Islam Bung Karno, Islamnya Indonesia

Soekarno

Bung Karno lahir dari kedua orang tua yang berbeda agama. Ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, adalah seorang bangsawan Hindu dari kasta Brahmana. Sementara ayahnya seorang Jawa Muslim. Bung Karno dalam buku biografinya, Penyambung Lidah Rakyat, yang ditulis oleh Cindy Adams menceritakan bagaimana sulitnya pernikahan kedua orang tuanya karena status ibunya sebagai bangsawan.

Perbedaan agama antara ibu dan ayah Bung Karno menunjukkan bahwa Bung Karno bukan sekadar orang yang menganut agama Islam karena terlahir dari keluarga Islam. Menjadi Islam bagi Bung Karno adalah pilihan. Bukan sekadar pilihan untuk mengikuti jejak ayahnya saja, tapi pilihan yg lahir dari pertimbangan matang setelah mempelajari apa itu Islam.

Apa yang disebut Mochamad Nur Arifin dalam bukunya, Bung Karno “Menerjemahkan” Al-Quran, bahwa Bung Karno adalah sosok nasionalis-religius sangat tepat jika tidak seratus persen benar. Bung Karno percaya dengan kekuatan doa. Dan dalam setiap doanya itu, ia selalu memohon kepada Allah SWT agar ia bisa bermanfaat bagi bangsa dan negerinya.

“Saya tidak tahu, akan diberi hidup oleh Tuhan sampai umur berapa. Tetapi permohonanku kepadaNya ialah, supaya hidupku itu hidup yang manfaat. Manfaat bagi Tanah Air dan Bangsa, manfaat bagi sesama manusia. Permohonanku ini saya panjatkan pada tiap-tiap sembahyang. Sebab Dialah Asal segala Asal, Dialah “Purwaning Dumadi”

Begitulah doa seorang nasionalis yang memiliki sisi religius begitu dalam. Menurut Bung Karno, doa ini selalu dipanjatkan setiap sehabis salat.

Nasionalisme Bung Karno tak perlu diragukan. Bahwa ia Islam by choice adalah kenyataan. Dan bahwa kepercayaannya kepada Islam begitu kuat pun tak dapat dipungkiri. Namun, Islam seperti apa yg sesungguhnya diinginkan Bung Karno, khususnya dalam konteks Indonesia?

Bung Karno mengkritik keras orang-rang Islam yang gemar melontarkan kata kafir kepada kebaruan dan kepada mereka yang berbeda. “Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”,” katanya.

Ketika itu, Bung Karno melihat bagaimana produk-produk yang hadir karena pesatnya perkembangan zaman dikafirkan. Dimulai dari pengetahuan Barat hingga sendok dan garpu sekalipun. “Bergaul dengan bangsa yang bukan Islam pun, kafir!”

Yang membuatnya semakin geram adalah orang-orang yang mudah mengkafirkan ini merasa paling Islam semata-mata karena penampilannya saja, tampak luarnya saja. Bagi Bung Karno, yang semacam ini sudah menghilangkan roh Islam yang sesungguhnya.

“Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggengam tasbih yang selalu berputar, dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagfirullah! Inikah Islam?”

Bung Karno, yang gemar menjadikan buku Spirit of Islam karya Sayid Amir Ali sebagai panutan itu, menilai Islam adalah motor kemajuan. Islam dinamis sebagaimana berkembangnya zaman. Jika tak dinamis, Islam tak akan mampu hidup selama ini. Hidupnya Islam hingga detik ini membuktikan bagaimana dinamisnya agama ini yang dengan mudah disesuaikan dalam konteks zaman dan masing-masing negara.

Kritik Bung Karno ini juga mencakup sistem pemerintahan. Jika membaca artikel-artikelnya tentang Islam, Bung Karno menolak sistem khilafah di Indonesia. Khilafah menurutnya adalah barang lama yang tak bisa diaplikasikan dalam sistem masyarakat masa kini. Ia melihat khilafah tak sesuai dengan keperluan zaman.

Bung Karno mengajak masyarakat berpikir tentang bagaimana Islam seharusnya tak sekadar copy-paste saja dari zaman kekhalifahan dahulu. Harus ada sistem politik yang dapat mengatur masyarakat yang sesuai dengan setiap zamannya.

Pemikiran Bung Karno ini selaras dengan pernyataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Didiklah anakmu sesuai dgn zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.”

Beda zaman, beda pula caranya. Karena itu, Bung Karno tak mau masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yg kuno. Dirinya menekankan bahwa kita bukan masyarakat onta, kita adalah masyarakat kapal udara.

Meski Bung Karno selalu saja mengaitkan Islam dengan perkembangan zaman, sebenarnya esensi Islam bagi dirinya sama seperti esensi nasionalisme baginya pula. Bung Karno sepakat dgn Gandhi bahwa nasionalismenya adalah kemanusiaan. Begitupun dengan Islam yg bagi dirinya adalah soal kemanusiaan.

Hal ini bisa dilihat dari ceritanya soal tranfusi darah. Bung Karno sering membantu korban perang dengan memberikan donor darah kepada mereka. Namun oleh sebagian kalangan Islam, ini dikritik karena seharusnya seorang Muslim yang “suci” tidak boleh memberikan darahnya kepada seorang kafir yang “tidak suci” dan sebaliknya.

