Kenali Ciri Ulama

Ilustrasi

Bengkulutoday.com - Masyarakat dewasa ini disuguhi dengan penampilan sejumlah sosok yang mengaku sebagai ulama. Namun benarkah sebenarnya mereka yang mengaku sebagai ulama itu adalah ulama yang sebenarnya?. Ada beberapa ciri orang tersebut layak disebut sebagai ulama. Salah satunya adalah orang tersebut telah berguru dengan guru yang pakar dibidangnya.

Lihat saja biografi para ulama, selalu ada lusinan, puluhan bahkan ratusan guru yang memang pakar di bidangnya, meski mungkin berbeda mazhabnya.

Al-Imam Asy-Syafi'i contohnya, beliau pernah berguru kepada Al-Imam Malik, mufti paling senior di Madinah. Namun beliau juga pernah berguru kepada tokoh-tokoh senior mazhab Hanafi.

Tentu saja yang namanya guru pasti selalu dihormati. Dan seorang murid yang baik adalah murid yang tidak pernah melupakan rasa hormat kepada gurunya. Sebab atas jasa guru lah kita jadi orang yang berilmu.

Meskipun boleh jadi nantinya si murid lebih punya banyak ilmu yang melebihi ilmu gurunya, namun setidaknya rasa hormat dan respek pada sosok guru tetap tidak mudah terkikis begitu saja.

Kalau pun 'terpaksa' harus berbeda pendapat dengan sang guru, murid yang baik pasti punya sejuta etika dan sopan santun, bagaimana caranya menyampaikan ''opini' pribadi yang sekiranya kurang sejalan dengan opini gurunya, tanpa harus menjelekkan apalagi menghina sang guru.

Setidaknya ada beribu permakluman, toleransi dan juga rasa tawadhu' yang tulus ketika harus 'berhadapan' dengan sang guru. Dari tutur bahasa dan unggah-ungguhnya pun pasti berbeda.

Tapi . . .

Coba lihat bagaimana kelakukan orang-orang yang belajar tanpa guru. Tidak punya rasa hormat, siapa pun orang yang sekiranya tidak disukainya, lepas dari urusan benar atau salah, pasti dicaci maki, dihina, dikata-katai, dibilang bodoh, tolol, ideot, goblok, bloon, dan sejuta kutukan dan hinaan lainnya. Sampai bisa dibuatkan satu buku khusus yang isinya daftar cacian dan hinaan yang dilontarkan kepada para ulama.

Astaghfirullah . . . .

Kok bisa ada orang mengaku alim, tapi kerjaannya tiap hari menghina para ulama, cuma gara-gara dia punya opini pribadi yang sangat diyakininya. Dan ulama manapun yang dianggapnya tidak satu selera dengan selera pribadinya, pasti dihabisi tanpa ampun.

La haula wala quwwata illa billah . . .

Tapi kalau kita pinjam sebentar alur berpikirnya, memang sih rada masuk akal juga dia berkelakukan macam itu. Dan bisa saja dianggap pantas dan maklum. Sebab yang dihadapi adalah sosok yang tidak pernah dikenalnya. Tidak pernah punya rasa hormat dan respek kepada sosok ulama.

Setiap mendengar nama para ulama disebutkan, yang terbersit di hati cuma bagaimana cara 'melawan' dan mencari-cari kelemahannya saja. Seakan ulama adalah musuh utama yang harus dibasmi.

Maka dalam berdebat, alih-alih menggunakan bahasa santun, modal dalam mempertahankan opini dan selera pribadi itu cuma semata-mata hinaan, cacian dan umpatan, tidak peduli siapa yang sedang dihadapinya.

Kalau mau tahu ulama yang tidak pernah berguru, maka caranya cukup sederhana dan mudah. Coba perhatikan bahasa yang digunakan ketika harus menanggapi perbedaan pendapat, apakah bahasanya santun atau malah kasar?

Meski ini bukan satu-satunya cara, tapi salah satu ciri yang mudah dipahami.

Semoga Allah SWT selalu melapangkan dada kita semua dan melindungi kita dari sikap-sikap sombong, takabur dan merasa benar sendiri. Semoga Allah SWT kunci rapat-rapat mulut kita dari menghina para ulama.

Amiin ya rabbal alamin...

Oleh: Mintagara Sukma