningkat. Salah satu kelebihan kopi adalah dapat meningkatkan mood, setelah sekian lama berada dalam kehidupan yang tidak biasanya maka diperlukan “stimulus” untuk meningkatkan mood. Bagi sebagian orang mengkonsumsi kopi dapat memicu lahirnya ide-ide cemerlang, sehingga bisa digunakan akronim KOPI (Ketika Otak Perlu Inspirasi).

Budidaya kopi kalau dilihat dari struktur biaya produksi memiliki potensi mendapatkan keuntungan yang cukup menggiurkan. Dori Suhendra,dkk (AGRISEP Vol.11,No.1, Maret 2012,Hal:61-68) menyebutkan bahwa usaha kopi baik secara tradisional maupun sambung cukup menguntungkan. Revenue cost ratio (R/C ratio) dalam usaha kopi tersebut mencapai 3,37 pada usaha kopi tradisional dan 3,85 untuk kopi sambung. Yang artinya jika petani mengeluarkan 1 juta rupiah untuk usaha kopi maka akan mendapatkan penerimaan 3, 37 juta pada usaha kopi tradisional dan 3, 85 juta pada kopi sambung. Angka yang tidak kecil di saat kondisi ekonomi yang sedang dihantui oleh covid-19 sekarang ini.

Dukungan pemerintah terhadap kopi juga sangat berarti bagi perkembangan kopi. Regulasi-regulasi diterbitkan pemerintah untuk keberpihakan pada petani akan sangat membantu perkembangan kopi. Regulasi berupa intervensi pada proses bisnis budidaya kopi sanga diharapkan untuk mengurangi biaya produksi. Namun demikian intervensi pasca panen dalam kegiatan budidaya kopi mungkin lebih bermakna, karena pasca panen akan berkaitan langsung dengan sektor lain yaitu angkutan, perdagangan, industri ataupun jasa. Dan biasanya sangat mungkin di area pasca panen ini berbagai pihak terlibat. Selain petani muncul para tengkulak, pengepul dan pebisnis kopi lainnya.

Secara sekilas disampaikan salah satu masalah di pengembangan kopi adalah di pasca panen. Selanjutnya kita dihadapkan pula pada teknologi yang digunakan petani masih bersifat tradisional. Kalau kita berkunjung ke Kabupaten Kepahiang sebagai salah satu sentra kopi, kita akan disuguhkan pemandangan “jemuran” kopi yang menghiasi bahu jalan dan halaman rumah. Petani seakan lebih mementingkan proses pengeringan kopi dari pada kondisi rumah mereka. Area yang seharusnya digunakan untuk aktivitas keluarga, bermain anak-anak misalnya atau bahu jalan yang berbatasan dengan area rumah akan sangat rawan/berbahaya saat digunakan untuk media penjemuran kopi. Kalau kita perhatikan kondisi ini mengisyaratkan bahwa “kondangnya” nama kopi tidak se”kondang” kondisi petani. 

Tantangan lain yang dihadapi petani kopi Bengkulu adalah kualitas kopi yang harus unggul karena penikmat kopi itu jumlahnya terbatas tidak seperti tanaman pangan. Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa produsen kopi terbesar nasional ada di pulau Sumatra, sehingga sangatlah mungkin orang akan lebih mengetahui keberadaan ataupun kualitas kopi di wilayah tersebut dibanding Bengkulu. Kondisi lain yang mungkin terjadi adalah kopi Bengkulu dijual dengan “branding” wilayah lain sebagai akibat permintaan kopi wilayah lain jauh lebih besar dibanding produksinya. Atapun karena harga kopi Bengkulu lebih murah dibanding kopi dari wilayah tersebut.

Menyikapi berbagai kondisi di atas, baik berupa keuntungan maupun kendala maka Provinsi Bengkulu perlu melahirkan strategi yang “jitu” baik dalam proses produksi maupun distribusi pasca panennya. Keberadaan Universitas Bengkulu (UNIB) dapat diberdayakan untuk menghasilkan kopi yang berkualitas “istimewa” dan tingkat produktivitas tinggi. Penelitian-penelitian sangat mungkin dilakukan oleh UNIB dengan bersinergi dengan dinas/instansi terkait.

Dari sisi proses pascapanen perlu dilakukan study tentang proses pengeringan yang minim faktor produksi tapi maksimal hasil. UNIB bersinergi dengan pemerintah ataupun masyarakat melakukan penelitian tentang bagaimana proses pengeringan dapat dilakukan dengan faktor produksi yang minimal mereka keluarkan yaitu dengan teknologi tepat guna. Sebuah Teknik pengeringan yang dapat dilakukan oleh petani tapi dengan minim biaya dan resiko.

Strategi berikutnya adalah pemasaran hasil, bukan hanya dari distribusi tapi dari branding atau ciri khas special yang sangat istimewa sehingga dengan mudah terekam oleh penikmat kopi. Kopi dipasarkan dalam bentuk pasca olahan dan dengan kemasan yang menarik sehingga dapat meningkatkan nilai tambah bagi kopi Bengkulu.

Peningkatan nilai tambah tersebut akan meningkatkan pula pendapatan petani, yang selanjutnya berdampak pada lebih besarnya peranan sektor perkebunan dalam perekonomian Bengkulu. 

Strategi promosi kopi Bengkulu juga sangat penting, karena pasar kopi atau penikmat kopi terbatas, tapi memiliki nilai ekonomi tinggi. Strategi yang tepat akan lebih memaksimalkan hasil, penikmat kopi akan menjadikan kopi Bengkulu sesuatu yang “dirindu”. Streategi tersebut bisa dengan mensinergikan antara kopi dengan wisata. Dalam tiap paket wisata didalamnya harus ada kegiatan mengunjungi produsen kopi atau pun paket wisata yang memberikan oleh-oleh khas kopi. Mereka tidak mengunjungi destinasi kopi, tapi mereka dapat “merasakan” kenikmatan kopi dan berharap mereka terkesan sehingga ada hasrat untuk mengulang lagi.

Selanjutnya peran pemerintah dalam melindungi kopi Bengkulu haruslah optimal. Regulasi-regulasi yang dihasilkan haruslah regulasi yang berpihak pada petani dan aman bagi kopi. Pemerintah Provinsi Bengkulu dapat berkolaborasi dengan provinsi tetangga untuk memastikan bahwa kopi Bengkulu dikenal oleh masyarakat. Kolaborasi tersebut dapat disinergikan dalam bentuk kerja sama promosi paket wisata, dimana wisatawan yang mengunjungi suatu tempat wisata di provinsi (lain) tetangga Bengkulu, harus melalui ataupun mengunjungi destinasi wisata di Bengkulu.

Akhirnya dengan konsistennya pemerintah dalam menghasilkan dan menerapkan kebijakan-kebijakan, aturan-aturan yang berpihak pada petani kopi. Sinerginya berbagai pihak yaitu pemerintah dan petani kopi serta didukung oleh perguruan tinggi yang kompeten maka akan menghasilkan terjadinya kemajuan kopi Bengkulu dan selanjutnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Kemajuan kopi Bengkulu terjadi, petani kopi lebih sejahtera.

*) Moh Fatichuddin, Kepala Bidang Statistik Produksi BPS Provinsi Bengkulu