Kampus Sosial Media: Pencetak Mahasiswa Cacat Mental

Ilustrasi

Oleh: Muhammad Najih Zam-Zami, S.Pd

“Mahasiswa sejati adalah mahasiswa yang peduli terhadap kondisi negara dan masyarakat bukan mahasiswa yang peduli terhadap kehidupan orang lain yang ada pada sosial media”

Sudah menjadi fakta bahwa hari ini perkembangan teknologi mendominasi dalam berbagai sektor di kehidupan manusia. Tidak ada aktivitas yang tidak menggunakan teknologi. Dimulai dari komunikasi, transportasi, elektronik, dan sektor-sektor lainnya. Diakui bersama, hadirnya teknologi sangat membantu manusia dalam menyelesaikan tugas maupun problematika hidup.

Namun tidak dipungkiri hadirnya teknologi juga membawa dampak negatif terhadap perkembangan sumber daya manusia dan lingkungan pada suatu negara. Teknologi menjadikan manusia-manusia zaman ini menjadi lebih pasif karena semua dimudahkan dengan teknologi. Masyarakat menjadi lebih individualis, karena merasa tidak membutuhkan pertolongan orang lain sebab semua sudah dikerjakan teknologi dengan baik. Interaksi sosial dalam masyarakat bersifat eksklusif karena hanya menjangkau untuk lingkungan sendiri (keluarga, kolega, dll).

Dan kultur budaya perlahan mulai menghilang dari masyarakat, seperti halnya permainan egrang, layangan, dir-diran, nyeser (mencari) ikan, yang mulai tergeser dari dunia anak-anak. Mereka lebih senang menggandrungi feacebook atau bermain game online. Inilah potret salah satu dampak negatif dari adanya perkembangan teknologi. 
Melihat kenyataan yang ada, perlu adanya strategi agar dampak negatif dari perkembangan teknologi agar tidak terlalu signifikan, terutama dampak negatif dari pengembangan teknologi dalam komunikasi yang saat ini sedang naik daun yakni sosial media. Bisa kita lihat bersama bagaimana sosial media berhasil membuat candu masyarakat kita, terutama di kalangan pemuda dan mahasiswa.

Hampir dari setiap waktu luang yang ada digunakan untuk berjejaring sosial media. Sosial media sudah menjadi makanan pokok yang harus ada dalam aktivitas rutin, apalagi jika ada konten yang menarik untuk dibaca dan dikomentari. Realitas ini begitu berbahaya karena akan berdampak pada konstruksi berpikir. Akal menjadi tumpul dan matinya daya analisa dalam menilai suatu fenomena yang ada. Tidak mengherankan ketika banyak mahasiswa yang termakan hoax. Karena yang dikonsumsi mahasiswa adalah konten-konten yang tidak jelas. Gelar sebagai kaum intelektual mulai dipertanyakan karena terlalu banyak memakan narasi berita hoax.

Mahasiswa telah kehilangan daya kritisnya, sebab mereka tidak memiliki wawasan maupun wacana yang luas. Yang dikonsumsi adalah wacana dan opini sesat menyesatkan dari sosial media. Sehingga wajar yang mereka tahu hanyalah berjejaring sosial media, tugas, kuliah lalu tidur. Tidak lupa ngopi dan kongkow bareng untuk menghilangkan penat.

Perguruan tinggi berubah fungsi menjadi tempat nongkrong dan ngopi bukan sebagai pencetak ilmuwan dan akademisi.

Berawal dari kebiasaan buruk yang terus dibiasakan seperti copy paste, malas membaca buku, malas berdiskusi, menggibah orang lain menyebabkan cara pandang mahasiswa menjadi sempit dan sok tahu. Biasanya mahasiswa yang demikian itu mereka tidak mau terbuka pada hal-hal yang baru dan cenderung mencari-cari masalah karena menganggap bahwa dirinya sudah benar. Anti kritik dan menyukai hal-hal yang pragmatis.

Virus berbahaya yang dapat merusak mentalitas seorang aktivis maupun akademisi. Pola pikir yang rusak akan mengakibatkan mental yang rusak pula. Menjadi catatan bersama bahwa mahasiswa sejati adalah mahasiswa yang peduli terhadap kondisi negara dan masyarakat bukan mahasiswa yang peduli terhadap kehidupan orang lain yang ada pada sosial media. Mahasiswa yang demikian itu bisa disebut sebagai mahasiswa cacat mental, karena tidak berfungsi keberadaannya. Perlu adanya perubahan sosial sebagai penawar dari virus berbahaya yang sedang menggerogoti mental mahasiswa. Maka untuk mengakibatkan adanya perubahan sosial mengutip buku rekayasa sosial Jalaludin Rahmat memerlukan 2 hal (dalam konteks negara diperlukan 3 hal). Yang pertama adalah idea, pandangan hidup (way of life). Diperlukan adanya rumusan idea mengenai mahasiswa yang ideal bagaimana.

Tentu saja adanya idea tidak cukup untuk melakukan perubahan. Dibutuhkan minority creative (kelompok kecil yang kreative) untuk menyebarkan idea ke khalayak mahasiswa. Yang kedua adalah great individuals (tokoh besar), yang dapat mempengaruhi mahasiswa-mahasiswa untuk ikut mewujudkan gagasan yang dibangun dari idea. Dua hal tersebut harus ada ketika ingin melakukan perubahan sosial karena dia menjadi antitesa dari virus mahasiswa cacat mental. Sebab tanpa adanya antitesa, dinamika tidak akan terjadi dan tanpa adanya dinamika perubahan sosial tidak akan bisa terwujud.