Jangan Ada Provokasi pada Pelajar Ketika Aksi Demo

Foto Ilustrasi

Oleh : Raditya Rahman 

Pada unjuk rasa tolak omnibus law tanggal yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, terungkap fakta bahwa acara itu tak hanya dipenuhi oleh para buruh, namun juga pelajar. Ternyata mereka hanya ikut-ikutan berdemo tanpa tahu sebenarnya apa itu omnibus law. Diduga ada yang memprovokasi pelajar dan menjadikan mereka kambing hitam.

Publik kaget ketika ada pelajar yang ikut dalam aksi demo tolak omnibus law yang lalu. Mereka ikut berdesak-desakkan sambil berteriak, di tengah kumpulan buruh dan masyarakat sipil. Mengapa mereka ikut berdemo? Apakah ikut membela orang tuanya yang bekerja sebagai buruh?

Ketika ratusan pelajar ditangkap sebelum masuk ke arena demo susulan, terungkap fakta yang mengejutkan. AKBP Antonius Agus Rahmanto, Wakapolres  Metro Jakarta Selatan menyatakan bahwa para pelajar ini sebenarnya tidak tahu esensi demo tersebut. Mereka hanya jadi korban provokasi di media sosial, oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.

Antonius melanjutkan, pihaknya menduga ada orang yang licik dengan mengajak pelajar untuk ikut berdemo, serta memanas-manasi mereka untuk berbuat anarki. Jadi ketika ada kerusuhan dalam unjuk rasa, yang dikambing hitamkan. Ia dengan keras melarang para pelajar untuk masuk dalam kumpulan massa unjuk rasa.
Ketika pelajar dilarang untuk berdemo, alasan pertama adalah mereka belum cukup umur untuk melakukan unjuk rasa, karena bisa jadi ada yang berusia di bawah 17 tahun. Ketika mereka terprovokasi untuk melakukan perusakan terhadap fasilitas umum dan tertangkap, maka masih dianggap belum dewasa oleh hukum di Indonesia. Jadi tidak bisa disel di lapas umum.

Provokator tinggal tersenyum karena mereka berhasil melakukan misinya. Jakarta berhasil dirusak sebagai ancaman ketika omnibus law diresmikan. Namun pelakunya tak bisa dihukum karena dianggap anak-anak. Provokator tinggal menunjuk pelajar sebagai pion untuk beraksi dan mereka tak perlu repot mengotori tangan untuk menolak omnibus law.

Yang kedua, para pelajar tidak tahu apa itu omnibus law. Namun memutuskan ikut demo agar terlihat keren dan berani. Juga ada pelajar yang beranggapan lebih baik ikut unjuk rasa untuk uji nyali, daripada tawuran lalu dikejar oleh aparat. Padahal resikonya sama saja. Fenomena ini menyedihkan karena mereka hanya membebek tanpa tahu apa-apa.

Selanjutnya, jika ada pelajar yang jadi korban luka dalam demo, maka orang tua akan sangat khawatir dan sedih. Mereka bisa ketinggalan pelaaran karena sakit. Oleh karena itu, polisi menghalau pelajar karena resiko berunjuk rasa sangat besar. Pelarangan bukan berarti aparat bertindak arogan, namun justru untuk melindungi para pelajar dari kemungknan terburuk saat unjuk rasa.
Para kepala sekolah di DKI Jakarta juga dengan tegas melarang murid-muridnya untuk ikut demo. Bahkan mereka terancam diskors jika ketahuan masuk ke arena unjuk rasa. Karena demo tersebut bukanlah ranah mereka. Lagipula, bukankah tugas seorang pelajar adalah belajar? Bukan berdemo di jalanan dan menjadi makin liar.

Mayarakat juga diminta untuk melarang ketika ada kumpulan pelajar yang nekat berdemo. Jangan malah disemangati, karena sama saja ibarat memasukkan mereka ke kolam isi buaya. Ingatlah bahwa para pelajar itu seharusnya masuk sekolah. Bukannya membolos, berunjuk rasa, berteriak-teriak di jalan, namun sedihnya tak tahu apa isi omnibus law.

Fenomena pelajar yang ikut demo menjadi peringatan bagi kita semua, bahwa provokator makin menggila. Mereka tak mempedulikan nasib pelajar ke depan, ketika mempengaruhi untuk ikut unjuk rasa. Demo dianggap keren dan kekinian. Namun sayang itu hanya ilusi yang diberikan oleh kaum penghasut. Jagalah anak-anak kita jangan sampai ikut unjuk rasa.

(Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini)