Kebakaran Hutan dan Lahan Terjadi Lagi di Indonesia

Foto kebakaran hutan di Bengkulu Tengah

Lagi lagi kebakaran hutan di Indonesia kembali terjadi tepatnya di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Akibatnya, bencana kabut asap pun melanda kota-kota tepatnya di daerah Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan.

Kejadian tersebut terjadi bertepatan dengan musim kemarau 2019. Laporan bencana kabut asap pun mulai bermunculan baik itu dari Riau, Kalimantan Tengah maupun Kalimantan Barat.

Berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sampai Senin, 16 September 2019, pukul 16.00 WIB, titik panas ditemukan di Riau sebanyak 58, Jambi (62), Sumatera Selatan (115), Kalimantan Barat (384), Kalimantan Tengah (513) dan Kalimantan Selatan (178).  Jadi total titik panas selama 2019 mencapai 2.288.  Sementara luas karhutla di Indonesia  selama  2019, sesuai data KLHK, sudah mencapai 328.724 hektare. Dari data itu, kebakaran di Kalimantan Tengah tercatat seluas 4.769 hektare, Kalbar (25.900 ha), Kalsel (19.490 ha), Sumsel (11.826 ha), Jambi (11.022 ha) dan Riau (49.266 ha).    
                                                                                                  
Melihat kondisi kebakaran yang terjadi tidak sedikit, diperkirakan kebakaran tersebut terjadi tidak karna faktor alam semata melainkan karna campur tangan manusia didalamnya. Bapak Presiden Jokowi ketika mengunjungi titik lokasi kebakaran sempat mengatakan bahwa “kebakaran yang terjadi itu semua disengaja dan terorganisasi”, karna melihat luasnya lahan yang terbakar. 

Selain itu diperkuat juga dari hasil laporan kepolisian bahwa sampai sekarang yang menjadi tersangka kasus karhutla ada 325 orang dan 11 korporasi. Sebelas perusahaan yang tersangka itu diantaranya adalah PT Bumi hijau Lestari (Sumsel), PT Dewa Sawit Sari Persada dan PT Anugerah Sawit (Jambi), PT Sumber Sawit Sejahtera dan PT Adei Plantation (Riau), PT Palmindo Gemilang Kencana dan PT Gawi Bahandep Sawit Mekar (Kalteng), PT Surya Argo Palma dan PT Sepanjang Inti Surya Usaha (Kalbar), PT Monmard Intan Barakat dan PT Bornei Indo Tani (Kalsel). 

Motif kebakaran hutan ini baik itu perorangan maupun korporasi dikarenakan ingin membuka lahan untuk berkebun dengan cara yang mudah, seperti ingin membuka lahan untuk pertanian bercocok tanam, perkebunan kelapa sawit, dll. Mereka yang membakar ini berfikir bahwa membuka lahan dengan cara dibakar biayanya lebih murah yaitu hanya kisaran Rp 600-800 ribu per hektare, dibandingkan dengan tidak membakar biayanya bisa mencapai jutaan per hektarnya. Mereka yang seperti ini hanya memikirkan mudahnya membakar saja, tidak memikirkan dampak kedepan yang ditimbulkannya yaitu kerugian yang sangat besar. 

Dampak kebakaran hutan atau lebih tepatnya dibakar ya., lingkungan serta udara menjadi tercemar, udara yang dihirup sudah tidak tergolong baik lagi (berbahaya), hingga banyak orang orang yang mengalami penyakit pada saluran pernapasan seperti Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA), asma, penyakit paru obstruktif kronik. Bayi-bayi hingga dewasa kesehatannya terancam terganggu, aktivitas penduduk menjadi menurun. Selain itu juga dampaknya merusak ekosistem yaitu punahnya flora dan fauna yang tumbuh dan hidup di hutan, serta terganggunya lalu lintas penerbangan dan pelayaran, hingga sampai merugikan negara lain karna kabut asapnya.

Jujur setiap kali terjadi kebakaran hutan dan lahan ini rasanya hati ingin menangis. Kenapa kebakaran hutan terjadi lagi dan lagi diindonesia. Apakah sifat masyarakat yang pelupa dan pemaaf atau karna sifat manusia yang merasa tidak pernah puas (serakah) atau karna sanksi hukum negara ini yang begitu lemah sehingga pelaku kebakaran tak kunjung jera dan terus mengulangi dan mengulangi perbuatan ini?!

Dalam artikel ini kami sangat berpesan kepada pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun daerah untuk lebih memberikan perhatian penuh bagaimana caranya hutan diindonesia ini bisa terbebas dari yang namanya kebakaran. Pemerintah hendaklah bersikap tegas terhadap siapapun yang membakar hutan ini dengan sengaja tanpa izin harus benar benar diberikan sanksi yang tegas, kalo bisa hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku harus setimpal dengan dampak yang ditimbulkan karna ulah perbuatannya yang begitu merugikan banyak pihak.     

Hutan adalah paru paru dunia, yaitu sumber oksigen bagi kehidupan kita, tempat tinggal bagi Satwa dan Fauna, sumber bahan dan pangan, pencegah dari terjadinya banjir dan longsor. Dengan begitu, kita sebagai manusia yang telah diberikan akal dan pikiran secara sempurna seharusnya bisa menjaga hutan ini dengan sebaik baiknya, bukan malah merusaknya. Tak ada gunanya jika kekayaan yang ada dihutan digantikan oleh perkebunan, pertambangan, atau bahkan permukiman yang itu hanya menguntungkan segelintir kelompok. Meskipun peralihan fungsi itu kemudian masuk menjadi pendapatan negara, nilainya itu hanyalah kecil tidak sebanding dengan nilai kehilangan dan kerusakan ketika hutan itu benar-benar dibakar. 

Ketika hutan ini dibakar banyak hewan hewan yang awalnya sudah hidup dengan nyaman didalam hutan harus kehilangan tempat tinggalnya dan bahkan ada yang mati terbakar karna tidak dapat menyelamatkan diri dari besarnya kobaran api. Apakah salah mereka hingga tempat tinggalnya direngguk??. Dimanakah hati nurani ini? Apakah masih pantas kita disebut sebagai manusia yang diciptakan dengan akal dan pikiran, yang seharusnya bisa menilai mana perbuatan yang baik dan buruk.  

Apakah kita pernah sempat berfikir jika hal ini terjadi kepada diri kita sendiri. Kita kehilangan tempat tinggal, kehilangan harta benda dan bahkan kehilangan nyawa orang orang yang kita sayang itu hanya karna kepentingan kelompok tertentu. Jawabannya tentu pasti tidak ada yang mau. Nah begitu pula dengan satwa yang hidup dihutan mereka tentu tidak ingin mau juga tempat tinggal dan saudara saudara mereka hilang dan lenyap. Jadi sebelum bertidak hendaklak berfikir terlebih dahulu..

Rasanya sudah cukuplah jadikanlah ini yang terakhir jangan sampai terulang lagi. Malulah kita Negara Indonesia yang selalu menjadi negara dengan kasus kebakaran hutan paling sering. Mari kita sama sama menjaga hutan kita, jika kita tidak mampu untuk menjaganya setidaknya jangan membakarnya.

Delli, Aldira, Tika, S1 Akuntansi Universitas Bengkulu