Kegalauan Ditengah Pandemi Corona

M Aditya Pratama

Oleh M. Aditya Pratama  (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu)
 

Mengutip dari TRIBUNNEWS.COM (12/03/2020) Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menetapkan wabah virus Corona sebagai pandemi global. Dilansir BBC.com, istilah pandemi digunakan untuk penyakit menular yang menyebar dari orang ke orang secara signifikan dan berkelanjutan di banyak negara.
Ditengah pandemi covid-19 ini ternyata menyimpan beberapa kegalauan ditengah masyarakat, mulai dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kepmenkumham) Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui asimilasi dan integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19. 

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, sudah 38.822 narapidana yang dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi per 20 April 2020. Perinciannya, 36.641 narapidana dibebaskan melalui program asimilasi, dan 2.181 narapidana lainnya dibebaskan lewat program integrasi.
Pembebasan napi tersebut mengundang berbagai kontroversial, sebab fakta yang ditemukan dilapangan banyak napi yang baru dibebaskan melalui Kepmenkumham tersebut kembali berulah melakukan tindak kejahatan. Seperti yang terjadi di Surabaya, dua orang residivis yang baru bebas setelah mendapatkan program asimilasi, Br (25) dan Yn (23), kembali diamankan polisi karena terlibat dalam kasus penjambretan yang terjadi di Jalan Darmo Surabaya.
Sementara itu, di Bali, seorang napi yang baru bebas juga ditangkap aparat karena menjadi kurir ganja. Di Makassar, seorang napi juga kembali ditangkap karena mencuri empat bungkus rokok dan uang tunai Rp 150.000 di sebuah warung. Hal tersebut akan membuat masyarakat menjadi was-was. 

Tidak hanya sampai disitu kegalauan pun timbul pada saat dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. 

Dimana didalam pasal 27 ayat (1),(2), dan (3) mengatakan bahwa (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. 

(2)Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Hal ini dinilai bertentangan dengan konstitusi dan semangat pemberantasan korupsi. Keberadaan pasal tersebut seolah-olah memberikan keistimewaan bagi penyelenggaraan Negara untuk tidak bisa dituntut secara hukum, padahal dalam Negara hukum semua orang harus sama kedudukannya di depan hukum tanpa terkecuali (Equality Before The Law). Sebagaimana yang telah di atur dalam pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dalam pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang. 
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, ada 3 persyaratan yang harus dipenuhi oleh Pemerintah atau Presiden agar dapat mengeluarkan Perpu yaitu :

  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; 
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Apakah keadaan saat ini sudah memenuhi kriteria “keadaan mendesak” sebagimana yang disebutkan dalam pasal 22 UUD NRI Tahun 1945? UUD sendiri tidak menjelaskan kriteria dari keadaan mendesak itu sendiri.
Jika mengenai penanggulangan wabah, kita sudah memiliki berbagai instrument hukum mulai dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Kedaruratan Bencana pada Kondisi Tertentu.

Mengenai keuangan Negara pun sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 27 ayat (3),(4), dan (5) telah mengatur mekanisme yang bisa ditempuh pemerintah dalam situasi darurat.

Setidaknya, ada dua skema yang bisa ditempuh. Pertama, melakukan perubahan Undang-undang APBN melalui persetujuan DPR.

Kedua, melaksanakan pergeseran anggaran, termasuk melakukan pengeluaran untuk keperluan yang tidak ada pagu anggarannya dalam UU APBN periode yang sedang berjalan.

Kedua skema pelaksanaan APBN dalam Undang-undang Keuangan Negara ini sejatinya dapat menjadi pilihan pemerintah dalam menghadapi kemungkinan permasalahan perekonomian sebagai akibat dari wabah Covid-19.