Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi Barat

Ilustrasi

Penyebaran Islam di Mamuju, Sendana, Pamboang dan Tappalang mula pertama diperkenalkan oleh Sayyid Zakaria dan Kapuang Jawa alias Raden Mas Suryo Adilogo yang tidak lain adalah murid dari Sunan Bonang yang datang dari Kalimantan menyebarkan siar Islam, lalu lanjut ke pulau Sulawesi dan meratap pertama kali di Mamuju. (ibid).

Belum lagi banyaknya pemakaman Tosalama’ lainnya di tanah Mandar, yang juga sekaligus dapat membuktikan betapa membuminya Islam di tanah Mandar. Salah satu yang masi ramai dikunjungi oleh banyak orang adalah, di Pulau Tosalama’ di Kecamatan Binuang Kabupaten polewali Mandar. Dimana ditempat tersebut dan berada di atas puncak ketinggian dikebumikan Syekh Bil Ma’ruf yang juga diyakini adalah salah seorang menganjur Islam di tanah Mandar. Ditempat itu pula, tepat dipintu masuk makam jelas terbaca monument ordinantie nomor 238 tahun 1931 yang diperkirakan menyebarkan Islam di Mandar sekitar Abad ke-16 M.

Lantas bagaimana dengan Islam di wilayah Pitu Ulunna Salu. Baik dicoba pula dibongkar sedikit memori sejarah peradaban perkembangan Islam di daerah tersebut. Seperti yang ditulis oleh Ibrahim Abbas (1999), yang menyebutkan, bahwa memahami sejarah awal mula Islam dikenal di Pitu Ulunna Salu terjadi sekitar abad ke-17 dan ke-18 yang ditandai dengan kehadiran Tuanta di Bulobulo di daerah tersebut dan membuat Indo Kadanene’ atau yang bergelar Todilamung Sallang (dimakamkan dalam keadaan beragama Islam-pen). Yang lalu susul menyusul diikuti oleh raja-raja di persekutuan Pitu Ulunna Salu tersebut, seperti Indo Lembang, Tomakaka’ Mambi, Tomakaka’ Matangga. Kecuali Tabang, Tabulahan dan Bambang hampir semua kerajaan-kerajaan di persekutuan Pitu Ulunna Salu mengikuti dan memeluk agama Islam.

Sedang Sarman Sahudding (2004) menulis, Islam pertama kali datang dibawa oleh para pedagang dari wilayah pesisiran pantai, seperti Haji Cendrana, Haji Tapalang, Haji Pure dan Daeng Pasore dan itu terjadi sekitar akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Daerah yang pertama didatangi oleh pedagang tadi untuk menyebarkan Islam tersebut adalah Lembang Matangga atau daerah Posi’ melalui daerah Mapi dan Tu’bi. Hal lain yang juga dapat dijadikan titik tumpu penelusuran sejarah peradaban Islam di Pitu Ulunna Salu adalah melalui ditemukannya kuburan tua di daerah Matangga yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai kuburan tempat dikebumikannya To Salama’ atau sang pembawa Islam pertama kali ke daerah mi. Konon sebelumnya pernah datang dua or­ang yang tak dikenal sebagai pembawa Islam pertama.

Namun yang satunya kembali, sedang yang satunya lagi tinggal dan lalu meninggal di daerah Lembang Matangga, hingga akhirnya dikebumikan di tempat tersebut. Dari kuburan tempat dikebumikannya itulah kemudian, lalu dianggap keramat oleh peduduk sekitar yang hingga kini diyakini adalah kuburan Wall sang pembawa dan penyebar Islam di wilayah Pitu Ulunna Salu. Sedang daerah kedua tempat penyebaran Islam di wilayah persekutuan ini adalah di daerah Talipukki. Sebagai Bahagian dari Lembang Mambi, di daerah ini juga ditemukan kuburan yang sama, juga diyakini sebagai pekuburan To Salama’ yang dipercaya pertama kali membawa Islam ke Daerah Talipukki. Demikian pula halnya dengan daerah Lembang Aralle, dimana dari daerah ini didapatkan pembuktian adanya Daeng. Mappali yang tak lain adalah cucu dari Kada Nene’. Yang lalu dipercaya sebagai orang yang pertama memeluk Islam. Hal itu terbukti dengan gelar yang disandangkan atasnya yakni, TodilamungSallang(yang dikebumikan dalam keadaan muslim-pen). Sedang di Lembang Rentebulahan, juga dikenal seorang nama Tomesokko’ Sallang (yang berkopiah muslim-pen) yang tak lain adalah cucu dari salah seorang cucu Indo Lembang di Rantebulan.

