Kajian Hukum Omnibus Law untuk Indonesia

Ilustrasi

Apakah bisa omnibus law menjadi solusi yang kita inginkan?

Suatu wacana tentang Omnibuw Law muncul pertama kali Dalam pidato pelantikannya 20 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo  meyampaikan konsep hukum perundang-undangan yang disebut Omnibus Law. Secara defenisi omnibus law berasal dari bahasa latin omnis yang berarti untuk semua atau banyak sedangkan kata law yang berarti hukum, maka omnibus law dapat didefenisikan sebagai hukum untuk semua.  Mantan Gubernur Jakarta sekaligus Mantan Wali Kota Solo itu menjelaskan, konsep itu bakal menyederhanakan suatu  kendala regulasi . Wacana nya, Jokowi bersma anggota DPR mengelurkan dua Omnibus Law, yakni Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dan UndangUndangPemberdayan UMKM.

 Presiden Joko Widodo sangat keberatan dengan banyaknya peraturan yang dimiliki Indonesia. Regulasi itu, berkisar sekitar  ribu aturan yang mencakup Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri hingga Peraturan Gubernur, Wali kota dan Bupati di daerah. Ribu peraturan tersebut ada yang bertentangan. Banyaknya peraturan tersebut membuat  sikap pemerintah mengambil keputusan menjadi lambat. Keprihatinan Presiden tesebut sanagat realistis, karena mengingat peraturan perundang-undangan mengatur sesuatu itu secara parsial. 

Sebagai Negara hukum peraturan perundangundangan dicitrakan dan menjawab semua permasalahan kebangsaan dengan kepentingan politis partai politik dan politisi di lembaga perwakilan. Sebagai produk hukum perundang-undangan dianggap sebagai hal yang objektif karena dibuat dalam proses dan teknis penyusunan yang taat dan sesuai dengan asas hukum oleh lembaga perwakilan rakyat. Perundangundangan dapat didefinisikan sebagai Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan di Indonesia sering kali memberi ketidakpastian hukum, dampaknya banyak tumpang tindih peraturan baik tingkatan hierarki yang sama atau dengan peraturan dibawahnya. Ke tidak jelasan hukum dalam berbagai UU menjadi opini sebagai suatu  persoalan yang menghambat investasi selama ini. Jadi, UU Omnibus Law dinilai menjadi jalan keluar menyelesaikan persoalan investasi dan  kelak menjadi daya ungkit perekonomian Nasional , Sementara menurut data dari BKPM (2019), realisasi investasi dalam negeri dan investasi asing sebesar Rp. 200,5 triliun dengan komposisi PMA sebesar Rp. 104,9 triliun (52,3%) dan PMDN 95,6 triliun (47,7%) pada triwulan II tahun 2019. Sektor yang menjadi primadona untuk PMA adalah Listrik, Gas dan Air dengan nilai investasi sebesar USD 1.350,5 Juta. Dengan demikian RUU Omnibus Law merupakan kekuatan supra struktur . Ada beberapa poin yang menjadi substansi dalam rancangan undang-undang Omnibus Law; penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketengakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi (menghapus pidana), pengadaan lahan, kemudahan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi. Kesembilan aspek tersebut menjadi pokok usulan yang diharapkan memberikan kontribusi terhadap penciptaan lapangan pekerjaan yang besar dengan harapan mampu mengurangi jumlah angka pengangguran terbuka sebesar 6,82 juta jiwa (data BPS 2019).
 Arahan Jokowi, pemerintah akan melakukan perbaikan pada setiap indikator yang menjadi prioritas. Oleh karena itu, setiap kementerian/lembaga harus segera menyelesaikan permasalahan dan peraturan yang mengganjal. Melihat hal yang telah di jelaskan diatas, dengan membuat suatu terobosan melalui omnibus law dapat mengurangi permasalahan hukum yang ada di Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Omnibus Law menjadi perdebatan di Indonesia

Dalam pembuatan Per-UU menurut UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, harus mencantumkan mengenai Naskah Akademik yang memuat landasan filosofis , yuridis, dan sosiologis. Sehingga ,dapat mengetahui marwah dan tujuan serta ciri khas dari suatu undang-undang. Tapi dengan konsep omnibus law, menyatukan hamper semua undang-undang yang berhubungan bias sesuai dengan sesuai dengan marwah, tujuan, dan ciri khas dari suatu undang-undang itu. Ditarik dari Sejarah (Historis) sebenarnya undang undang sejenis dengan Omnibus law, sudah ada di Indonsia, yaitu undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Undang-undang nomor 5 tahun 1960. Tapi, mengapa masyarakat, serta bangsa tidak meributkan UU itu, sebab UUPA dibuat sesuai dengan marwah Pasal 33 ayat 3 UU NRI 1945, dan dibuat sesuai dengan prinsip Negara WelfareState (Negara kesejahteraan) untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, kenapa dengan Omnibus Law, kebanyakan menimbulkan keresahan kepada masyarakat? Sebab dalam draft UU yang akan di canangkan dalam Omnibus Law, lebih mengutamakan Investasi dan Investasi ,tanpa memikirkan akar rumput (Rakyat Indonesia).

“Karpet Merah untuk Investasi, Pembangunan, dan Perbudakan Modern” dalam perspektif kaum buruh.  pertanyaan mendasar adalah, mampukah RUU Omnibus Law menjadi pemecah kebuntuan ihwal pengangguran di Indonesia? Serta jejauh mana Omnibus Law mampu memberikan harapan bahwa investasi kelak akan berdampak pada masyarakat kecil? Atau, investasi hanya dapat dinikmati oleh elite dan segelintir orang saja? Bukankah investasi sejatinya bermuara pada penciptaan lapangan pekerjaan yang kelak berdampak pada peningkatan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Melihat trend data yang ditunjukan oleh BKPM bahwa sektor Indistri di tahun 2016 hanya mampu menyerap sebesar 15,8 Juta tenaga kerja, tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar 10% yaitu diangka 17,4 juta tenaga kerja.Tetapi di tahun 2018 peningkatan jumlah penyerapan tenga kerja tidak mengalami jumlah yang signifikan yaitu sebesar 18,1 juta tenaga kerja atau hanya mengalami peningkatan sebesar 4% dari tahun sebelumnya. Sedangkan nilai investasi tahun 2018 mencapai Rp 361,6 triliun, artinya pertumbuhan investasi di sektor industri tak selamanya berbarengan dengan penyerapan jumlah tenaga kerja di sektor industri tersebut.

Alih-alih membela kepentingan buruh, Omnibus Law justru dapat menjadikan buruh tak ubahnya seperti mesin-mesin produksi. Adanya usulan dalam draf tersebut seperti yang pertama adalah hilangnya upah minimum yang diganti dengan upah per-jam. Kedua hilangnya atau ditiadakanya upah untuk pembayaran pesangon pasti akan menciptakan problematika.

 Kemudian dilihat dari sisi prosedur, pembuatan semua peraturan per-UU seharusnya dari awal melibatkan publik, agar bias terjadi control sehingga pasal-pasal atau aturan aturan yang di masuk kan, bukan tedensi untuk menguntungkan salah satu pihak saja. Adapun yang menjadi permasalahan utama adalah para kaum buruh yang tidak diberikan hak partisipatif yang intensif terhadap pembuatan draf RUU Cipta Lapangan kerja yangd diajukan oleh Presiden Kepada DPR-RI, Padahal mereka merasa menjadi pihak yang akan merasakan dampak langsung dari adanya RUU Cipta Lapangan Kerja ini. Ada beberapa pasal dalam RUU Cipta Lapangan Kerja, dirasakanakan semakin membuat rakyat Indonesia terkhusunya rakyat kecil semakin menderita:

  • Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapanbelas) jam dalam 1 (satu) minggu (Pasal 78 ayat 1 huruf b)
  • Perusahan sector tertentu dapat menetapkan jam kerja lebih dari 8 jam perhari (Pasal 78 ayat 3) • Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. (Pasal 79 ayat 2 angka b)
  • Hak cuti Panjang 2 bulan setelah bekerja minimal 6 tahun dihilangkan (Pasal 79 Waktu istirahat dan Cuti )
  • Hak cuti berbayar karena haid, hajatan, istri melahirkan, atau keguguran, berduka, karena ada anggota keluarga meninggal dunia, ibadah, serta melakukan kegiatan serikat buruh dihilangkan (Pasal 79 tentang waktu istirahat dan Cuti)
  • Gubernur Menetapakan Upah Minimum (Pasal 88C ayat 2) Sektor Padat Karya lebih rendah dari pada Sektor Umum.
  • Kewajiban perusahaan untuk membayarkan upah kepada buruh yang tidak bekerja karena sakit berkepanjangan dihilangkan (pasal 93)
  • Hak pekerja atas uang pengganti hak jika terjadi PHK, dihilangkan. Besaran uang penghargaan atas masa kerja dikurangi, dari sebelumnya maks 10 bulan menjadi maks 8 bulan (pasal 156)
     

Penulis: Muhammad Fajrul Exan, mahasiswa Unib Fakultas Hukum Semester 4