Refleksi Akhir Tahun : Pemilihan Presiden Tetap Langsung dan Hanya 2 Periode

Ilustrasi

Tanpa terasa untaian waktu telah menggenapi dua bulan 15 hari kebersamaan saya sebagai Ketua MPR RI sejak dilantik pada tanggal 3 Oktober 2019 yang lalu. Saya merasa, dalam proses awal ini masih banyak hal yang mesti saya pelajari, saya gali, dan saya lakukan bersama-sama dengan Pimpinan MPR lainnya.

Refleksi akhir tahun ini bermakna penting bagi saya pada khususnya, dan bagi MPR secara kelembagaan pada umumnya. Tidak saja sebagai sarana bercermin dan mawas diri atas kinerja kelembagaan yang telah dilaksanakan, tetapi juga sebagai rujukan untuk menentukan gerak langkah ke depan yang lebih baik.

Sebagai gambaran umum, bangsa dan negara Indonesia senantiasa belajar dari waktu ke waktu untuk memperbaiki dan mengkoreksi setiap proses dan dinamika demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Salah satu momen sekaligus pelajaran berharga untuk bangsa Indonesia adalah pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang untuk pertama kalinya dilaksanakan secara serentak pada pertengahan tahun 2019 lalu.

Penting untuk kita renungkan bersama, dalam dinamika pemilu serentak tersebut telah membuat polarisasi yang tajam ditengah kita semua, setiap perbedaan menjadi perdebatan, politik identitas dan sikap- sikap intoleran semakin mengemuka. Di tingkat masyarakat sempat muncul kekhawatiran tentang masa depan kebersatuan kita di rumah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di beberapa daerah tertentu ada yang mengeluhkan bahwa kelompok primordialnya diperlakukan tidak adil, tetapi pandangan itu ditolak oleh kelompok lain dengan mengatakan justru pihaknyalah yang diperlakukan tidak adil.

Keadaan seperti ini harus segera diatasi demi kelangsungan dan masa depan NKRI yang berdasarkan Pancasila. Kita harus mulai melangkah bersama untuk mengatasi situasi yang tidak kondusif bagi masa depan bangsa dan negara ini. Kesadaran atas keberagaman dan persatuan adalah keinsyafan bagi bangsa Indonesia yang harus senantiasa kita rawat bersama.

Sebagai rumah kebangsaan, pengawal ideologi dan kedaulatan rakyat, MPR merupakan representasi dari daulat rakyat yang menjembatani berbagai aspirasi masyarakat dan daerah yang mengedepankan etika politik kebangsaan, selalu berusaha menciptakan suasana harmonis antar kekuatan sosial politik dan antar kelompok kepentingan untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara.

Dalam setiap aktifitasnya, MPR selalu mengingatkan kepada seluruh komponen bangsa bahwa dalam kehidupan demokratis memerlukan sikap dan tindakan saling menghormati. Aktifitas kenegaraan harus selalu mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan, serta martabat diri sebagai warga bangsa.

Alhamdulillah, Pemilu Serentak 2019 yang untuk pertama kalinya dilaksanakan, akhirnya dapat kita lalui bersama. Suksesnya penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 merupakan bukti bahwa Bangsa Indonesia telah semakin dewasa dalam berdemokrasi.

Melalui refleksi akhir tahun ini, MPR mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama menjaga merah putih kita dengan bergandengan tangan, tatapan optimisme, serta berderap maju melangkah bersama. Persatuan adalah aset terbesar bangsa.

Bersamaan dengan itu, Pimpinan MPR mendorong segenap pemimpin bangsa dan para tokoh bangsa untuk memberikan keteladanan dan pendidikan politik yang menjunjung tinggi etika, menunjukkan sikap kenegarawanan dengan tetap mengedepankan persatuan di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.

Dalam bidang Ekonomi, kita masih dihadapkan pada tantangan perekonomian nasional yang membutuhkan perhatian kita semua dan terobosan kebijakan dari Pemerintah, diantaranya yakni mengenai perlunya kebijakan yang tepat guna dalam menghadapi situasi perekonomian global, pengentasan kesenjangan ekonomi, pemberdayaan ekonomi kecil dan menengah, pembenahan sektor usaha badan-badan usaha milik negara, serta pembenahan kebijakan impor.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia perlu menjadi target utama, penguatan konsumsi domestik dan ekspor kiranya juga perlu menjadi perhatian utama. Dalam hal ini, kami mendorong dan mendukung langkah-langkah Pemerintah melalui kebijakan-kebijakan perekonomian yang memberikan dampak posistif bagi bangsa dan negara.
Rekan-rekan Pers yang saya hormati,
Terkait dengan kehidupan demokrasi kita,
sepatutnya kita berbangga atas capaian-capaian demokrasi kita, namun kita juga perlu memberikan catatan-catatan untuk kebaikan kehidupan berdemokrasi kita ke depan.

Upaya-upaya penguatan demokrasi dewasa ini terasa semakin berkualitas seiring dengan penguatan peran dan partisipasi masyarakat. Hal ini dapat kita maknai semakin besarnya peran aktif masyarakat dalam penentuan kebijakan pemerintahan negara yang mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Komponen-komponen masyarakat kini tidak lagi bersifat pasif. Semakin banyak keterlibatan masyarakat dalam mengubah kebijakan pemerintah, keterlibatan itu berupa aksi-aksi unjuk rasa, konsolidasi pembentukan organisasi, ataupun saluran lain yang terkait dengan kepentingan masyarakat.

Beberapa waktu yang lalu, kita dikejutkan dengan besarnya gelombang unjuk rasa penolakan beberapa regulasi peraturan perundang-undangan yang dipandang belum berpihak kepada rakyat hingga menyebabkan korban baik dari adik-adik mahasiswa dan pelajar yang turut menyuarakan hak demokrasinya ataupun dari aparat TNI/Polri. Tentu ini menjadi keprihatinan kita semua, semoga ke depan demokrasi kita tidak memakan korban lagi. Disamping itu, upaya meruntuhkan demokrasi juga terjadi dengan kemunculan kelompok-kelompok teroris, intoleran, dan fundamentalis, serta gerakan-gerakan politik yang mendefinisikan suara publik dengan sekehendak hati.

Untuk itu, kita harus terus berupaya melahirkan pemikiran-pemikiran cemerlang yang visioner dan nyata sebagai upaya mencapai substansi demokrasi yang lebih baik dari yang ada sekarang, agar lebih kokoh dalam melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Utamanya ketika kita menyongong puncak bonus demografi, diperlukan kebijakan-kebijakan yang tepat sasaran dalam pengelolaan SDM muda dan potensial, agar jangan sampai kita kehilangan momentum untuk melompat lebih jauh.

Melalui forum Refleksi Akhir Tahun ini, di satu sisi saya berkesempatan untuk menyampaikan pikiran yang berkembang di MPR, dan di sisi lain saya juga berharap mendapatkan pandangan dan masukan mengenai pelaksanaan tugas-tugas konstitusional MPR, termasuk di dalamnya implementasi atas Rekomendasi MPR Periode 2014-2019 yang telah “diamanatkan” kepada MPR Periode 2019-2024.

Rekomendasi MPR Periode 2014-2019 tersebut antara lain mengamanatkan mengenai penyusunan pokok-pokok haluan negara (perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN). Dari serangkaian diskusi yang dilakukan oleh MPR, baik MPR masa jabatan 2009- 2014 maupun MPR masa jabatan 2014-2019 dengan berbagai kalangan, termasuk di dalamnya adalah para tokoh masyarakat, pakar, dan akademisi, pada umumnya sependapat, bahwa kita memerlukan haluan negara dalam pelaksanaan pembangunan untuk menjaga pembangunan yang berkelanjutan, serta integrasi sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah dalam rangka mencapai cita-cita bernegara. Perdebatan barulah muncul ketika pembahasan mulai memasuki bentuk hukum apa yang paling tepat dilekatkan pada model GBHN itu sendiri.

Sebagian masyarakat, bahkan boleh dikatakan yang terbesar (termasuk di sini pendapat Fraksi/Kelompok DPD), menghendaki agar model GBHN yang diwacanakan untuk dihadirkan kembali tersebut diberi baju hukum Ketetapan MPR. Sebagian lainnya, terutama yang disuarakan oleh kebanyakan pakar hukum tata negara, termasuk sebagian Fraksi di MPR (Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera) tetap harus dibuka ruang untuk ditetapkan melalui Undang-Undang.

Dalam menyikapi polemik menghadirkan kembali GBHN, posisi MPR masa jabatan 2019-2024 adalah akan melakukan kajian yang lebih cermat dan mendalam terhadap substansi dan bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara, termasuk mengupayakan konsensus politik terhadap kemungkinan ditetapkan melalui Ketetapan MPR atau Undang-Undang.

Perlu saya sampaikan, Pokok-Pokok Haluan Negara adalah nomenklatur yang terdapat di dalam Rekomendasi MPR masa jabatan 2014-2019. Sedangkan substansi yang terdapat di dalam Pokok-Pokok Haluan Negara direkomendasikan hanya akan memuat kebijakan strategis yang akan menjadi rujukan atau arahan bagi penyusunan haluan pembangunan oleh pemerintah. Dengan demikian, hadirnya Pokok-Pokok Haluan Negara sama sekali tidak akan mengurangi ruang kreatifitas bagi Presiden untuk menerjemahkannya ke dalam program- program pembangunan. Justru dengan adanya Pokok- Pokok Haluan Negara akan menjadi payung yang bersifat politis bagi penyusunan haluan pembangunan yang bersifat teknokratis.

Pada tahap awal ini, MPR melalui Badan Pengkajian MPR terlebih dulu akan menyusun substansi dari Pokok- Pokok Haluan Negara. Substansi tersebut harus mampu menggambarkan wajah Indonesia pada tahun 2045, ketika usia kemerdekaan Indonesia genap 1 (satu) abad; mampu menjawab kebutuhan Indonesia ke depan yang relevan dengan tatanan kehidupan bernegara di era milenial yang sangat dipengaruhi oleh revolusi industri 4.0; mampu menggambarkan megatrend dunia yang meliputi kemajuan teknologi, perubahan geopolitik, perubahan geoekonomi, demografi dunia, urbanisasi global, perdagangan internasional, keuangan global, kelas pendapatan menengah, persaingan sumber daya alam, dan perubahan iklim, yang semuanya akan berpengaruh pada pembangunan Indonesia; mampu memberikan arahan pada semua bidang pembangunan untuk menjawab tantangan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau lebih sering dikenal dengan SDGs (Sustainable Development Goals).

Setelah MPR berhasil menyusun substansi dari Pokok-Pokok Haluan Negara seperti yang saya gambarkan tadi, barulah kita memusyawarahkan mengenai bentuk hukum apa yang paling pas dilekatkan pada Pokok-Pokok Haluan Negara tersebut, apakah dalam bentuk Ketetapan MPR atau cukup Undang- Undang saja. Tanpa adanya substansi, maka perdebatan mengenai gagasan menghadirkan kembali GBHN akan menjadi sia-sia. Dengan perkataan lain, bagaimana mungkin kita memperdebatkan baju hukumnya, sementara substansi yang akan diberi baju hukum itu sendiri belum ada.

