Jaga Kerukunan, Waspadai Hoax

Ilustrasi

Beberapa waktu yang lalu, terutama dalam konteks kontestasi pemilu, hoax (ujaran kebencian) begitu banyak muncul.

Keberadaannya menandai sisi gelap demokrasi. Orang merasa bebas untuk mengeluarkan pendapat dan menyebarkan berita bohong demi kepentingan sektoral tanpa mempertimbangkan adem dan rukunnya publik. Akibatnya, hoax menjadi efektif dalam upaya menajamkan konflik masyarakat dan mendorong keterbelahan. 

Pada penghujung Tahun 2019, sebagaimana dikutip berbagai media nasional, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa seturut perkembangan politik akomodatif yang dijalankan, hoax turun 80 persen. Data ini tentu patut disyukuri. 

Namun demikian, sisa 20 persen hoax itu tetap punya potensi yang memiliki daya rusak yang sangat merugikan. Di samping itu, ujaran kebencian  rasanya akan tetap menjadi “hantu” harmoni masyarakat karena beberapa hal. 

Pertama, ujaran kebencian menjadi bagian dari sisi psikologi sosial. Di tengah mood sosial yang suka dengan budaya tutur dan ghibah, ujaran kebencian mudah tersemaikan. Ghibah, bergosip itu, lebih mengedepankan sensasi dan meminggirkan fakta sesungguhnya. 

Kedua, ujaran kebencian cenderung menjadi bagian dari pemeran kontestasi politik. Dari data lembaga pemantau aktifitas online drone emprit (2019) secara statistik terlihat betapa masif dan aktifnya persebaran hoax selama Pemilu tempo hari. Dalam konteks ini, beberapa bulan lagi kontestasi pemilukada akan serentak dilakukan di berbagai wilayah di tanah air. Mewaspadai  kemunculan hoax, dengan belajar dan mengambil hikmah dari kontestasi politik yang telah berlangsung, menjadi penting dan mendesak dilakukan bersama.  

Klaus Schwab dalam The Fourth Industrial Revolution menggambarkan bahwa pada era sekaranglah manusia menghadapi perubahan yang demikian masif di semua bidang, terutama dalam dunia industri. Perubahan di sektor ini diikuti dengan perubahan di bidang kemasyarakatan yang ditandai dengan berubahnya cara berelasi antarindividu, bekerja, berkomunikasi, hingga bereksperesi dan berpolitik. Dukungan teknologi yang demikian masif menjadikan perkembangan budaya demikian pesat dan tidak terprediksi sebelumnya. Ide Schwab tentang Revolusi Industri 4.0 dipandang mampu menandai dengan tepat bagaimana pendulum sejarah peradaban bergerak. 

Orang bilang bahwa sekarang adalah zaman yang serba terkoneksi secara digital. Dalam artikulasi kekinian, Thomas Friedman dalam Thank You For Being Late menunjukkan bahwa masyarakat hidup dalam aliran perdagangan global dan ikatan erat jejaring sosial yang tidak hanya sangat terkoneksi (hyperconnected) namun juga tergantung satu sama lain. Dalam relasi seperti ini, sekelompok masyarakat bisa saja dan sangat mungkin mengalami kondisi rentan terkena dampak tindakan seseorang yang dilakukan orang di belahan dunia lain. 

Dalam konteks berkembangnya informasi, jauh sebelumnya Marshall McLuhan sudah memprediksi hal ini. Pandangan McLuhan sangat visioner dalam menilai perkembangan informasi. Tahun 1960an, 20 tahun sebelum internet ditemukan, McLuhan sudah mengatakan bahwa pelan tapi pasti dunia akan berkembang menjadi global village,  menjadi desa global. Berbeda dengan perkotaan yang lebih kompleks jejaring infrastruktur dan konektivitasnya, sebuah desa terbentuk dan terbangun dengan struktur sosial, budaya, dan ekonomi yang memungkinkan penduduknya untuk saling mengenal lebih dekat satu sama lain. Dalam kaitan globalitas kebersamaan ini, McLuhan juga memberi gambaran yang menarik tentang makna media dan pesan. 

Dalam The Medium is The Massage, McLuhan seperti menyadari bahwa ada makna yang berkelindan antara massage, message, dan “mass age”. Haidar Bagir (2019) melihat bahwa McLuhan telah dengan sadar membuat hubungan tripartit ini sebagai kondisi dimana informasi telah dikemas dengan suatu cara yang demikian memikat orang. Dalam sebuah konsep kesatuan, pesan (message) telah menyihir (me-massage) orang yang bisa saja melahirkan zaman yang penuh kekacauan (mess age). 

