Demo Mahasiswa Rentan Menularkan Covid

Foto Ilustrasi

Oleh : Raditya Rahman 

Tanggal 28 oktober, dalam rangka memperingati sumpah pemuda, akan diadakan demo tolak omnibus law lagi untuk kesekian kalinya. Padahal jelas-jelas kegiatan itu berbahaya, karena rentan menimbulkan klaster corona baru. Masyarakat tidak simpati terhadap unjuk rasa karena mengganggu kegiatan mereka.

Sumpah pemuda tahun 2020 ini bertepatan dengan long weekend. Masyarakat sudah diperingatkan oleh nakes dan aparat untuk berdiam diri di rumah saja dalam rangka mewaspadai gelombang massa di luar yang akan liburan bersama. Namun ada yang bandel dan tidka liburan, tapi malah merencakanakan demo tolak omnibus law.

Kali ini unjuk rasa diselenggarakan oleh badan eksekutif mahasiswa seluruh Indonesia (BEM SI). Para mahasiswa beralasan omnibus law mencederai nasib rakyat. Padahal Presiden Jokowi sudah berpidato untuk menjelaskan tentang UU ini dan hoax yang beredar di masyarakat. Namun entah mengapa para mahasiswa masih mempercayai berita palsu itu.

Jika ada mahasiswa yang nekat menuju ke depan gedung DPR untuk berdemo, maka sejak awal sudah dihalau oleh aparat. Mulai dari stasiun hingga titik penting lain seperti sekitar kampus, para aparat berjaga agar mereka tak berjalan untuk meneriakkan aspirasinya. Jika ada gerombolan yang mencurigakan langsung disuruh bubar dan pulang saja ke rumah.

Pelarangan demo bukan berarti pembungkaman. Namun alasan utamanya adalah saat ini masih pandemi, sehingga rawan menyebabkan klaster corona baru. Dari unjuk rasa tanggal 8 oktober lalu sudah ada 12 orang yang positif kena virus covid-19, setelah dites rapid oleh nakes. Jika sudah ada bukti seperti ini, untuk apa nekat demo lagi? Bagaikan masuk ke kandang singa.

Para mahasiswa bisa beralasan lebih banyak orang yang sehat daripada yang tertular corona saat demo. Namun pernyataan ini ditolak oleh Dokter Wiku. Menurut juru bicara Tim Satgas Covid ini, reaksi covid-19 kadang baru terlihat setelah 2 hingga 4 minggu. Sehingga pendemo yang terlihat sehat, ternyata sebulan kemudian kena corona.

Lagi pula saat demo kemarin, yang dites rapid hanya 100 orang. Sedangkan pengunjuk rasa berjumlah 5 hingga 6 kali lipatnya. Sisa pendemo mungkin sudah terlanjur pulang atau menolak dan lari tunggang-langgang saat akan dites rapid. Bisa jadi mereka berstatus orang tanpa gejala (OTG) dan bahaya, jika tidak mengetes swab atau rapid secara mandiri ke Rumah Sakit.

OTG ini yang sangat berbahaya karena mereka bisa menularkan corona ke sesama pendemo. Apalagi saat unjuk rasa tidak ada protokol untuk jaga jarak dan banyak orang yang cenderung melepas masker karena kegerahan. Penularan juga bisa terjadi ketika mereka berbagi minuman botol atau makan dalam 1 bungkus nasi. Karena droplet akan bercampur jadi satu.

Para OTG juga bisa menularkan ke penjual makanan dan minuman di sekitar lokasi, sopir bus, hingga keluarganya di rumah. Sementara untuk tracing jejak OTG agak susah, karena mereka tidak terdata dengan rapi, dan bisa jadi hanya mahasiswa yang tinggal di rumah kos. Sehingga alamat di KTP berbeda dengan alamat domisili.

Saat pendemo kena corona dan menderita di Rumah Sakit, apakah mereka menyesal? Bisa jadi mereka hanya diajak oleh kawan-kawannya dan tidak tahu apa sebenarnya omnibus law. Namun mau untuk ikut demo karena ingin terlihat jantan dan keren.

Jika sudah begini, apakah ada yang mau turun lagi ke gelanggang demo dan kena resiko besar untuk sakit corona? Sayang nyawa Anda, jangan nekat berunjuk rasa. Akhirnya hanya lelah, haus, lapar, dan dihalau aparat. Lagipula Presiden Jokowi sudah mempersilakan semua WNI untuk melaporkan omnibus law ke MK, jadi tidak usah berdemo kembali.

(Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini)