Demonstrasi Anarkis Menolak UU Cipta Kerja Tak Mendapat Simpati Rakyat

Foto Ilustrasi

Oleh : Edi Jatmiko 

Unjuk rasa untuk menentang omnibus law UU Cipta Kerja makin memanas di beberapa daerah, bahkan berujung tindakan anarki. Para pendemo bahkan berani melempar aparat dengan batu, bahkan membakar sebuah kantor polisi. Demo yang berujung kerusuhan spontan membuat rakyat tak lagi bersimpati kepada kaum buruh.

Para buruh berunjuk rasa selama 3 hari, sejak 6 oktober 2020. Aksi ini tak hanya diadakan di Jakarta, tapi juga kota-kota lain di Indonesia. Dalam demo sekaligus mogok kerja massal, para buruh menentang omnibus law yang dianggap tidak sesuai dengan iklm ketenagakerjaan di Indonesia. Mereka juga memprotes UMK yang dibuah jadi UMP.

Biasanya masyarakat akan memberi perhatian kepada para buruh, karena nasib mereka yang malang. Namun sayang dalam demo buruh ini, tidak ada simpati sama sekali. Ada beberapa penyebabnya, mulai dari unjuk rasa yang penuh kekerasan, pendemo yang seenaknya sendiri, hingga mereka yang ngotot long march dan tidak taat protokol kesehatan.

Rakyat hanya bisa mengelus dada melihat demo buruh yang katanya aksi untuk menyampaikan aspirasi, namun malah berujung anarki. Bagaimana tidak? Di Malang, para pendemo melempari gedung DPRD bahkan Balai Kota yang ada di sebelahnya, dengan batu dan petasan. Bahkan ada bus yang jadi korban demo dan akhirnya rusak, serta seorang aparat terluka.

Sementara di Jakarta, para pendemo bergerak menuju Istana Negara. Meskipun sudah dihadang aparat, mereka tetap melesak. Untuk meluapkan emosi, mereka tega membakar pos polisi di dekat patung kuda arjuna wiwaha. Para perusuh lantas ditangkap dan ketahuan bahwa tak semua pendemo adalah buruh, sebagian berstatus mahasiswa dan masyarakat sipil.

Setelah ditangkap, ada 10 orang yang menunjukkan hasil reaktif setelah tes rapid. Masyarakat makin tidak bersimpati dengan para pendemo, karena mereka ngotot untuk unjuk rasa di tengah masa pandemi. Sekarang sudah terbukti, ada yang positif corona. Untuk tracking akan sangat susah, karena mereka berkontak dengan ratusan orang saat demo.

Selain melanggar protokol kesehatan, maka masyarakat juga antipati kepada pendemo karena melakukan tindak kekerasan. Menyampaikan aspirasi memang diperbolehkan, tapi sebaiknya dengan cara santun. Jangan dengan vandalisme yang merugikan sehingga gedung DPRD rusak berat dan kantor polisi habis dilalap api.

Apalagi jika pendemo melakukan playing victim. Mereka menganggap aparat yang berjaga adalah musuh besar, sampai tega melempari dengan batu. Padahal aparat hanya melakukan tugasnya. Jika ada gas air mata yang ditembakkan, bukan berarti membenci buruh. Namun dilakukan untuk meredam tindakan anarki yang akan dilakukan lagi oleh pendemo.

Masyarakat menganggap, demo yang penuh dengan anarki tidak selalu membuahkan hasil positif. Karena DPR tak akan serta merta membatalkan UU Cipta Kerja. Realitanya, banyak pendemo yang termakan hoax tentang UU tersebut. Karena membaca pasal dalam draft yang salah namun sudah telanjur percaya, sehingga mereka meluapkan emosinya saat berdemo.

Jika demo dilakukan dengan damai tanpa ada perusakan infrastruktur, maka masyarakat akan bersimpati. Namun nyatanya buruh berbuat onar dan termakan provokasi serta amarah, namun tidak merasa bersalah. Padahal yang jadi korban adalah sesama rakyat. Mereka tak boleh emosi ketika ditangkap aparat, karena memang terbukti melanggar aturan.
 
Demo buruh hanya menyisakan abu dan puing hasil perusakan. Sementara UU Cipta Kerja belum tentu ditarik atau direvisi oleh DPR. Nyatanya, demo ini jadi sia-sia. Malah membuat masyarakat antipati kepada buruh yang dianggap terlalu mengumbar emosi, serta secara sengaja melanggar protokol kesehatan di tengah pandemi covid-19.

(Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini)