Jatuh Bangun Industri Pengolahan di Tengah Pandemi Covid-19

Zulfikar Halim Lumintang

Industri pengolahan merupakan sektor lapangan usaha yang sangat luas cakupannya. Mulai dari industri pengolahan makanan hingga barang kimia. Dengan cakupan yang sangat luas, industri pengolahan tentu banyak sekali kontribusinya pada perekonomian. 

Industri pengolahan tercatat memiliki kontribusi terhadap PDB Indonesia sebesar 19,98% pada triwulan I 2020. Jumlah tersebut tentu sangat tinggi. Tidak heran jika industri pengolahan menjadi sektor andalan Indonesia. Apalagi saat ini sedang digencarkan Revolusi Industri 4.0. 

Ditengah pandemi Covid-19 ini, semua sektor lapangan usaha sedang digoncang kestabilannya. Termasuk sektor industri pengolahan. Bank Indonesia mencatat realisasi investasi pada sektor industri pengolahan pada triwulan I 2020 mengalami penurunan. Dengan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) -0,42%. 
 
Dengan menurunnya realisasi investasi, maka akan berdampak pada proses produksi hingga pemasaran sektor industri pengolahan. Ketika tidak ada suntikkan dana yang masuk, maka produksi akan berkurang karena sebagian tenaga kerja di-PHK. Secara lebih rinci, efek pandemi Covid-19 terhadap sektor industri pengolahan adalah sebagai berikut. 
 
PMI Triwulan I 2020 Terjun Bebas 
 
Bank Indonesia memiliki standar dalam mengukur kinerja sektor Industri Pengolahan di Indonesia. Alat ukur yang digunakan adalah Prompt Manufacturing Index (PMI). Tercatat, pada triwulan I 2020 PMI mengalami kontraksi (penurunan) jika dibandingkan dengan triwulan II 2020. Pada triwulan I 2020 PMI hanya mencapai 45,64%. Sedangkan pada triwulan II 2020 berhasil mencapai 51,50%. 
 
Lebih dalam lagi, ternyata kontraksi PMI pada triwulan I 2020 disebabkan oleh kontraksinya hampir semua subsektornya. Tercatat hanya subsektor makanan, minuman dan tembakau yang masih mengalamai ekspansi (50,44%) walaupun lebih rendah dari triwulan IV 2019 (52,47%). 
 
Subsektor yang memang sudah mengalami kontraksi dari triwulan IV 2019 adalah subsektor tekstil, barang kulit, dan alas kaki yang memiliki PMI sebesar 49,71% kontraksi lebih dalam lagi menjadi 45,19% pada triwulan I 2020. Kemudian subsektor barang cetakan dari 49,01% menjadi 42,03%. Dan subsektor alat angkut, mesin dan peralatannya dari 47,14% menjadi 41,28%. 
 
Selanjutnya adalah subsektor dengan PMI yang mengalami kontraksi pada triwulan I 2020. Dan ini kemungkinan besar terdampak oleh wabah Covid-19. Diantaranya adalah subsektor barang kayu dan hasil hutan lainnya dari 50,36% menjadi 42,59%. Subsektor pupuk, kimia, dan barang dari karet dari 51,48% menjadi 44,48%. Kemudian subsektor Semen dan barang galian non logam dari 57,43% menjadi 40,26%. Dan yang terakhir adalah subsektor logam dasar besi dan baja dari 50,53% menjadi 36,89%. 
 
Tenaga Kerja Industri Pengolahan 
 
Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah penduduk bekerja di sektor industri pengolahan selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada Februari 2018 tercatat 17,92 juta jiwa bekerja di sektor industri pengolahan. Selanjutnya bertambah menjadi 18,23 juta jiwa pada Februari 2019. Dan terakhir menjadi 18,46 juta jiwa pada Februari 2020. 
 
Pada Februari 2020, jumlah penduduk yang bekerja di sektor industri pengolahan tersebut setara dengan 18,63% dari keseluruhan jumlah penduduk bekerja. Sehingga menempatkan industri pengolahan pada posisi ketiga terbanyak yang menyerap tenaga kerja. 
 
Badan Pusat Statistik pada Februari 2020 mencatat, bahwa rata-rata upah buruh sektor industri pengolahan merupakan upah buruh keenam terendah dibandingkan sektor lapangan usaha yang lain. Rata-rata upah buruh laki-laki mencapai Rp 3.114.074,- dan rata-rata upah buruh perempuan mencapai Rp 2.304.675,- . Sehingga rata-rata upah buruh industri pengolahan mencapai Rp 2.817.234.-. 
 
