Kebijakan Tapera Melelang Nasib Rakyat

Inas Zhafirah

Oleh : Inas Zhafirah (Mahasiswi Bengkulu)


Diluncurkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang baru diundangkan per 20 Mei 2020. Terbitnya PP tersebut menjadi roda penggerak penting bagi Badan Pengelola (BP) Tapera untuk segera menjalankan peranannya dalam menghimpun dan menyediakan dana dalam jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan bagi peserta Tapera. 

Program ini akan diterapkan lebih dulu kepada instansi pemerintah. Mulai tahun depan ASN akan menjadi peserta dalam program ini. Kemudian secara bertahap akan diikuti oleh TNI/Polri, pegawai BUMN dan BUMD. Hingga ke jajaran perusahaan swasta diberikan kelonggaran maksimal selama 7 tahun dari sejak PP ini diundangkan untuk mengikutsertakan karyawannya dalam program Tapera. Juga WNI yang masuk kriteria bahkan para pekerja WNA juga wajib ikut Tapera, padahal disisi lain dalam UU mereka juga dilarang punya properti di Indonesia. Seolah hanya dipaksa untuk menabung saja. 

Pada pasal 15 ayat 1 PP itu ditetapkan untuk tabungan BP (Badan Pengelola) Tapera yakni sebesar 3 persen dari gaji atau upah pekerja. Rinciannya adalah 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5 persennya ditanggung oleh pekerja itu sendiri. Bagi para pekerja mandiri ditanggung sendiri oleh mereka sendiri. Dasar perhitungan untuk menentukan gaji atau upah ditetapkan sama dengan program jaminan sosial lainnya, yakni maksimal sebesar Rp 12 juta. Untuk membayar simpanan, peserta membayarkannya kepada Rekening Dana Tapera di bank kustodian, melalui bank penampung, atau pihak yang menyelenggarakan mekanisme pembayaran lainnya yang ditunjuk oleh bank kustodian (kompas.com).

Tentu PP tentang Tapera ini menjadi bahan perbincangan hangat dikalangan banyak para akademisi maupun politisi. Banyak diantara mereka yang mengamati dan menganalisa akan dibawa kemanakah sebenarnya ketetapan ini.

Seperti yang dikutip dari Tribunnews.com bahwa Sandiaga Salahudin Uno selaku politisi Gerindra sekaligus mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta mengaku mendapat banyak curhat dari para karyawan dan pekerja UMKM bahwa gaji mereka banyak yang dipotong, ada juga yang BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun ditangguhkan selama pandemi ini. 

“Yang dibutuhkan masyarakat untuk memulihkan usahanya adalah dana tunai. Selama ini pengusaha sudah banyak yang makan tabungan. Jangan malah dibebani lagi dengan iuran-iuran yang belum bisa dirasa dampaknya untuk sekarang ini,” tegas Sandia pada jumat, (12/6/2020) di Jakarta.

Sejatinya, tuaian kritikan akan kebijakan ini sudah lama diperbincangkan kala benih permasalahan sudah tertanam yaitu pada pengesahan Undang-undang (UU) tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) oleh DPR pada hari Selasa, 23 Februari tahun 2016 silam yang juga menjadi dasar hukum PP 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.  Maka wajar, jika kebijakan Tapera yang hadir menjadi kepanjangan tangan akan UU ini. Karena mulai hadirnya kebijakan ini pun tak jauh-jauh dari program pemerintah ketika masa periode sebelumnya, yaitu dalam meningkatkan kepemilikan rumah oleh masyarakat lewat 'Program 1 Juta Rumah'. Selain pembangunan fisik, upaya lain adalah dengan menata regulasi atau aturan yang katanya memudahkan masyarakat memperoleh pembiayaan perumahan dengan biaya murah dengan salah satu caranya UU Tapera tersebut. 

Jika kita cermati lebih jauh PP 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera yang ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 136, dimana penjelasan atas PP 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6517 dari salinannya yang terlampir bisa diakses melalui internet agar setiap orang bisa melihatnya.

Disana, kebijakan ini dipukul rata bagi warga yang nantinya akan terikuti program ini. Terlepas berbedanya pemasukan dan pengeluaran pada masing-masing orang. Juga diterangkan bahwa siapapun yang sudah menjadi peserta kurang lebih 12 bulan atau satu tahun harus langsung mengurus proses pembelian rumah. Status kepesertaan Tapera pekerja akan berakhir dalam jangka waktu yang sangat lama yaitu jika telah memasuki masa pensiun bagi pekerja, telah mencapai usia 58 tahun bagi pekerja mandiri, peserta meninggal dunia, atau peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama lima tahun berturut-turut. Lalu, pada BAB VI juga terdapat sanksi administratif yang tentu terdapat akad yang batil alias menyalahi aturan syariat dan terdapatnya sistematika ribawi. 

Kemudian, apakah semudah itu untuk membangun sebuah hunian rumah dimana data yang akan masuk bukanlah dalam jumlah yang sedikit?     Adapun tanggapan dari Deputi Komisioner bidang Pemanfaatan Dana BP Tapera Ariev Baginda Siregar yang mengatakan bahwa akan menjamin rumah yang dijanjikan tersedia bagi para peserta yang berhak. Akan tetapi beliau menjelaskan bahwa bentuknya tidak melulu rumah tapak, tapi ada juga yang berbentuk apartemen. Alasannya karena keterbatasan lahan dan nilai tanahnya yang terus meningkat setiap tahun.
"Bukan rumahnya tidak ada tetapi tanahnya yang nggak ada kali ya. Tanahnya itu kan terbatas, caranya menurunkan harga rumah dengan tanah yang mahal yaitu dengan adanya high rise building (Apartemen) jadi cost-nya jadi lebih rendah kan," kata Ariev dalam acara Live Instagram Merdeka.com bertajuk Membedah Tapera, Rabu (17/6/2020).

