Moderasi dan Toleransi: Tantangan Etika dan Konten Positif di Era Dunia Maya

Ilustrasi

Dunia maya (virtual) menjadi media potensial guna melakukan transformasi nilai moderat dan toleran. Namun di sisi lain, dinamika dunia maya diakui juga menimbulkan dilema. Sisi positif dan negatif baik konten dan efeknya hampir sama kuat eksistensinya. Faktor utama yang mampu mengendalikan adalah pelakunya.

Kehadiran smart netizen menjadi konsekuensi dan keniscayaan. Regulasi dan penegakan berkeadilan hingga kini masih gampang ditabrak karena dinilai berbenturan dengan kebebasan dan kepentingan. Etika virtual dibutuhkan sebagai karakter fundamental smart netizen guna  mengarusutamakan dunia maya dengan moderasi dan toleransi.

Tantangan Era Post-Truth 

Media sosial kini tampil digdaya. Di sisi lain ketidakpercayaan terhadap fakta dan data yang disajikan oleh institusi terkait maupun media massa mainstream semakin besar. Fenomena ini menguatkan bahwa eksistensi era pasca-kebenaran (post truth) di Indonesia masih terjadi.

Viral tidak selalu menjadi indikator yang baik tentang hal-hal yang penting. Konten viral yang dibagikan berulang kali sering didasarkan pada hal-hal yang tidak akurat. verifikasi sumber dan konteks. Ciri paling mencolok dari berita palsu adalah ketiadaan sumber. Berita palsu mampu bertahan di tengah masyarakat karena kita terus-menerus dihujani informasi tersebut. Dan jangan terlalu percaya dengan berita yang beredar di media sosial dan bukan dari situs berita yang terjamin kebenarannya. Media sosial memungkinkan semua orang menyampaikan informasi yang terlihat seperti hal nyata.

Konten hoaks dan penyebarannya tidak dibenarkan dalam agama. Fenomena hoaks banyak direkam dalam Al-Quran. Misalnya pada kisah Nabi Adam dan Hawa yang teperdaya oleh berita hoaks yang disampaikan iblis tentang pohon keabadian hingga mengakibatkan terusirnya Nabi Adam dan Hawa dari surga. Selanjutnya pada kisah Firaun, sang penguasa yang membuat berita hoaks dan membentuk opini publik tentang Nabi Musa yang katanya ingin mengkudeta sang penguasa dan mengusir rakyatnya. Dan masih banyak rekaman sejarah lainnya. 

Aktualisasi Etika  

Pribadi yang moderat dan toleran merupakan tuntutan dan impian setiap pribadi. Kini, etika tidak cukup dari aspek religiusitas dan sosial, namun perlu terpancarkan pula di dunia virtual. Meksipun pondasi dan pedoman utamanya tetap pada aspek religius. Beberapa hal penting diperhatikan guna membentuk dan mengaktualisasikan etika virtual.

Etika virtual tidak semata ditunjukkan secara tekstual namun lebih penting adalah kontekstual. Pengungkapan dalil-dalil sebagai dasar argumentasi akan semakin memperkuat aktualisasi. Apalagi jika menghadapi konten radikalisme digital.

Pendekatan teologi yang mudah diterima khalayak dunia maya penting dilakukan. Hikmah-hikmah dapat dikuatkan. Diskusi terbuka penting dibudayakan. Dan jika dibutuhkan dimungkinkan debat yang menjunjung etika.

Smart netizen mesti menjadi teladan dan memberikan aura positif melalui pancaran etika virtualnya. Dengan demikian, segala argumen dan sebaran konten positif darinya akan mudah diterima dan diikuti netizen lainnya.

Etika virtual mesti ditampakkan melalui suasana yang adem hingga netizen merasa nyaman. Perpecahan mesti menjadi prioritas yang dihindari. Selain kebenaran, persatuan mesti menjadi fokus utama.

Etika virtual dapat menjadi karakter fundamental guna menangkal radikalisme digital. Karenanya pembentukannya mesti massif melalui gerakan bersama. Satu atau dua seleb medsos penting memang dijadikan ikon moderat dan toleran. Tujuannya agar semua netizen tertarik mengikuti dan tercelupkan karakternya menjadi pribadi moderat dan toleran.

Oleh : Singgih Swasono (Netizen-Mahasiswa Sospol Universitas Jayabaya)