Garis Takdir

ilustrasi

Dalam pembicaraan sehari-hari kata takdir cenderung difahami sebagai kepastian yang mesti disikapi dengan kepsrahan, tidak perlu dinalar secara kritis.

Namun kalau kita membaca Al-Quran, banyak ditemukan kata takdir yang kalau dicermati maknanya menunjuk pada hukum alam yang mengandung hukum kasulaitas, sebab-akibat.

Demikianlah, jadi untuk melaksanakan mandat sebagai khalifah Tuhan di muka bumi manusia diberi kemampuan sebagai manager mengolah takdir, terutama melalui perangkat ilmu pengetahuan untuk memahami hukum sebab-akibat yang telah ditakdirkan Tuhan pada setiap ciptaaanNya. Dengan ilmu pengetahuan manusia mengidentifikasi sifat dan perilaku alam, kemudian mengaturnya.

Garis hidup manusia memang tak sama, nasib setiap orang yang menjalani kehidupan selalu berbeda. Perbedaan yang ada dalam kehidupan semakin menjelaskan bahwa setiap orang memiliki kisah hidup dan takdirnya masing-masing. Dari mulai kecil hingga dewasa setiap orang memiliki kisah-kisah menarik tersendiri yang mungkin saja tak mudah untuk terlupakan dan sering teringat di setiap perjalanan hidup ini dan selalu menyimpan setiap makna yang tersembunyi bagi mereka yang bisa memahami arti hidup yang dijalaninya.

Beriman dengan benar terhadap takdir bukan berarti meniadakan kehendak dan kemampuan manusia untuk berbuat. Hal ini karena dalil syariat dan realita yang ada menunjukkan bahwa manusia masih memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu.

Sedangkan realita yang ada menunjukkan bahwa setiap manusia mengetahui bahwa dirinya memiliki kehendak dan kemampuan. Dengan kehendak dan kemampuannya, dia melakukan atau meninggalkan sesuatu. Ia juga bisa membedakan antara sesuatu yang terjadi dengan kehendaknya (seperti berjalan), dengan sesuatu yang terjadi tanpa kehendaknya, (seperti gemetar atau bernapas). Namun, kehendak maupun kemampuan makhluk itu terjadi dengan kehendak dan kemampuan Allah Ta’la 

Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami takdir. Mereka hanya pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sunngguh, ini adalah kesalahan yang nyata.  Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa karena semuanya sudah merupakan ketetapan Allah.  

Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manuisa hanya tahu takdirnya setelah terjadi.

Entah umur yang menurut kita sudah 'tua' atau waktunya sudah tepat untuk berhenti hidup sendirian saja. Padahal, bukankah kita sama-sama tahu bahwa Tuhan selalu menjaga hati dengan caraNya sendiri. Karena yang kita tahu, meski hanya sekali Tuhan benar-benar tak pernah ingkar janji. Pada hati yang setia dalam sabar janjiNya selalu ditepati, jadi untuk apa kita harus repot mencampuri pekerjaanNya, yang jelas-jelas tak mudah diselami begitu saja. Maka percayalah saja, kelak cinta yang membuatku berhenti mencari selamanya juga akan tiba. Karena aku yakin dalam dia sudah cukup bisa membuatku menemukan semua yang kuperlukan.

Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk mengubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinilainya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang juga. (**)