Bung Karno marah besar! Ia menilai ini cara pikir yang biadab. Dan Islam tak pernah mengajarkan kebiadaban semacam itu. Menurut Bung Karno, memberi bantuan darah kepada korban perang seharusnya sudah tidak melihat lagi apa suku, ras, dan agamanya. Ketika seseorang begitu membutuhkan bantuan darah, ia hanyalah seorang manusia biasa yang tak berdaya di hadapan Tuhannya. Lalu, mengapa sebagai manusia kita masih harus memikirkan siapa orang itu dan apakah pantas menerima darah kita?

Bung Karno mungkin ingin menatap masa depan Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia yang lebih sibuk membahas tentang sains. Tentang bagaimana Indonesia bisa mengembangkan berbagai macam teknologi terbarukan.

Bung Karno sudah pasti tak ingin kritik-kritiknya soal kafir-mengkafirkan masih relevan saat ini. Ia pasti berharap masalah Islam dan nasionalisme sudah tak lagi jadi perdebatan. Apalagi soal kemanusiaan yang menjadi esensi kita beragama dan bernegara.

Bung Karno santri HOS Cokroaminoto

Perjumpaan Bung Karno dengan Islam, dalam konteks ajaran yang ketat, diawali dengan perkenalannya dengan H.O.S Tjokroaminoto yang menjadi gurunya saat Soekarno kecil, mulai tumbuh sebagai remaja.

Melalui H.O.S Tjokroaminoto inilah Bung Karno mulai mengalami Islam secara mendalam beserta ajaran-ajarannya yang begitu luas. Tak hanya itu, ia juga terus belajar secara mandiri dengan membaca berbagai karya pemikir Islam dunia dan Nusantara, yang kemudian menjadi satu paket pemahaman ajaran Islam yang begitu lengkap dan mumpuni.

Bagi Bung Karno, menjadi seorang Muslim haruslah mengamalkan Islam dengan orientasi kemajuan, progresif, dan menurutnya, sistem khilafah Islamiyah adalah sebuah kemunduran zaman. Bung Karno telah menyadari jauh-jauh hari bahwa menjadi Muslim yang maju tidak harus menjalankan prinsip syariat dalam ketatanegaraan. Justru ajaran-ajaran Islam menjadi maju dengan cara bersinergi dgn alam pikiran modern yang berkembang.

Progresifitas pemikiran Islam Bung Karno yang berorientasi kemajuan ini, harus dilihat dari bagaimana ia dapat mempertemukan antara ajaran Islam berupa ritual keagamaan sekaligus memproduksi keilmuan modern. Artinya, seorang Muslim harusnya memiliki daya saing yang tinggi dan juga terlibat dalam menciptakan ilmu pengetahuan modern.

Menjadi Muslim tak boleh hanya sekedar mengamalkan ritual-ritual keagamaan semata. Lebih daripada itu, ia harus mensinergikan dengan perkembangan zaman dan menyadari betapa pentingnya kedua hal itu dapat menyatu, khususnya dalam membangun kemajuan peradaban umat manusia.

HOS Cokroaminoto adalah santri Pesantren Gebang Tinatar Yang diasuh oleh ulama besar tegalsari Ponorogo, KYAI AGENG MOHAMMAD BESARI. Dari tangan Kyai Ageng Hasan Besari telah lahir orang-orang besar, seperti Pakubuwono II atau Sunan Kumbul, Raden Ngabehi Ronggowarsito Palar Trucuk Klaten dan tokoh ulama Raden Bagus Harun atau Kyai Ageng Basyariah Sewulan Dagangan Madiun.

Alumni Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari:

  1. Susuhunan Paku Buwana II atau Sunan Kumbul, Raja Kerajaan Mataram Kartasura
  2. Bagus Harun Basyariyah pendiri desa Perdikan Sewulan, Dagangan Madiun dikenal sebagai Kyai Ageng Basyariyah. Salah seorang trah Ki Ageng Basyariah adalah Presiden RI ke 4 Abdurahman Wahid (Gus Dur)
  3. Muhammad Bin Umar pendiri Desa Perdikan Banjarsari, Dagangan Madiun
  4. Raden Ngabehi Ronggowarsito alias Bagus Burhan (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yg masyhur
  5. Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. ia diambil menantu oleh Kyai Khalifah (Penerus Kyai Hasan Besari Tegalsari) dan jadilah ia Kyai muda yg sering dipercaya menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.
  6. Santri besarnya adalah Bagus Darso yg dikenal dgn sebutan KH Abdul Mannan yg mendirikan Pondok Pesantren Termas, Pacitan pada 1830.
  7. H.O.S. Cokroaminoto Tokoh Pergerakan Nasional (lahir di Desa Bakur, Madiun, Jawa Timur, 16 Agustus 1882 – meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember1934 pada umur 52 tahun) masih keturunan Kyai Bagus Hasan Besari, Tegalsari
  8. Dan lain-lain

(Kanjeng Sunan Lumping)