Misalnya asumsi yang dikemukakan oleh Andi Syaiful Sinrang. I Salarang Tomatindo di Agamana Maradia Pamboang, ayah dari Tomatindo di Puasana Maradia Mamuju, pada tahun 1608 menjalin hubungan persahabatan dengan Aji Makota Sultan Kutai VI (1545-1610), yang dibuktikan dengan adanya syair:

tenna' diandi ada’na 
nama’ anna’ jambatang 
anna silosa 
Kute anna Pamboang

(Andaikata ada jalan
akan kubuat jembatan
agar tersambung
Kutai dengan Pamboang)

Dan yang paling terkenal, syair lagu “Tengga-tenggang Lopi”, yang didalamnya mensiratkan orang Mandar tidak mau makan babi yang dihidangkan bangsawan di Kutai. Kesimpulannya, Islam telah masuk di Mandar sebelum tahun 1608.

Sebagai wilayah yang mendapat pengaruh atau kekuasaan kerajaan di selatan (awalnya Kerajaan Siang untuk kemudian Kerajaan Goa), agama Islam masuk ke daerah Mandar berlangsung dalam abad ke-16. Penyebar Islam di Mandar yang diketahui antara lain, Syekh Abdul Mannan Tosalamaq Disalabose, Sayid Al Adiy, Abdurrahim Kamaluddin, Kapuang Jawa dan Sayid Zakariah. Belum diketahui hubungan mereka di atas dengan tiga penyebar Islam dari Minangkabau yang mengislamkan Kerajaan Luwu’ dan Kerajaan Goa, apakah sebagai kolega, sebagai guru-murid, ataukah kedatangan ulama-ulama di Mandar atas perintah kerajaan-kerajaan Islam besar, misalnya Johor, Goa, atau Ternate.

Pionir Penyebar Islam di Mandar

Salah satu penyebar Islam di atas, Sayid Al Adiy, menjadikan Lambanang sebagai pusat penyebaran Islam di Mandar. Yang mana, saat ini masih bisa kita lihat situs masjid tertua di Mandar, Masjid Lambanang. Desa Lambanang terletak di Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar. Beberapa puluh meter di atas permukaan laut, tepatnya di balik bukit “Buttu Lambanang”, yaitu perbukitan di utara Pambusuang. Arah masuk jalannya terdapat di Desa Galung Tulu ke arah kanan bila datang dari Polewali (dari kota Polewali kira-kira 40km).

Tak jauh dari masjid tersebut terdapat makam Sayid Al Adiy, yang bergelar Annangguru Ga’de. Dia keturunan Malik Ibrahim dari Jawa.

Dalam Lontara Balanipa, Abdurrahim Kamaluddin atau “Tosalamaq Dibinuang” pertama kali mendarat di Galetto, Tammangalle (situs pelabuhan kuno di Mandar yang hanya berjarak beberapa kilometer dari Lambanang). Bangsawan pertama yang diislamkan oleh Abdurrahim Kamaluddin adalah Kanne Cunang “Mara’dia” Pallis, kemudian Kakanna I Pattang Daetta Tommuane, Raja Balanipa ke-4. Daetta Tommuane adalah putra Todijalloq, “Mara’dia” Balanipa yang ke-3, ibunya dari Napo Balanipa. Kawin dengan sepupunya Daetta Towaine, putri Tomepayung, “Mara’dia” Balanipa yang ke-2. Naik tahta 1615. Pada masanya mulai diadakan atau dibentuk lembaga “Mara’dianna Saraq” (Raja di Bidang Syara/Agama’), disebut Kali ‘Kadi’.

