Bila Tsunami Menerjang Bengkulu

Ilustrasi Tsunami
Ilustrasi Tsunami

Oleh : Sabar Ardiansyah, S.ST (BMKG, Stasiun Geofisika Kepahiang-Bengkulu, e-mail : sabar.ardiansyah@gmail.com)

Pasca kejadian tsunami dahsyat melanda Jepang 11 Maret 2011, para praktisi kebencanaan asal Indonesia yang sedang belajar di Jepang menerbitkan buku “Belajar Dari Bencana Jepang”. Praktisi yang terdiri dari 9 orang ini, dalam bukunya menyampaikan kajian lengkap tentang kondisi bencana, kerugian, sistem mitigasi, cara pemulihan, dan cara Jepang merespon kejadian bencana. Tidak hanya itu, tim juga membuat rekomendasi untuk Indonesia sebagai bahan pembelajaran dari kejadian tsunami Jepang ini. 

Salah satu hal penting dalam kajian ini menyebutkan bahwa beberapa wilayah pesisir di Indonesia yang “mendesak” untuk mendapat perhatian khusus bidang mitigasi karena tingginya risiko ancaman bahaya serupa yaitu gempa bumi dan Tsunami. Beberapa wilayah itu antara lain : areal industri sepanjang Pantai Barat dan Selatan Jawa, Kota Padang (Sumatera Barat), tak terkecuali kawasan Kota Bengkulu. Sebagai salah satu kawasan tinggi risiko gempa dan tsunami, Bengkulu dituntut mendapat perhatian serius terkait upaya pengurangan risiko bencana gempa dan tsunami. 

Estimasi Gelombang Tsunami

Dengan cara memasukan parameter gempabumi berkekuatan M=8,5, kedalaman dangkal serta terjadi deformasi vertikal pada wilayah megathrust Bengkulu, waktu kedatangan serta ketinggian maksimum gelombang tsunami dapat diperkirakan. Input parameter gempa yang digunakan berdasarkan sejarah gempa yang pernah terjadi serta potensi kekuatan maksimum yang ada pada megathrust segmen Enggano.

Berdasarkan simulasi yang dijalankan menggunakan sistem Tsunami Observation and Simulation Terminal (TOAST), estimasi waktu kedatangan gelombang tsunami di Pulau Enggano datang dalam waktu kurang lebih 20 menit setelah kejadian gempa bumi. Sedangkan estimasi ketinggian gelombang tsunami maksimumnya mencapai 14 meter. Untuk wilayah di sekitar pantai pesisir Kota Bengkulu estimasi waktu kedatangan gelombang tsunami setelah gempa diperkirakan kurang lebih 50 menit. Perkiraan ketinggian tsunami maksimum di wilayah ini mencapai 6,5 meter. Sedangkan estimasi waktu yang relatif agak lama yaitu sampai di wilayah Mukomuko diperkirakan berkisar 60 menit setelah kejadian gempa, dengan perkiraan ketinggian tsunami maksimum berkisar 5 meter. 

Mitigasi Tsunami

Menjadi pertanyaan yang penting, sebenarnya sistem mitigasi tsunami seperti apa yang paling cocok untuk wilayah Bengkulu? Membahas mitigasi (pengurangan risiko bencana), kita tahu bahwa mitigasi terdiri dari dua jenis yaitu mitigasi secara struktural dan non struktural. Dalam konteks tsunami, mitigasi struktur misalnya membangun tembok penahan gelombang (tanggul), membangun pemecah ombak (break water), membangun shelter tempat pengungsian sementara, dll. Ada juga mitigasi struktur secara alami yaitu melestarikan tumbuhan pantai sebagai penahan ombak atau pemecah energi gelombang tsunami. Tumbuhan pantai ini antara lain pohon bakau, hutan mangrove, pinus, kelapa, dll. 

Sedangkan mitigasi yang berhubungan dengan non struktur antara lain mengadakan pelatihan dan sosialisasi pada masyarakat pesisir pantai, melakukan simulasi (drill), membuat peta kawasan rawan tsunami, membuat peta jalur evakuasi, mengeluarkan kebijakan terkait pembangunan di wilayah pesisir, dll. 

Penerapan mitigasi baik secara struktur maupun nonstruktur harus disesuaikan dengan karakter wilayah masing-masing. Misalnya untuk kawasan Pulau Enggano, shelter tempat evakuasi sangat diperlukan. Dalam waktu yang singkat dan potensi gelombang tsunami yang tinggi, masyarakat di Enggano memerlukan tempat berlindung yang aman, kokoh dan mudah dijangkau. Shelter yang dibangun setidaknya memiliki ketinggian 20 meter karena berdasarkan simulasi, potensi tinggi gelombang tsunami mencapai 14 meter.

Berbeda dengan daerah kawasan pantai Kota Bengkulu, karena potensi gelombang tsunami kurang dari 10 meter, ada dua cara yang bisa diterapkan dalam membangun mitigasi struktur. Bisa menggunakan tembok penahan gelombang (tanggul) atau melestarikan tembok alami yaitu tumbuhan pantai sebagai pemecah energi gelombang tsunami. 

Pilihan pertama membangun tembok penahan gelombang merupakan pilihan yang memiliki risiko biaya yang sangat mahal. Selain itu, semakin tua usia nya, maka kemampuan tembok akan semakin rentan mengalami kerusakan. Berbeda dengan hutan mangrove misalnya, selain biaya yang murah, semakin tua usianya, maka kemampuan akarnya menahan gelombang akan semakin kuat. Selain itu, manfaat mangrove juga berfungsi sebagai habitat biota laut, juga sebagai penahan abrasi dan erosi. 

Peneliti Geofisika Kelautan LIPI Nugroho Dwi Hananto mengungkapkan bahwa mangrove dapat dimanfaatkan untuk menghadang atau setidaknya meredam gelombang laut seperti tsunami. Sebab, dengan akar tunjangnya yang tumbuh rapat dan melebar, mangrove akan bekerja seperti jaring. 

Tsunami Tohoku, Jepang 2011 menjadi pelajaran penting bagi kita, ternyata mitigasi menggunakan tembok (tanggul) tidak sepenuhnya aman. Tanggul yang dibangun setinggi 10 meter ternyata tidak mampu menahan gelombang tsunami Jepang 2011. Sedangkan kasus tsunami Donggala 2018 lalu, Kelurahan Kabonga Besar, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah berhasil selamat dari amukan tsunami berkat hutan Banggo. 

Banggo merupakan sebutan sehari-hari untuk mangrove bagi orang Kabonga Besar. Di area poros Palu-Donggala itu ada kawasan hutan mangrove Gonenggati. Lebih kurang 20 tahun terakhir warga setempat merawatnya. Total luas areanya sekitar 10 hektare. Batang-batang pohonnya tumbuh rapat setinggi lebih dari lima meter, dengan akar-akar yang menghujam kuat.

Kabonga Besar terhindar dari petaka saat tsunami menerjang. Data korban terbilang kecil : 10 rumah rusak dan seorang anak meninggal dunia. Kondisi berbeda terjadi di pesisir Kota Palu yang tak punya hutan mangrove atau vegetasi pantai lain. Di sana, sejauh mata memandang hanya tampak puing bangunan. Korban hilang dan meninggal karena tsunami mencapai 1.204 jiwa.

Kendati begitu banyak manfaat mangrove, tetap ada kelemahan untuk gelombang tsunami lebih dari 10 meter. Mangrove memiliki ketinggian terbatas berkisar 5-6 meter, sehingga untuk gelombang tsunami dengan ketinggian lebih dari 10 meter mangrove tidak mampu meredam secara signifikan. 

Evakuasi Mandiri

Walaupun pada simulasi ini kita memiliki waktu antara 20 hingga 60 menit untuk menyelamatkan diri. Namun, kasus tsunami Palu cukuplah menjadi pelajaran berharga bagi kita. Hanya dalam waktu kurang dari 5 menit setelah gempa M=7,4, tsunami melanda pesisir pantai. Artinya, kemungkinan terburuk tetap selalu ada. Maka, kesadaran evakuasi secara mandiri harus terus ditanamkan di dalam diri kita saat menghadapi situasi sebenarnya. Evakuasi mandiri artinya segera mengambil tindakan ke tempat yang lebih tinggi setelah merasakan guncangan gempa kuat dan durasi cukup lama (berkisar 20 detik). 

Jika berada di pesisir pantai, setelah merasakan guncangan gempa kuat, tanpa harus menunggu peringatan resmi dari pemerintah segera mengambil tindakan penyelamatan diri ke wilayah yang lebih tinggi. Kawasan “Hotel Grage Horizon”, merupakan tempat yang relatif tinggi untuk berlindung dari gelombang tsunami jika kita berada di sekitar wilayah Sport Center, Pantai Panjang. Begitu juga daerah “Benteng Marlborough” kawasan yang bisa dijadikan wilayah evakuasi cukup aman. Selain itu, daerah “Universitas Bengkulu” juga merupakan wilayah yang cukup tinggi, sehingga aman untuk dijadikan tempat evakuasi. 

Menjadi sangat penting untuk mengenali dan menguasai jalur evakuasi dan daerah-daerah yang aman untuk dijadikan tempat berkumpul saat potensi tsunami terjadi. Banyak korban terjadi karena minimnya pengetahuan dan tidak menguasi jalur evakuasi serta titik berkumpul. Begitu juga sebaliknya, banyak korban yang selamat karena memiliki kesadaran segera mengambil tindakan evakuasi mandiri serta menguasai jalur evakuasi dan tempat aman untuk penyelamatan. (**)

NID Old
9055