Perlu saya sampaikan, MPR masa jabatan 2019- 2024 selain menerima rekomendasi untuk menghadirkan kembali GBHN dan melakukan penataan wewenang MPR, juga menerima rekomendasi lainnya, yakni: penataan wewenang dan tugas MPR ke depan; penataan wewenang DPD, penataan kekuasaan kehakiman, penataan untuk mempertegas sistem presidensial, dan penataan sistem hukum dan peraturan perundang- undangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Dan sarana untuk melaksanakan beberapa poin rekomendasi tersebut, adalah melalui amandemen terhadap UUD NRI Tahun 1945.

Dalam kerangka menghimpun aspirasi dan membuka ruang diskusi seluas-luasnya, perlu saya sampaikan di sini mengenai dinamika yang berkembang terkait wacana amandemen terhadap UUD NRI Tahun 1945. MPR setidaknya telah mengidentifikasi ada 6 (enam) aspirasi yang berkembang terkait agenda perubahan konstitusi, yaitu:

▪ Pertama : amandemen terbatas, perubahan terkait pembentukan Pokok-pokok Haluan Negara atau pola pembangunan model GBHN;
▪ Kedua : penyempurnaan terhadap UUD NRI Tahun 1945 hasil amandemen;
▪ Ketiga : perubahan dan kajian menyeluruh terhadap UUD NRI Tahun 1945 hasil amandemen;
▪ Keempat : kembali ke UUD 1945 yang asli sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959;
▪ Kelima : kembali ke UUD 1945 yang asli, kemudian diperbaiki dan disempurnakan melalui adendum.
▪ Keenam : tidak perlu ada amandemen konstitusi.

Menyikapi beragam wacana dan aspirasi yang berkembang tersebut, MPR akan menghimpun, mengolah dan melakukan kajian secara mendalam, dan tidak
terburu-buru “menghakimi”. MPR tetap menempatkan diri sebagai rumah kebangsaan yang mengayomi beragam pikiran dan kehendak, karena MPR menyadari sepenuhnya bahwa perbedaan pendapat adalah keniscayaan dalam demokrasi. Gagasan dan pemikiran yang berbeda adalah kekayaan perspektif, dan bukan keramaian yang harus disenyapkan.
Urusan mengubah konstitusi sebagai hukum dasar, mesti dilakukan secara hati-hati dan cermat. 

Jika kita merujuk pada ketentuan UUD NRI Tahun 1945, jalan menuju perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 masih panjang dan tidak mudah. Untuk sekedar mengusulkan perubahan pasal- pasal di dalam Undang-Undang Dasar saja memerlukan sekurang-kurangnya 1/3 anggota MPR atau 237 pengusul. Kuorum rapat untuk membahas usul perubahan harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR atau 474 anggota. Dan, usul perubahan harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR atau 357 anggota.

Namun, yang jauh lebih penting, perubahan Undang- Undang Dasar bukanlah semata-mata perhitungan matematis sebagaimana diatur di dalam Pasal 37, tetapi memerlukan konsensus politik seluruh kekuatan politik. Tidak boleh ada voting dalam urusan hukum dasar ini. Dan, yang jauh lebih penting adalah seluruh rakyat Indonesia memang membutuhkannya.

Selaras dengan hal tersebut, Pimpinan MPR telah melakukan kunjungan silaturahim kebangsaan kepada para tokoh bangsa dan pimpinan partai politik, antara lain Ibu Megawati Soekarnoputri, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Bapak Jusuf Kalla, Bapak Ma’ruf Amin, Pimpinan PKS, Pimpinan PAN, dan Nasdem. Sedangkan tokoh agama yang telah dikunjungi oleh Pimpinan MPR adalah Pimpinan PBNU, Pimpinan Muhammadiyah, Pimpinan PHDI. Kegiatan silaturahim kebangsaan ini telah, sedang, dan masih akan terus dilakukan oleh Pimpinan MPR kepada tokoh bangsa, tokoh agama dan pimpinan partai politik lainnya, guna menghimpun dan memperkaya perspektif untuk membahas dan menyikapi berbagai isu dan persoalan kebangsaan.