Teks ini kemungkinan tertulis The Medium is the Message, bukan The Medium is the Massage.  Massage, message, dan “mess age” menjadi penanda sekaligus peringatan McLuhan bahwa informasi dengan aneka bentuk dan pengaruhnya bisa menjadi pihak yang membawa kesejukan, menumbuhkan kedamaian dan menyumbang perkembangan peradaban, tapi juga bisa memiliki daya rusak yang sangat tinggi terhadap peradaban itu sendiri melalui rupa-rupa bentuk dan pengaruh negatifnya. 

Media online, mesin pencari informasi, dan messaging sebagai sarana pencarian dan penyebaran informasi menjadi semacam kelindan yang efektif bagi publik untuk merayakan apapun yang menjadi perhatian masyarakat. Google, misalnya, telah menjadi perangkat yang sedemikian rupa berkembang mengikuti apapun kecenderungan dan kebutuhan kita sebagai manusia. 

Meruyaknya kemampuan google untuk mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan manusia bisa jadi tidak disadari oleh manusia sebagai penggagasnya. Dengan dukungan algoritma artificial intelligent (AI) dan masifitas big data yang diolah sedemikian rupa menjadikan manusia sebagai pihak yang selalu terawasi dan “dikelola” oleh mesin temuannya sendiri. 

Di sisi lain membuncahnya informasi mengantarkan orang pada kebingungan untuk memilah dan memilih informasi yang diperlukan. Dalam kondisi demikian, banyak orang, tanpa keahlian, seringkali disertai dengan niat buruk, menjadi korban ataupun malah pelaku dari kekacauan atau kesimpangsiuran (mess) informasi.  Kesimpangsiuran menjadi mungkin karena derasnya informasi yang ada disertai kepentingan personal dan atau institusi dikemas sedemikian rupa menjadi sarana yang mewarnai keseharian publik. 

Publik seperti berlomba untuk menjadi yang pertama dalam mewartakan isu-isu penting, entah komentar mengenai kehidupan politik, sosial, budaya, dan keagamaan.  Orang mengenalnya kemudian, di antaranya, sebagai broadcast atau informasi semacamnya yang disebarkan melalui berbagai sarana media sosial. 

Keinginan untuk menjadi yang pertama, menjadi yang fungsional dan punya peran dalam informasi dan proses mewartakannya seringkali menemui ranah hukum karena tanpa disertai dengan kualitas pemahaman yang memadai terhadap informasi yang dihadapi, keahlian, dan keujuran serta tanpa upaya check and recheck. Berkembanglah kemudian apa yang akrab dikenal sebagai hoax (berita bohong dan fitnah), hate speech (ujaran kebencian) dan juga religious hate speech (ujaran kebencian keberagamaan).  Sarana untuk berkembang dan penyebarannya sejauh ini diantaranya adalah media sosial facebook, twitter, instagram, dan sarana messaging seperti whatsapp, telegram, signal, tam-tam, dan lainnya.

Sebaran dan intensitas untuk terlibat dan terhubung secara online, dan pada tingkat tertentu menjadi korban dan atau produsen hoax, hate speech, dan religious hate speech terlihat setidaknya dari dua latar utama, yakni latar teknis dan latar sosial budaya (psikologi prasangka) masyarakat Indonesia. 

Pertama, secara teknis, intensitas masyarakat Indonesia untuk terus terhubung secara online terlihat dari data yang dikelurkan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet di Indonesia). 

APJII pada tahun 2016 mengeluarkan data mengenai populasi pengguna internet. Dalam data tersebut APJII mencatat bahwa pengguna internet pada tahun 2016 mencapai 132,7 juta dari 256,2 juta penduduk keseluruhan. Itu artinya separuh lebih masyarakat Indonesia telah terkoneksi dengan internet. Bisa dibayangkan bagaimana intensitas komunikasi online masyarakat Indonesia dengan data tingkat penggunaan seperti itu. 

Kedua, secara sosial budaya masyarakat Indonesia sangat mudah memiliki prasangka negatif sebagaimana yang ditunjukkan Prof Sarlito Wirawan dalam penelitiannya. Melalui penelitian mengenai psikologi prasangka orang indonesia, Sarlito menyimpulkan masyarakat Indonesia mudah memberikan penilaian sekilas tanpa mendalami dahulu. Dengan mendasarkan diri pada, diantaranya, rujukan dan teori prasangka yang berasal oleh Nelson (2002), Sarlito menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia mudah memberikan penilaian berdasarkan prasangka dalam hal politik, sosial, ekonomi, agama, dan ras. 

Prasangka di sini merujuk pada suatu evaluasi negatif seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau kelompok lain, semata-mata karena orang atau pihak lain tersebut merupakan anggota kelompok lain yang berbeda dari kelompoknya sendiri. Lebih jauh Nelson melihat bahwa prasangka merupakan persepsi yang bias karena hanya didasarkan pada informasi yang salah atau tidak lengkap maupun hanya hasil imajinasi belaka. Inilah letak bahaya prasangka yang dalam literatur Islam dikenal sebagai fitnah. Jika persepsi imajiner diletakkan, dipahami, disebarkan, dan lebih jauh didesakkan sebagai fakta, maka di sinilah situasi dan kondisi mess (kekacauan) itu berlangsung.        

Prasangka lebih sering berupa tampilan wajah kebenaran yang tidak pernah terdeteksi dan terukur, semacam kondisi “facing the faceless”, menghadapi yang tak bermuka, meminjam istilah yang dipakai oleh Peter Verbezen. Prasangka adalah wajah kebenaran yang dimanipulasi oleh keinginan sesaat dan ambisi. Temuan Sarlito Wirawan memperkuat hal ini.  Sarlito melihat masyarakat indonesia kuat dipengaruhi setidaknya oleh prasangka etnis dan agama. 

Dalam konteks psikologi prasangka ini, kebenaran bukan lagi menjadi acuan. Yang lebih mengemuka adalah stereotype/penggeneralisasian atau gebyah uyah dalam bahasa Jawa. Sarlito menilai bahwa stereotype berjalan dengan pola penggeneralisasian orang berdasarkan kategori kelompok tertentu. Prasangka yang berbentuk stereotype dapat memiliki dua sumber, yakni sumber sosial dan sumber kognitif. 

Dalam hal sumber sosial, dimungkinkan tumbuhnya in group (perasaan sebagai sesama anggota dalam sebuah kelompok) dan out group feeling. Mereka yang memenuhi anggapan sebagai yang bukan menjadi anggota kelompok adalah mereka yang tidak patut mendapat penghargaan sebagaimana anggota-anggota dalam kelompok. In group feeling menjadikan mereka yang di luar adalah mereka yang layak dimusuhi. 

Dalam konteks Islam, in group dan out group feeling ini juga  menjadi perhatian tersendiri. Alquran menjelaskan: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakanNya dan diberikanNya kesenangan, maka dia berkata “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata “Tuhanku telah menghinakanku” (al-Fajr 15-16).” Jika diberi kesenangan, manusia akan menjadikan Tuhan sebagai bagian dari dirinya, dan jika Tuhan sedang membatasi rezekinya, maka Tuhan dipahami sebagai pihak yang tidak ada dalam dirinya, bahkan menghinakannya. 

Pada konteks ini tedapat relevansi dengan gagasan relasi asimetris Martin Buber. Dengan tidak menjadikan pihak luar memiliki kemungkinan memasuki kelompok yang dimiliki karena tiadanya penghargaan sosial, maka relasi yang terjadi adalah asimetris, relasi yang tidak manusiawi. Relasi yang manusiawi adalah relasi yang terjadi ketika sikap diri dan kehendak bersama memberi kemungkinan dan membiarkan perjumpaan antarmanusia itu untuk saling menerima dan menghargai perbedaan. 

Titik penting dalam ide ini adalah mengenai perlunya saling menerima dan menghargai perbedaan sebagai fitrah kehidupan. Adalah sebuah nilai abadi dan hakiki kemanusiaan, bahwa harmoni merupakan nilai mendasar untuk terciptanya hubungan antarmanusia yang sesungguhnya. Sikap harmonis akan meminimalisir sikap yang mengedepankan prasangka yang membuat seseorang atau kelompok menjadi tidak menyenangkan bagi orang atau pihak lain atau anti terhadap orang atau kelompok lain. Wallahu a’lam

*Saiful Maarif, Bekerja pada Ditjen Pendidikan Islam Kemenag