Situasi politik dewasa ini menjadi bahan diskusi semua kelas. Kelas masyarakat di Indonesia. Riuh rendah, hiruk pikuknya menjadi hal yang menghiasi tema berbagai saluran media, media sosial. Fenomena ini terbilang baru, meski pernah terjadi di pemilu 2014 lalu. Namun tak seheboh dan semasif kini, kala itu penggunaan media sosial belum seperti sekarang. Pemanfaatan teknologi sudah mencapai puncaknya. Tak perlu menunggu waktu lama untuk mengeluarkan agitasi politik, cukup ketik, rekam atau videokan untuk kemudian upload atau posting, jadilah dia sesuatu yang bernilai. Entah bernilai provokatif atau sebaliknya. Tak ada yang bisa mengukur dampaknya secara komprehensif dan jangka panjang.
Namun, situasi ini perlu penyikapan dewasa. Dan khas Indonesia. Situasi ini tidak bisa ditangani oleh tokoh agama, tokoh masyarakat atau tokoh bangsa sekalipun. Sebab situasinya sudah terblok menjadi dua bagian, pemerintah dan oposisi. Tak ada wilayah netral seolah. Diciptakan atau terciptakan dengan situasinya sendiri, tak ada yang bisa memberi alasan mengapa ini terjadi, sebab terlalu banyak alasan dan sebab, sehingga tidak ada yang dianggap paling benar, karena ternyata argumentasi hanyalah sebuah alasan. Dan alasan dalam situai ini dimaknai sebagai keperpihakan politik.
Kadang niatpun tidak ada ingin membela siapa, namun tetap saja dipaksa itu sebagai bentuk berpihak, jika tidak dengan kami maka kamu dengan lawan. Itulah situasi Indonesia.
Namun lagi, sebagai bangsa yang besar karena sejarahnya, suku dan bangsanya, Indonesia tidaklah sekerdil varian-varian politik yang saat ini mengemuka. Indonesia bisa dan akan dewasa pada waktunya. Harapan itu sangat luas dan ada.
Puing-puing kesadaran sebagai bangsa yang besar pada saatnya akan menyatu kembali, dalam bingkainya NKRI. Optimisme harus tetap menjadi bagian dari navas para pelaku sejarah, momentum politik akan segera berlalu. Dan sebuah bentuk pendewasaan baru akan menjadi bagian dari karakter bangsa ini ditengah dampak teknologi informasi.
semoga.