Ucapannya yang sangat terkenal dalam lontar Mandar dan banyak dihafal oleh orang Balanipa:Naiyya maraqdia, tammatindoi di bongi, tarrarei di allo, na mandandang mata dimamatanna daung ayu, diamalimbonganna rura, diamadinginna litaq, diajarianna banne tau, diatepuanna agama (Adapun seorang raja, tidak dibenarkan tidur lelap di waktu malam, berdiam diri dan berpangku tangan di waktu siang hari. Ia wajib selalu memperhatikan akan kesuburan tanah dan tanam-tanaman, berlimpah ruahnya hasil tambak dan perikanan, damai dan amannya negeri/kerajaan, berkembangbiaknya manusia/penduduk dan mantap teguhnya agama).

Beliau merupakan perintis berdirinya semacam pesantren yang disebut muking ‘mukim’ yang pertama, tempat mendidik empat puluh orang kader pemimpin agama di Kerajaan Balanipa. Tempat muking itu di Tangnga-Tangnga (sekarang dalam wilayah Desa Tangnga-Tangnga, Kec. Tinambung, Kab. Polman). Di Tangnga-Tangnga juga didirikan masjid pertama di Kerajaan Balanipa menjadi Masjid Kerajaan Balanipa.

Penyebaran Islam dan Cerita Gaib

Waktu ke waktu, penyebaran Islam di Mandar berkembang pesat dan cepat. Fenomena ini cukup mengherankan, sebab tidak butuh waktu lama untuk menjadikan Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Mandar. Awalnya, penyebar Islam hanya menitikberatkan perhatian dalam hal pemberlakuan syariat, menekankan tata cara peribadatan dan perayaan ritual Islam yang benar, seperti penyunatan, perkawinan, dan penguburan. Dalam hal larangan mengkonsumsi daging babi dan berzina sangat dilarang, tetapi larangan lain seperti minum tuak dan opium, meminjamkan uang riba, berjudi, dan mempersembahkan sajian ke tempat keramat dan memuja benda pusaka agaknya tidak terlalu ditegakkan.

Salah satu strategi penyebaran Islam di Mandar adalah memperlihatkan dan atau menceritakan hal-hal gaib bagi orang-orang yang meragukan kemampuan penyebar Islam. Itulah sebabnya, hampir semua penyebar Islam di awal-awal penyebaran (hingga tahun 60-an) adalah orang-orang berbasis tarekat.

Misalnya kisah Syekh Al Ma’ruf, salah satu murid To Salamaq di Binuang, yang diragukan pendapatnya tentang arah kiblat di masjid yang dia bangun. Dia lalu melubangi dinding pengimaman masjid sebelah barat. Para pemrotes disilakan datang ke dinding pengimaman dan mengintip melalui lubang dinding. Semuanya melihat Ka’bah di Mekkah. Rakyat di Binuang dan sekitarnya makin bertambah hormat kepadanya. Sejak itu masyarakat memberikan gelar Saiyyeq Losa ‘Sayid Tembis’. Maksudnya, Orang yang Terhormat, yang pandangannya tembis, dapat melihat hal-hal dan benda-benda yang jauh.

Lain lagi kisah Syekh Syarif Ali, penyebar agama Islam yang datang dari Mekkah. Konon meninggalkan Mekkah bersama saudaranya, Syekh Syarif Husain melalui laut, dengan mengendarai selembar tikar sembahyangnya. Kemudinya tongkat besi panjang dua meter. Ada tujuh tongkat yang berganti-ganti dijadikan kemudi. Perjalanan ditempuh tujuh hari tujuh malam. Saat tiba di Mandar, dia memilih Lakkaqding Somba (Kec. Sendana, Kab. Majene), membangun sebuah masjid di sana dan kawin dengan Manaq. Mempunyai keturunan tiga orang anak: Syekh Haedar tinggal di Lakkading Somba, Syekh Muhammad tinggal di Luaor Pamboang, dan Syekh Ahmad yang tinggal di Salaparang.

