Keterkaitan Kemiskinan dan Tingkat Kriminalitas di Bengkulu

Zulfikar Halim Lumintang

Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST.

Berbicara soal kemiskinan, tentu tidak akan ada habisnya. Mengingat banyak sekali faktor yang menyebabkan penduduk masuk ke dalam jurang kemiskinan. Diantaranya pendidikan yang rendah. Seperti yang kita ketahui bersama, lapangan kerja di zaman sekarang ini, yang menjadi syarat utama adalah kepemilikan ijazah pada pendidikan formal. Dan standar minimal di akhir-akhir ini adalah tenaga kerja dengan ijazah SMA sederajat. Dan itu sejalan dengan wacana pemerintah yang ingin menerapkan wajib belajar 12 tahun.

Namun pada praktiknya, pada setiap jenjang pendidikan, tingkat partisipasi sekolah di tiap daerah cenderung menurun. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian pemerintah, yaitu mempermudah akses para pemuda menuju fasilitas pendidikan. Setelah itu, kemiskinan juga akan memberikan dampak berupa merajalelanya tindakan kriminal pada suatu daerah. Bengkulu merupakan salah satu diantara beberapa provinsi di Pulau Sumatera yang dikenal memiliki perilaku kriminal dan kemiskinan yang tinggi di Indonesia.

Berdasarkan Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2019, Provinsi Bengkulu memiliki tingkat kemiskinan sebesar 15,23%. Angka tersebut menempatkan Bengkulu menjadi provinsi kedua paling miskin di Pulau Sumatera. Dan secara nasional, Bengkulu menjadi provinsi ketujuh termiskin pada Maret 2019. Kemiskinan di Provinsi Bengkulu sebenarnya sudah mengalami penurunan semenjak semester pertama tahun 2016, yang mencapai 17,32%.  

Seperti yang kita ketahui bersama, kemiskinan merupakan permasalahan multidimensi yang dimiliki seluruh wilayah di Indonesia, utamanya di Bengkulu. Fakta membuktikan, bahwa diantara 10 kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu, hanya Kabupaten Bengkulu Tengah yang tingkat kemiskinannya mencapai satu digit pada Maret 2018, yaitu 8,20%. Selain itu, kemiskinan di tiap kabupaten/kota mencapai lebih dari 10%.

Kemiskinan juga selalu dikaitkan dengan perilaku kriminal masyarakat yang ada di dalam daerah tersebut. Keterkaitan tersebut ternyata benar adanya. Apabila kita melihat angka kemiskinan pada Maret 2017, Bengkulu memiliki angka kemiskinan sebesar 16,45%. Selanjutnya pada Maret 2018 mengalami penurunan 1,02 poin menjadi 15,43%. Tren yang menurun juga terjadi pada peristiwa kejahatan yang terjadi di provinsi Bengkulu pada tahun yang sama. Tercatat pada tahun 2017 jumlah kejahatan yang dilaporkan sebanyak 5.790 kasus, selanjutnya turun 1.889 kasus menjadi 3.901 kasus pada tahun 2018. 

Dari beberapa kasus kriminal yang terjadi di Bengkulu, tercatat perilaku pencurian dengan pemberatan merupakan kasus yang banyak terjadi selama tahun 2017 dan 2018. Pada tahun 2017 Kepolisian Daerah (POLDA) Bengkulu mencatat dari 5.790 kasus kriminal, 878 kasusnya merupakan pencurian dengan pemberatan atau setara dengan 15,16% dari total kasus kriminal. Sedangkan pada tahun 2018, 566 kasus kriminal dari 3.901 kasus kriminal merupakan pencurian dengan pemberatan atau setara dengan 14,51% dari keseluruhan kasus kriminal.

Masyarakat yang miskin pada umumnya terbagi menjadi dua, mereka sudah memiliki pekerjaan namun penghasilannya tidak dapat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal dan mereka yang sama sekali tidak memiliki pekerjaan, yang secara otomatis tidak akan terpenuhi kebutuhan dasarnya. Bagi mereka yang masih memiliki pekerjaan, hidup seadanya dengan pendapatan yang ada, mungkin masih dapat bertahan hidup. Tapi bagi mereka yang belum memiliki pekerjaan, himpitan ekonomi menyebabkan mereka harus melakukan tindakan kriminal untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Jika ditinjau lebih lanjut, perilaku kriminal juga akan memberikan efek lain terhadap sebuah rumah tangga. Diantaranya akan menambah beban seorang istri yang harus menanggung beban berupa memberikan nafkah keluarganya jika suami masuk penjara dikarenakan perilaku kriminal. Hal tersebut akan menambah peluang sebuah rumah tangga untuk masuk ke dalam jurang kemiskinan, mengingat kebutuhan dasar minimal yang tidak terpenuhi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada tahun 2017, dari 1.364 orang narapidana 1.236 orang diantaranya merupakan laki-laki dewasa yang kemungkinan besar sudah memiliki rumah tangga. Angka tersebut setara dengan 90,62% dari total narapidana. Namun pada tahun 2018, angka tersebut menurun menjadi 88,72%.

Kemiskinan dan tindakan kriminal seolah-olah memang harus ada di setiap wilayah. Namun kita sebagai masyarakat biasa hendaknya berusaha untuk membentengi diri dengan menambah ketaqwaan kita terhadap Allah. Selain itu, kita juga harus memahami mana hak kita dan mana hak dari orang lain. Karena mengambil hak orang lain itu adalah sebuah tindakan kriminal, contoh konkritnya adalah pencurian. Pemerintah juga berkewajiban untuk menambah bekal masyarakatnya agar mudah mendapatkan pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhan dasar minimal masyarakatnya. Ditambah lagi, memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang antisipasi terhadap perilaku kriminal di sekitar tempat tinggal juga perlu digalakkan demi memperkecil korban kejahatan.

(Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara)