Laki-laki Pelukis Senja

ilustrasi

Definisi bahagia itu banyak, termasuk setelah mendapatkan jawaban membahagiakan dari pertanyaan ‘Apa kau bahagia hari ini?

Tidak banyak yang tahu namaku. Selain Dellian, satu-satunya keluarga yang kumiliki saat ini, juga beberapa teman sekolah yang masih sering kutemui saat berangkat kerja. Lainnya tidak. Bahkan beberapa orang lupa bahwa aku pernah ada di antara mereka. Beberapa lainnya mungkin tidak ingat, lantaran dulu seringkali salah mengeja meskipun setiap kali diabsen namaku menjadi yang pertama disebut. Dan sekarang pun aku tak ingin memberitahu namaku.

Untuk apa mengetahui sebuah nama yang mungkin akan kau lupakan setelah cerita ini habis kaubaca?

Namun, Dellian, laki-laki yang sehari-harinya melukis senja itu mulai memanggilku Xu sejak tiga tahun lalu. Entah dari mana ia mengambil nama itu. Katanya Xu memiliki arti yang bagus, sesuai dengan kepribadianku; sinar yang brilian.

Maka, kau pun bisa memanggilku dengan nama itu juga.

Saat ini, aku bekerja di sebuah kafe sebagai seorang barista berkat kenalan Dellian. Masih magang, tetapi aku sangat menyukai pekerjaan ini. Sedari kecil aku memang menyukai kopi. Aroma kopi yang baru saja disangrai adalah aroma paling memabukkan selain wangi melati di pekarangan rumah, dan Dellian tahu aku pun memiliki bakat seperti ayah kami yang mati ditembak polisi gara-gara peluru nyasar katanya. Setidaknya begitu yang diberitakan di media-media massa pada saat itu.

Aku yang masih kelas lima Sekolah Dasar hanya bisa menangis di pelukan Dellian. Laki-laki yang tidak pernah kupanggil ‘kakak’ itu pun akhirnya harus dewasa sebelum waktunya. Dellian berhenti sekolah setelah menyelesaikan ujian, padahal tinggal satu tahun lagi untuknya mendapatkan ijazah SMA. Dia memilih bekerja demi menyekolahkanku hingga akhir. Dulu Ayah memang pernah berpesan padanya, bahwa seorang laki-laki harus memiliki tanggung jawab. Sebelum bertanggung jawab terhadap seorang gadis, laki-laki harus bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan keluarga.

Dan begitulah, Dellian selalu bekerja apa saja demi kelangsungan hidup kami yang pas-pas’an. Tidak banyak peninggalan Ayah saat itu, selain rumah kecil yang dibangunnya bersama Ibu yang telah lebih dulu di surga, Ayah juga menyimpan tabungan yang tidak seberapa dan mesin pembuat kopi.

Dari peristiwa pagi yang benar-benar membuatku menangis sejadi-jadinya, kehidupan kami yang baik-baik saja berubah jungkir balik. Duniaku runtuh seketika. Tanpa Ayah, aku dan Dellian seperti Adam dan Hawa. Tidak ada sanak keluarga. Bingung hendak ke mana meminta pertolongan. Aku bahkan tidak mengenal nenek dan kakek. Ayah pernah bilang bahwa dulu dia menikah tanpa restu orang tua. Ah!

Untunglah, Ayah memiliki pelanggan kopi yang baik-baik. Dari mereka, Dellian mendapat pekerjaan untuk membiayai sekolahku. Dellian tampak sangat menikmati pekerjaannya. Setiap pulang bekerja, dia akan bercerita tentang pekerjaannya padaku hingga jam makan malam tiba. Kemudian, kami akan menonton televisi bersama sampai jam sembilan malam sebelum akhirnya dia menyuruhku tidur setelah menyelesaikan tugas sekolah.

Sebagai seorang laki-laki, dia adalah satu-satunya laki-laki paling bertanggung jawab yang pernah kukenal selain Ayah. Namun, sampai usianya menginjak dua puluh lima, Dellian tidak pernah membawa seorang perempuan pun ke rumah. Dia seolah tak acuh akan sebuah pernikahan. Setiap kali aku bertanya, selalu saja mengelak. Katanya lagi, dia telah berjanji akan menjagaku sampai nanti.

Sampai akhirnya kini aku yang berbalik menjaganya.

Ledakan di pabrik tempatnya bekerja, membuatnya harus kehilangan sebelah kakinya. Juga meninggalkan cacat di bagian kiri tubuhnya mulai dari wajah hingga ke kaki. Yang kudengar dari teman dekatnya yang sering bertandang ke rumah, saat itu Dellian berusaha menyelamatkan anak bos yang terjebak di toilet dan tidak sempat keluar. Namun, siapa sangka malah nasib buruk yang harus diterima.

Lagi dan lagi, aku menangis sejadi-jadinya.

Saat itu aku marah pada Tuhan yang tidak adil padaku. Setelah mengambil Ibu, Ayah, kemudian kaki Dellian dan wajah tampannya yang sering kumanfaatkan untuk mendapatkan tambahan uang jajan dari hobi memotret sewaktu sekolah dulu. Aku merasa kebahagiaanku terenggut begitu saja. Setiap kali melihat Dellian, air mata selalu jatuh. Namun, setiap kali itu pula tangannya menyisa bekas itu mengusap wajahku pelan meski rasanya masih tetap kasar.

Laki-laki yang tidak pernah lagi keluar rumah, dan melarangku menggunakan gas itu pun menjadi seorang pelukis senja. Setiap sore, dia akan memaksa dirinya untuk melangkah ke luar rumah. Duduk di teras depan dengan kanvas dan cat lukisnya yang selalu kubeli setiap bulan. Entah sudah berapa banyak lukisan senja yang dia lukis. Meskipun tempat yang dilihatnya sama, tetapi Dellian selalu bisa melukis dengan nuansa berbeda. Ya, lukisannya seolah hidup!

Dari teman-temannya yang pernah datang, lukisan-lukisan itu dijual secara langsung atau online. Satu di antaranya terpanjang indah di kafe tempatku bekerja. Beberapa orang yang melihatnya mendadak sedih jika mengamati lukisan itu lama-lama. Bahkan salah seorang karyawan pernah menangis tanpa sebab setelah menatap lukisan Dellian.

Aku bukan tidak menyadari hal itu, tetapi untuk terus menunjukkan senyum pada Dellian, aku selalu mengatakan bahwa lukisannya sangat bagus dan memiliki keindahan yang sulit digambarkan dengan kata-kata.

Suatu ketika aku pernah bertanya padanya, “Kenapa hanya melukis senja?”

Dia tersenyum penuh arti. Tak lama baru menjawab setelah menyesap kopi yang kubuatkan. “Dari senja kita belajar bahwa kebahagiaan dan kesedihan itu sifatnya sementara. Mungkin kamu pernah bersedih karena seseorang, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa esoknya kamu akan bahagia karena orang yang sama. Pun sebaliknya. Senja menggambarkan makna yang lebih luas selain keindahan yang dilihat oleh mata.”

Alih-alih membenarkan ucapan Dellian, aku kembali bertanya, “Dulu kamu sering melihat senja?”

“Sesekali, saat aku benar-benar merasa sedih atau bahagia.”

“Saat jatuh cinta?”

“Aku belum pernah jatuh cinta, Dik. Perempuan yang kucintai hanya Ibu dan kamu.”

“Ah, jadi itu alasanmu tidak pernah membawa teman perempuan ke rumah?”

“Begitulah. Aku tidak mau menjadi laki-laki yang hanya memberi harapan kosong pada perempuan yang menyukaiku, baik diam-diam atau terang-terangan.”

Kali ini aku tersenyum mendengar ucapannya barusan. Sejauh ini hanya Dellian satu-satunya orang yang bisa membuatku tersenyum. Atau karena aku terlalu menutup diri hingga lupa berbagi senyuman pada orang lain? Entahlah. Aku hanya tidak terlalu suka berbaur. Pada rekan kerja pun tidak dekat. Sekadar sapaan biasa seperti kau bertemu orang-orang di jalan.

Namun, aku selalu bertanya pada setiap pelanggan yang datang. Pertanyaan pendek yang sering dilupakan sebagian orang; Apa kamu bahagia hari ini?

Kata Dellian, sekalipun menjadi seorang pendiam, aku harus peduli pada orang lain. Bertanya hal remeh seperti itu tidak akan membuatku kehilangan sesuatu, malah mungkin akan mendapatkan sesuatu. Seperti seorang teman dekat, mungkin.

***

Bengkulu, 04 September 2019

Ayu Lestari, cerpenis tinggal di Bengkulu