Ulama paling terkenal di Mandar saat sekarang adalah Tosalamaq Imam Lapeo (biasa disingkat “Imam Lapeo” saja). Nama aslinya K. H. Muhammad Tahir. Dia seorang ulama sufi. Diperkirakan lahir tahun 1838 di Pambusuang (Kec. Balanipa, Kab. Polman). Di masa kanak-kanak bernama Junaihim Namli. Wafat usia 114 tahun, tanggal 17 Juni 1952 di Lapeo (sekarang wilayah Kec. Campalagian, Kab. Polman). Dimakamkan di halaman Masjid Nurut-Taubah di Lapeo yang dibangunnya. (Di daerah Mandar lebih dikenal dengan sebutan Masigi Lapeo ‘Masjid Lapeo’ yang terkenal dengan menaranya yang tinggi). Makamnya, sampai saat sekarang ini banyak dikunjungi/diziarahi oleh masyarakat yang datang dari berbagai daerah.

Ada satu kisah kekeramatan Imam Lapeo yang dipercaya kebenarannya. Suatu saat, Imam Lapeo sementara memberikan pengajian, tiba-tiba pengajian dihentikan beberapa saat. Ia keluar ke teras, menatap ke angkasa raya seraya tangannya dilambai-lambaikan. Setelah itu masuk kembali untuk melanjutkan pelajaran kepada murid-muridnya. Sebelum pengajian dilanjutkan kembali, salah seorang muridnya bertanya tentang apa yang barusan To Salamaq Imam Lapeo kerjakan. Dijawab, dia menolong sebuah perahu yang hampir tenggelam di tengah laut karena serangan badai dan amukan ombak besar. Beberapa hari kemudian, seorang tamu dari Bugis datang ke rumah To Salamaq Imam Lapeo mengucapkan terima kasih. Menurut pengakuannya, perahunya hampir tenggelam beberapa hari yang lalu di sekitar pulau-pulau Pangkajene. Yang menolongnya adalah K.H. Muhammad Tahir To Salamaq Imam Lapeo yang tiba-tiba dilihatnya datang berdiri di bagian kepala perahunya. Seketika itu juga ombak menjadi tenang, dan badai pun reda.

Terakhir, ulama penyebar Islam yang diyakini ke-karamah-annya adalah K. H. Muhammad Saleh. Dikenal sebagai salah seorang pionir ulama yang membawa, mengajarkan, dan mengembangkan Tarekat Qadiriyah di Mandar. Beliau lahir pada tahun 1913 di Pambusuang. Usia 15 tahun menuju tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu tarekat. Sewaktu bekerja di Mamuju, tepatnya di saat membaca khutbah di salah satu masjid di Tappalang, K. H. Muhammad Saleh dikirimi ilmu hitam. Namun berkat kekaramahannya, ilmu sihir yang berwujud cahaya bola api tidak mengenai dirinya. Belakangan, penyihir yang melakukannya meminta maaf. Masih di Tappalang, juga pernah K. H. Muhammad Saleh hendak diracun dengan ilmu hitam. Nasi yang dihidangkan kepadanya berubah wujud menjadi ulat dan ular. Tapi itu tak mempan untuk mencelakai dirinya.

Ditilik dari sejarah pengaruh agama-agama samawi yang masuk ke Sulawesi Barat, tampaknya agama Kristen lebih dulu daripada agama Islam. Agama Kristen dibawa oleh orang-orang Portugis (belakangan Belanda, Jerman dan beberapa negara Eropa),

sedangkan agama Islam oleh orang Arab, Melayu, dan Jawa. Oleh banyak faktor, khususnya pemahaman terhadap budaya setempat, pengaruh Kristen tidak begitu mendalam (sebagaimana yang terjadi di Sulawesi Utara).

Strategi Islamisasi oleh penyebar Islam menjadikan kaum bangsawan sebagai kelompok yang harus pertama kali diislamkan yang pada gilirannya memudahkan mengajak rakyatnya memeluk Islam. Strategi lain adalah ajaran Islam tidak secara frontal diterapkan, khususnya dalam beberapa praktek ritual. Peninggalan animisme yang masih bisa ditolerir disesuaikan dengan praktek Islam. Ini menjadikan kaum pribumi bisa menerima dengan baik. Belum lagi penggunaan ilmu gaib untuk membuktikan kekuatan seorang penyebar Islam.

(Kanjeng Sunan Lumping)