Pilihan lainnya yang ditarkan adalah bila peserta tetap ingin memiliki rumah tapak artinya harus mau membeli di luar daerah perkotaan. Mengingat harganya belum semahal di pusat kota. Selain itu, bisa juga memiliki rumah tapak di daerah perkotaan yang di bangun di atas tanah milik pemerintah. Namun, kepemilikannya hanya sampai jangka waktu tertentu kemudian nanti dikembalikan lagi untuk pemerintah.

Jika kita nilai dari sudut pandang Islam, tentulah kebijakan ini akan menyalahi aturan syariat seperti akad yang batil, mengandung unsur ribawi seperti pengembangan dana yang terkumpul akan diinvestasi selayaknya perusahaan asuransi. Seperti yang dikutip dari vice.com, bahwa mereka pengelola Tapera akan mempunyai pegawai yang namanya manajer investasi yang akan memikirkan uang yang terakumulasi di Tapera untuk ditanamkan di pasar modal, didepositokan di bank, dan/atau dibelikan surat utang negara, obligasi, maupun sukuk. 

Dalam surah Al-Baqarah ayat 125, Allah SWT telah memberikan perumpamaan bagi pelaku riba. "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba." Kemudian, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda dalam suatu hadist, "Riba itu memiliki 70 pintu. Yang paling ringan adalah seperti seseorang yang menikahi ibunya sendiri. Sedangkan yang paling berat adalah seseorang yang senantiasa merusak kehormatan saudara Muslimnya."

Dalam riwayat Anas disebutkan, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Satu dirham yang didapat oleh seseorang dari hasil riba itu lebih berat daripada berzina sebanyak 36 kali”.    Sedangkan kita yakini bahwa keteraturan alam semesta ini berada atas kuasa-Nya. Sehingga hadir keberkahan atau tidaknya tergantung pada ridho Al-Khaliq sekaligus Al-Mudabbir. 

Belum lagi, kejelasan bentuk hunian yang akan ada seperti yang diucapkan oleh Ariev seolah menutupi kejelasan muara dari kebijakan ini. Tentu pelaksanaan Tapera ini hanya akan menambah beban rakyat bukan malah meringankan beban rakyat. Mengapa kita tidak belajar dari pengalaman dan berkaca dari BPJS, Jiwasraya, dan Asabri yang mengalami chaos ? Masih membawa luka lama yang belum kering, sekarang sudah ditambah lagi oleh kebijakan PP tentang Tapera. 

Lalu, kemungkinan besar untuk terjadinya korupsi bukanlah suatu hal yang mustahil. Bisa saja hal itu terulang kembali, kemudian memakan APBN negara hingga bermuaranya penerbitan surat hutang negara. Padahal hutang-hutang yang lalu pun belumlah selesai dalam proses pembayaran bunganya yang terus bertumbuh. Belum lagi keadaan sekarang yang sedang tertimpa wabah pandemi covid-19, PHK besar-besaran, dan potongan bayaran pada lain halnya. Sungguh rakyat seakan sudahlah jatuh tertimpa tangga pula. 

Maka, ditawarkanlah solusi atas permasalahan sistematik ini pada sistem Islam. Akan terciptanya kesejahteraan ummat yang sudah terbukti selama 13 abad dan menaungi 2/3 dunia kala itu. Dengan menjadikan kepemimpinan sebagai periayah (pengurus) urusan rakyat. Dimana seorang pemimpinnya (Khalifah) menjalankan amanah dengan penuh tanggungjawab sesuai dengan perintah dan larangan-Nya. Dengan landasan taqwa akan sangat kecil kemungkinan untuk memberikan kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya.

Sistem perekonomian selaku penggerak roda ekonomi tidak akan menjerumuskan ummat kepada lubang hitam ribawi melainkan akan digunakan cara yang sesuai tuntunan syariat dan akan membawa keberkahan berlimpah kepada negara yang menerapkannya. Yaitu akan memaksimalkan pemasukan utama dari mengelola SDA yang ada dengan tidak melimpahkannya kepada korporasi asing. Sehingga kebermanfaatannya bisa dirasakan oleh khalayak umum. Kemudian, dari fa’i dan kharaj seperti ghanimah, jizyah, kharaj, fa’i, status kepemilikan tanah, dan dharibah. Alokasinya pun tentu akan tepat sasaran. 

Begitupun pada hunian rakyat yang menjadi perhatian khusus seorang pemimpin negara akan kebutuhan papan rakyatnya. Karena rakyat akan diberikan pekerjaan yang layak, pendidikan yang tidak mahal bahkan gratis dengan kualitas yang baik dan merata, serta tidak adanya pengambilan pajak pada yang bukan haknya. Semua dana yang terkumpul melalui baitul mal akan mampu menjangkau semua kebutuhan ummat baik dari segi papan, pangan, dan sandang juga infrastruktur negara sehingga tidak akan melarikan negara pada hutang-piutang yang mengatas namakan demi kepentingan rakyat karena ketidakmampuan dalam mengurusi urusan rakyatnya. Wallahu’allam.