Mahkota dari Tungku Kayu Bakar hingga Mesin Moderen

Kondisi tempat tinggal petani penggarap lahan kopi milik orang lain - foto eksklusif dokument Bagus SLE

Ketika menyeruput dan menghirup aroma segelas kopi, maka banyak hal sebagai inspirasi kita dapatkan, selain dari kenikmatan. Segelas kopi bisa menemani kita berkeliling dunia atau sekedar mempererat silaturahmi antar keluarga, kerabat hingga sahabat. 

Sekarang kopi bukan lagi sebagai pelengkap sarapan di pagi hari, atau sebagai 'pengobat sakit kepala' bagi penikmatnya, tapi sudah menjadi gaya hidup. Tidak lagi hanya di jaja di pinggir jalan atau pasar tradisional yang bau, tapi sudah mengambil tempat di mall, cafe dan hotel yang wangi dan menyediakan penataan ruang khusus pada tempat mereka untuk menarik minat pengunjung. Tidak lagi diseduh dari dalam ceret hitam di atas api kayu, sudah menggunakan berbagai mesin dan alat moderen yang harganya tentu saja tidak lagi bisa dibandingkan dengan tungku ataupun ceret aluminium. 

Kenyataan kalau istilah 'ayam yang punya telur, sapi yang punya nama' sangat mengena pada komoditas utama provinsi Bengkulu yang satu ini. Bengkulu sebagai penghasil, daerah lain yang menikmati harumnya nama. 

Petani kopi Bengkulu, entah itu yang ada di Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Kepahyang, Rejang Lebong, Lebong, Seluma, ataupun Kaur, yang berdarah-darah, justru petani wilayah lain yang mendapatkan 'lencana di bahu'. 

Entah sudah berapa lama kenyataan ini berlangsung, bahwa pemerintah provinsi Bengkulu hanya kebagian bangga ketika produk unggulannya diekspor oleh daerah lain. Untungnya akhir-akhir ini sudah timbul kesadaran dari pihak-pihak terkait, untuk 'merebut' kembali mahkota yang sudah tersematkan di kepala orang lain itu. 

Sebuah prestasi yang sangat besar, dan patut diapresiasi dengan baik, karena Bengkulu sudah mau bertarung untuk sebuah kebanggaan, dengan kopi-kopi daerah dan negara lain, yang sudah hebat-hebat di arena dunia, dan semakin memperkuat kepercayaan diri, karena tiga jenis kopi, yaitu Bencoolen Lebong, Bencoolen Kepahyang dan Bermani, telah mendapatkan penghargaan sekelas AVPA pada acara yang di adakan di Perancis beberapa waktu lalu. 

Semangat semakin diperbesar dengan mengadakan festival-festival kopi mulai dari lokal hingga internasional. Semangat ini sangat menggairahkan para pelaku kopi, baik dari hulu hingga hilir. Tapi akan sia-sia jika kebijakan ini hanya sebagai seremonial dan emosional sesaat. 

Untuk mendukung jumlah dan mutu produksi, kampanye 'mensejahterakan petani' sempat menggema beberapa saat, dan sayangnya gema itu mulai menghilang, seiring dengan situasi di lapangan. 

Andai kampanye 'mensejahterakan petani' dilakukan, tentulah para pelaku kopi, terutama yang hilir, tidak akan menawar harga kopi premium keinginan mereka, (yang syaratnya bila diuraikan bisa membuat orang-orang yang menggantungkan kehidupan mereka dan keturunannya akan menyita waktu dan modal tambahan dalam memenuhi syarat tersebut) lebih rendah dari harga yang ditawarkan oleh para petani kopi. Atau malah ada yang membayar lebih. Pertanyaannya, adakah para pemilik uang yang bermain di lingkup partai besar, kedai atau cafe yang mau melakukan itu? 

Sepertinya bagus, jika akan membeli biji kopi, baiknya di dalami dulu bagaimana kehidupan para petani dalam memelihara sumber kehidupan mereka yang harus naik turun bukit waktu proses dari awal hingga biji kopi tersebut sampai pada pengepul. Agar sedikit bisa 'manusiawi' ketika akan menilai harga keringat mereka. 

Memang tidak bisa memutuskan begitu saja mata rantai yang sudah terjalin selama ini, tetapi semakin mendekatkan industri pengolahan hilir kopi ke pusat produsen 'green been' sangat bisa menekan biaya transportasi para toke, dan sedikit menghalangi para 'mafia' yang bermain di dalam penentuan harga produk unggulan ini, selain dari edukasi dan pendampingan yang terus menerus tentunya

Atau mengubah trade mark sebagai simbol daerah dalam menarik minat wisatawan, dari 'Wonderful Bengkulu' yang kesannya sangat berat itu menjadi 'Queen of Coffee', atau 'The Land of Coffee' bisa dipertimbangkan selain dari ' The Land of Rafflesia'. Supaya semakin mengukuhkan Bengkulu sebagai penghasil kopi yang terbaik di mata dunia dan semakin menumbuhkan gaya hidup dalam menikmati segelas kopi yang disajikan di atas meja.

*Bagus Yuarto, Presiden Republik Sle