Si Tukik yang Terdampar

Sebuah cerpen

Aku berkelakar menyusuri perairan Tapak Paderi. Aku takut, tapi mau bagaimana lagi. Teman-temanku sudah lebih dulu berenang kelautan lepas.

Masa, aku takut dengan kedalaman," gumamku.

"Kik! Ayo kesini. Di sini segar tau," seru Juno.

Aku pun menyusul Juno yang sedari tadi asik hilir mudik bermain air.

"Ini dunia kita, jadi kenapa kamu harus takut," sambung Kun.

Benar, sih. Tapi badanku jauh lebih besar dari tanganku untuk berenang. Kakiku juga belum cukup kuat mengarungi samudera. Apalagi aku belum tahu betul luas dan dalamnya lautan itu.

"Nak, yang harus kamu takutkan adalah pikiranmu menguasai diri. Bukan malah takut mencoba," tiba-tiba ibu menghampiriku dari belakang.

Tapi, bu. Bagaimana jika nanti aku dimakan ikan-ikan besar?"

"Bukankah kamu sudah mengalahkan kakak-kakakmu. Ibu kasih tahu, saat kamu masih dalam cangkang, ada buaya besar yang mencuri kakak-kakakmu. Buaya itu memakannya, tapi hanya kamu dan Juno yang berhasil selamat berkat bantuan Tuhan. Artinya, kamulah yang terpilih untuk hidup dan mengarungi luasnya samudera," cerita ibu lantas membuatku berpikir untuk tidak takut mengalahkan semuanya.

Seekor Tukik tidak boleh kalah dengan ketakutan.

***

Menginjak usia satu dekade, aku mulai terpikir untuk kembali pulang. Sudah lama sekali aku tak mengetahui kabar ibu.

Di perairan Bengkulu yang segar itu, rasanya membuatku rindu dan menarik harapan untuk mencari pasangan.

Juno juga sudah lebih dulu menelurkan keturunan-keturunannya. Begitu juga dengan sahabatku Kun. Terakhir bertemu, ia mengajakku untuk menepi di Pulau Tikus dan membuat rumah di sana.

Ah, rasaku sudah cukup berkeliling samudera. Lebih baik aku menemui dulu ibu. Siapa tahu dia rindu kehadiranku.

Aku segera melepas cangkang hijauku yang sudah mulai kusam dan menggantinya dengan cangkang baru. Juga supaya ketampananku mengalahkan penyu-penyu lainnya. Sudah pasti tahu, kalau di perairan Tapak Paderi tempatku di telurkan ke dunia dulu, begitu banyak penyu betina.

"Ah, semoga saja," riangku.

**

Malam tidak menghalangiku untuk terus berenang mencapai daratan Rafflesia. Ombak juga sepertinya mendukung kepulanganku dengan tidak begitu tinggi menari.

"Beberapa ratus meter lagi aku bakal sampai ke rumah," namun terlihat ada yang berbeda dari sebelumnya. Banyak lampu berjajar di sepanjang pantai yang begitu terang dan menghibur. Kerlap-kerlipnya membuatku semakin bersemangat berenang.

Namun tak begitu jauh, dadaku mulai sesak. Penglihatanku sedikit terganggu dengan busa-busa yang tak biasa.

"Ini bukan kadar garam. Ini busa pekat, apa?", tanyaku dalam hati.

Aku bukan mengharapkan jawaban. Tapi sebaliknya, aku mengharapkan itu bukan pertanda apa-apa.

"Akh.. Uhuk-uhuk.

Ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokanku. Semakin pekat dan mencekik leher. Aku mengencangkan tanganku untuk cepat sampai di daratan.

Sorot lampu mulai terlihat berbeda. Begitu terang dan mengelabuhi pandanganku. Busa-busa liar masuk dari sela-sela cangkangku. Dan, Aghh...

**

Ibu bercerita tentang bagaimana ia bersama teman-temannya berjuang menggalahkan ombak lautan. Ia juga bercerita saat Ayah mengajaknya mendarat di Pulau Tikus nan indah.

Ayah memiliki sepasang tungkai depan yang berupa kaki pendayung yang memberinya ketangkasan berenang di dalam air. Walaupun seumur hidup ayah berkelana di dalam air, sesekali Ia tetap naik ke permukaan air untuk menghirup napas segar di perairan Bengkulu. Ayah pernah mengajak ibu bermigrasi dengan jarak yang cukup jauh dengan waktu yang tidak terlalu lama. Jarak 3.000 kilometer dapat ditempuh 58 - 73 hari.

Cerita itu terus kuingat dan menjadi motivasi bagiku. Aku ingin berenang lebih jauh lagi, lagi dan lagi.

**

Mataku perlahan terbuka. Tubuhku tak berdaya dan napasku tersengal. Kulihat langit begitu pekat, tidak seperti biasanya.

"Ah, ternyata tubuhku terbalik. Tapi di mana ini," gumamku.

Yang kulihat hanya cerobong dengan asap membumbung tinggi, menutupi sisa-sisa biru langit.

Agh.. Tidak bisa.

Aku berusaha membalikkan tubuhku. Tapi rasanya habis daya. Aku terdampar jauh dari pulau yang kumau.

"Di mana ini" tak terasa air mataku menetes. Busa pekat mengelilingi tubuhku disertai jatuhnya tetes hujan yang sedikit hitam.

Aku hanya berharap akan ada manusia yang baik hati menolongku. Aku ingin sekali bertemu ibu. Aku ingin bercerita bagaimana aku berenang sampai di Pulau Enggano, dan kembali mengalahkan tingginya ombak Tapak Paderi.

Tapi ini, kenapa tangan dan kakiku begitu kaku. Leherku juga tak bisa digerakkan.

***

Bengkulu, 15 Desember 2019

M Bisri, Komunitas Menulis Bengkulu