Selain menjalankan amanah Rekomendasi MPR Periode 2014-2019 tersebut, ada beberapa isu strategis terkait MPR yang memerlukan perhatian kita bersama, antara lain implementasi tugas konstitusional MPR untuk menyerap aspirasi masyarakat, daerah, dan lembaga negara.
Dalam kerangka implementasi kelembagaan MPR sebagai rumah kebangsaan, MPR menyambut baik terbentuknya Forum Aspirasi Masyarakat Papua, yang beranggotakan dan dibentuk atas inisiatif Anggota DPR RI dan Anggota DPD RI dari Daerah Pemilihan Papua dan Papua Barat. Demikian juga pembentukan Forum Aspirasi/Komunikasi yang dibentuk oleh Anggota dari Daerah Pemilihan Aceh.
Pembentukan Forum Papua dan Forum Aceh tersebut adalah bagian dari pengejawantahan aspirasi rakyat, yang bertujuan untuk memberikan sumbang sih pemikiran dalam penyelesaian berbagai persoalan yang masih belum tuntas, dengan tetap berada di dalam kerangka dan semangat menjaga dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Singkatnya, pembentukan forum-forum semacam itu adalah menjadi bagian dari solusi, dan bukan malah menjadi bagian dari persoalan atau pemantik persoalan baru.

Selain tugas dalam rangka serap aspirasi, Undang- Undang MD3 juga mengamanatkan MPR untuk memasyarakatkan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika; serta melakukan pengkajian sistem ketatanegaraan. Untuk melaksanakan tugas-tugas konstitusional tersebut, MPR menyadari bahwa media massa, baik sebagai institusi publik maupun sebagai institusi sosial, mempunyai peran yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konsepsi kehidupan ketatanegaraan modern, media massa tidak saja turut memberi warna, tetapi juga menjadi salah satu pilar utama demokrasi.

Berbagai peran media massa dalam membangun demokrasi saat ini telah terimplementasikan dalam berbagai peran penting, bukan hanya semata-mata menjadi institusi penyedia informasi bagi publik, tetapi juga merepresentasikan fungsi kontrol, fungsi kritik, dan penyedia ruang bagi partisipasi publik. Di samping itu, dengan jangkauan dan tingkat aksesibilitas yang luas, media massa juga mempunyai peran strategis dalam membangun wawasan dan kedewasaan berpolitik bagi masyarakat luas. Dalam kadar tertentu, media massa juga mampu membentuk dan mengarahkan opini publik, hingga menjadi motor penggerak mobilisasi massa.

Peran media massa yang demikian strategis dan signifikan tersebut, dewasa ini menjadi semakin penting di era keterbukaan informasi publik, seiring laju perkembangan teknologi informasi yang semakin deras mendorong arus globalisasi yang nyaris tanpa batas. Globalisasi adalah keniscayaan yang sulit kita hindarkan, dan ibarat pisau bermata dua : di satu sisi dapat memperluas cakrawala dan perspektif kita dalam memandang dunia; namun di sisi lain juga menyertakan nilai-nilai yang dapat mengikis kepribadian dan jati diri bangsa.

Dengan latar belakang tersebut, Pimpinan MPR saat ini telah --dan akan terus-- melakukan kunjungan ke berbagai media (media visit), dengan harapan dapat meningkatkan partisipasi media massa, baik dalam kerangka menjalankan fungsi pelayanan informasi publik maupun fungsi pendidikan politik bagi rakyat, antara lain melalui dukungan publikasi kegiatan-kegiatan pemasyarakatan Empat Pilar MPR RI, ke berbagai pelosok Nusantara.

Semoga di tahun 2020, kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya Indonesia menjadi lebih baik, dan berbagai persoalan kebangsaan mendapatkan solusi terbaik. ***

Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI