Kontrol Pers oleh Masyarakat, Bukan Pemerintah

Kamsul Hasan

Bengkulutoday.com - Perkembangan teknologi menghasilkan platform media baru. Ada yang bilang sekarang ini siapa saja bisa melakukan kegiatan jurnalistik. Meski belum tentu dia wartawan.

Kegiatan jurnalistik sebagaimana tersurat pada Pasal 1 angka 1 UU No 40 tahun 1999 tentang Pers meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.

Sementara bila ingin disebut sebagai wartawan sebagaimana Pasal 1 angka 4, output kegiatan jurnalistiknya harus disiarkan pada media berbadan hukum pers.

Bila medianya berbadan hukum pers seharusnya kegiatan jurnalistik dilakukan oleh orang terlatih. Terlepas dari pro dan kontra, Dewan Pers menetapkan mereka itu harus UKW.

Meski sudah mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) ternyata masih ditemukan berbagai pelanggaran.

Salah satunya yang baru ditetapkan Dewan Pers adalah Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA). Dewan Pers bermaksud memberi rambu ini agar wartawan tidak tersandung UU SPPA.

Ternyata pelanggaran terhadap PPRA yang bisa juga melanggar Pasal 19 Jo Pasal 97 UU SPPA, masih terus terjadi. Padahal ancamannya lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta.

Sejauh mana efektivitas rambu yang dikeluarkan Dewan Pers dan atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dipatuhi oleh wartawan dan atau pengelola perusahaan pers ?

Apakah sosialisasi yang dilakukan Dewan Pers bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak efektif dalam melindungi hak anak yang berhadapan dengan hukum ?

Lalu, sampai sejauh mana peran serta masyarakat dalam menjaga kemerdekaan pers dan penyiaran yang sehat, setelah peran pemerintah dihapuskan atas nama demokrasi.

UU Pers menghilangkan peran pemerintah, namun pada Pasal 17 peran itu diserahkan kepada masyarakat bersama Dewan Pers.

Begitu juga UU Penyiaran, lebih tegas dari UU Pers, pada Pasal 52 bukan sekedar memberi peluang tetapi mewajibkan peran serta masyarakat.

Kita sekarang berada pada era digital, siapa bisa melakukan kegiatan jurnalistik dan produknya dipublikasi pada media sosial. Kini sangat mudah ditemukan konten pornografi.

Nah, untuk yang ini masyarakat juga diberikan peran oleh Pasal 20 dan Pasal 21 UU No 44 tahun 2008 tentang Pornografi.

(Kamsul Hasan, Ketua Komisi Kompetensi Persatuan Wartawan Indonesia Pusat)