Dongeng Kunang-Kunang

Dongeng Kunang-kunang Ayu Lestari

Ada banyak sekali dongeng kunang-kunang. Dan cerita Jisa barusan tidak jauh berbeda dengan cerita Ibu padaku. Namun, sekarang aku sudah sangat dewasa untuk memercayai adanya dongeng. Meski jauh di hati, aku ingin membenarkannya. Setidaknya aku ingin percaya bahwa Mas Arnan selalu melihat kami dari atas sana.

“Ma, apakah kunang-kunang itu ada?” tanya Jisa menghampiriku yang tengah meminum teh seraya memandang kebun sayuran di samping rumah yang kurawat sendiri. Ada beberapa jenis sayuran yang kutanam di pot dan tanah. Seperti sawi, wortel, tomat, cabai, daun bawang, dan seledri. Selain itu ada beberapa pohon papaya dan strawberry di sudut lainnya.

Aku memang suka berkebun sejak sebelum menikah dan memiliki Jisa yang menjadi satu-satunya orang yang membuatku semangat menjalani hari sebagai orang tua tunggal. Mas Arman, orang yang menikahiku sepuluh tahun lalu telah lebih dulu menikmati surga-Nya. Berkumpul bersama kedua orang tua dan adikku.

Kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa mereka tiga tahun lalu benar-benar membuatku merasa hancur sehancurnya. Namun, Jisa dengan sikap polosnya selalu menenangkanku yang terpuruk hebat.

Seperti tadi, ia mengganti bunga di vas yang telah layu dengan bunga baru yang diambilnya di halaman depan. Kemudian membuatkan teh saat aku pergi mandi. Dan kali ini, ia membawa keripik kentang yang kami buat dua hari lalu.

Ia menyodorkan setelah bertanya, lalu duduk di sampingku. Setiap sore menjelang senja, kursi rotan di samping rumah memang menjadi tempat favoritku setelah rumah mendadak sepi.

“Ada, Sayang. Tapi, sekarang udah jarang.”

“Harus ke hutan, ya, Ma, katanya kalau mau lihat kunang-kunang?”

“Begitulah. Kunang-kunang lebih senang hidup di tempat yang sepi, tidak ramai seperti di perkotaan. Ada apa? Kok tiba-tiba nanya kunang-kunang? Jisa mau lihat kunang-kunang?”

Jisa menggeleng pelan. “Gak mau kalau ke hutan, takut. Gelap.”

Aku tertawa kecil dan mengusap rambutnya yang keriting. “Di desa-desa juga ada. Nanti kalau liburan kita pergi ke rumah Nenek Uma, ya,” kataku.

Malaikat kecilku mengangguk riang. Ia memang selalu senang jika diajak bertemu Nenek Uma—ibunya Mas Arman. Terhitung sudah hampir setahun aku tidak mengunjungi mertuaku itu. Pekerjaan di kantor juga toko peninggalan Mas Arman, cukup menguras energi. Beruntung adiknya Mas Arman kini yang mengambil alih toko, aku sekadar mengontrol sesekali saja.

“Di rumah Nenek Uma ada ya, Ma?”

“Ada, tapi nanti kita harus ke sawah. Malam-malam. Berani?”

“Tapi, ‘kan gelap, Ma. Jisa takut gelap.”

“Nanti kita bawa lampu petromak biar tidak gelap lagi. Setuju?”

“Setuju!”

Aku tersenyum. Kali ini kurangkul Jisa. Malaikat kecilku kini sudah besar saja. Padahal baru seperti kemarin aku mengajarinya berjalan di rumput depan rumah. Sekarang ia semakin pintar dalam banyak hal. Belakangan ia sangat tertarik pada buku. Jadi, setiap bulan aku selalu mengajaknya pergi ke toko buku langgananku atau sesekali toko buku yang ada di mal-mal ternama.

“Ma, emang benar, ya, dalam kunang-kunang itu bersemayam roh orang mati?”

“Kamu dengar itu dari mana?” tanyaku lagi, seraya tertawa.

“Dari buku. Katanya juga kalau ada kunang-kunang yang terus nempel sama kita, itu adalah roh orang yang kita sayang.”

“Ada-ada aja. Bukan, Sayang. Itu hanya cerita rekaan orang-orang dulu. Dongeng. Mama dulu juga sering didongengkan oleh Nenek setiap mau tidur.”

“Tapi kalau benar, Jisa pengen ditempeli kunang-kunang. Siapa tau itu roh Papa. Iya, ‘kan, Ma?”

Aku bergeming. Bayangan Mas Arman kembali memenuhi kepala. Sama seperti Jisa, aku pun masih belum terbiasa dengan ketiadaan Mas Arman. Bahkan seringkali aku meletakkan tiga piring di atas meja makan, atau membuatkan kopi setiap selesai Magrib. Namun, aku tidak boleh lebih rapuh dan terlihat sedih di depan Jisa.       

“Nanti kita cari kunang-kunang di rumah Nenek Uma, ya,” ucapku seraya memeluknya.

Ada banyak sekali dongeng kunang-kunang. Dan cerita Jisa barusan tidak jauh berbeda dengan cerita Ibu padaku. Namun, sekarang aku sudah sangat dewasa untuk memercayai adanya dongeng. Meski jauh di hati, aku ingin membenarkannya. Setidaknya aku ingin percaya bahwa Mas Arnan selalu melihat kami dari atas sana.

Entah berapa lama kunikmati senja yang sendu ini. Hingga langit mulai mengelam, aku belum juga beranjak. Kenangan-kenangan yang terlintas begitu saja tentang Mas Arman membuatku betah berlama-lama untuk sekadar berdiam. Sampai sebuah serangga kecil yang sesekali bersinar seperti lampu kelap-kelip di jalan taman, membuatku tersentak.

“Mas Arman.”

“Kunang-kunang! Ma, itu roh Papa!” seru Jisa, melepas pelukanku dan berlari mengejar kunang-kunang.

Aku membiarkannya. Dan memilih semakin tenggelam dalam memori.

***

Bumi Rafflesia, 7 September 2019

Aiyu A Gaara, Penulis tinggal di Bengkulu