Bank Indonesia juga mencatat, realisasi penggunaan tenaga kerja sektor industri pengolahan mengalami penurunan. Penurunan tersebut ditunjukkan oleh Saldo Bersih Tertimbang (SBT) penggunaan tenaga kerja bernilai -1,75%. Nilai tersebut, merupakan nilai paling kecil jika dibandingkan SBT penggunaan tenaga kerja sektor yang lain. 
 
Jika dilihat lebih jauh, ternyata hanya subsektor makanan, minuman, dan tembakau yang mengalami kenaikan penggunaan tenaga kerja. Subsektor tersebut berhasil memiliki SBT sebesar 0,31. 
 
Dengan kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa banyak tenaga kerja sektor industri pengolahan yang tidak digunakan tenaganya. Jadi selama triwulan I 2020, yang merupakan awal mula terjadinya pandemi Covid-19, sudah banyak tenaga kerja sektor industri pengolahan yang tidak aktif bekerja. Hal tersebut dikhawatirkan akan meningkatkan tren angka pengangguran di Indonesia, dimana pada Februari 2020 mencapai 4,99%. 
 
Tentunya kebijakan yang cepat dan tepat sasaran sangat dibutuhkan untuk mengatasi hal tersebut. Karena buruh industri pengolahan sangat banyak, seharusnya mereka mendapatkan prioritas sebelum jatuh ke lubang pengangguran.  
 
Saran Kebijakan 
 
Dari keseluruhan subsektor yang tercakup dalam sektor industri pengolahan. Nampaknya hanya subsektor makanan, minuman, dan tembakau yang masih bisa "bertahan" pada triwulan I 2020. Hal tersebut didukung oleh kontribusinya terhadap yang cukup tinggi pada PDB triwulan I 2020. Tercatat mencapai 6,52%. 
 
Dan tidak salah jika subsektor makanan, minuman, dan tembakau menjadi salah satu prioritas pelaksanaan Revolusi Industri 4.0. Subsektor lainnya yang menjadi prioritas diantaranya adalah tekstil, otomotif, elektronik, dan kimia. 
 
Ada yang menarik diantara subsektor yang menjadi prioritas Revolusi Industri 4.0 tersebut. Yaitu subsektor kimia, farmasi dan obat tradisional. Di tengah pandemi Covid-19 ini, subsektor tersebut sangat dibutuhkan outputnya. Apalagi obat tradisional. 
 
Obat tradisional tentu menjadi alternatif untuk pencegahan terhadap Covid-19. Selama vaksin masih belum ditemukan, obat tradisional akan menjadi pilihan masyarakat untuk meningkatkan sistem imun.  
 
Meskipun kinerja subsektor tersebut masih belum baik pada triwulan I 2020. Tetapi Bank Indonesia memprediksi bahwa subsektor tersebut akan mengalami perbaikan kinerja pada triwulan II 2020 dengan PMI yang lebih tinggi (45,11%) dibandingkan triwulan I 2020 (44,48%). Ya, meskipun masih mengalami kontraksi. Jadi pemanfaatan secara maksimal subsektor kimia selama pandemi Covid-19 ini, bisa menjadi alternatif untuk mendongkrak kinerja sektor industri pengolahan pada triwulan berikutnya. 
 
Selanjutnya, terkait kesejahteraan tenaga kerja, nampaknya juga akan menjadi salah satu fokus kebijakan. Pasalnya jumlah tenaga kerja yang sangat besar pada sektor ini, menjadi dua mata pisau, bisa menguntungkan dan bisa merugikan. 
 
Menguntungkan jika di tengah pandemi, sebagian besar tenaga kerja masih bisa terserap dalam pasar kerja. Dan sebaliknya, akan merugikan jika sebagian besar dari mereka tidak terserap alias menganggur. 
 
Pemerintah sudah menyiapkan kartu prakerja untuk mengatasi tenaga kerja yang tidak terserap pasar. Namun, hingga saat ini, kebijakan tersebut masih belum jelas arah dan tujuannya. Ditambah lagi masih adanya kritik dari sana-sini bahwa kebijakan tersebut hanya menguntungkan pengusaha penyedia layanan pelatihan saja. 
 
Oleh karena itu, para pekerja yang menganggur diharapkan tidak diam saja, menunggu belas kasihan pemerintah. Mereka harus aktif dan kreatif menciptakan pasar sendiri di tengah pandemi. Meskipun kecil, kebutuhan sehari-hari harus tetap terpenuhi. 
 
*Zulfikar Halim Lumintang, SST, Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.