Bengkulu dan Pemberangusan Fakta Sejarah

Sebuah monumen di Benkoelen, diresmikan oleh Mrs. S.L. Zieck-van Hengel-istri dari penduduk
Sebuah monumen di Benkoelen, diresmikan oleh Mrs. S.L. Zieck-van Hengel-istri dari penduduk

Opini oleh Benny Hakim Benardie

Bila ada provinsi yang banyak menyimpan fakta sejarah peradaban anak negeri, salah satunya adalah Bengkulu, Bencoolen atau Benkulen. Hanya saja  negeri ini sangat minim akan literatur sejarahnya. Ironisnya, muatan lokal dunia pendidikan di Provinsi Bengkulu,  mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi, terpaksa mempelajari sejarah yang ada  di provinsi lain. 

Pilukah perasaan anak Negeri Bengkulu dengan realitas yang ada? Tentunya saja tidak. Skeptis, apatis dan vandalis sudah terjadi sejak generasi sebelumnya, tak lama negeri ini menjadi provinsi. Saat ini generasi penerus hanya punya kepentingan sesaat dan ketidakperdulian. 

Penulis ingin mengatakan, “Pupusnya lentera pembuka tabir kebenaran akibat minimnya babat dan kronik negeri ini. Bangkitnya anak negeri, terpaksa  melestarikan kebohongan sejarah”. 

Banyak anak negeri yang tidak tahu, kalau pantai  dibagian barat  Pulau Sumatera ini, jauh sebelum   Ratu Agung menjadi Akuwu atas diperintah Kesultanan Banten Fhathahillah, Tahun 1543 hingga 1475 Masehi, sudah ada penduduk dari Bangsa China (Hyunan).  Ini terjadi Sebelum Masehi, dimana mereka menyebut Negeri Bengkulu ini dengan sebutan Negeri Lu-Shiangshe berarti Batang Air.

Dari exsodus bangsa China pertama inilah berawal peradaban Suku Rejang, Tahun 195 hingga 264 Sebelum Masehi. Sejarah Ini belum terkuak sepenuhnya, termasuk misi mereka mengarungi samudera luas untuk mencari emas di daerah Lebong Tandai.      

Kaya Peninggalan
Nama Bengkulu yang tersebut dalam beberapa peta kuno abad 15 Masehi, pada abad pertengahan, abad 10 Masehi, memang banyak tidak tersiar kabar aktifitas penduduknya. Negeri ini seakan tengelam dalam keheningan dan kenikmatan dengan kekayaann alamnya. Baru Tahun 15 Masehi, negeri ini dikabarkan oleh seorang mualim, yang memerintahkan kesultanan  Banten Tahun 1481 hingga 1531, Sultan Maulana Hasanuddin dalam perjalanannya singgah ke negeri Inderapura dan Negeri Sungai Serut (Bengkulu). Dalam sebuah naskah kuno berjudul “Berniaga Kenegeri Cina”  yang ditemukan di Tibet  China, Tahun 116 Sebelum Masehi  menceritakan Negeri Lu Shiangshe disebutkan berada diseberang laut, Phaalas (Sumatera) yang makmur, perniagaanya mengunakan Emas. 

Kilasan  fase ini saja, tampak banyak hal yang menarik dan diambil manfaatnya bila dikuak menjadi literatur kepustakaan, termasuk budaya dan tradisi saat itu. Belum lagi masuk fase datangnya Kolonial Inggris pada abad ke16 dan Belanda pada abad ke-18 dengan misi awal mencari hasil bumi termasuk tambang emas di Lebong Tandai. 

Di era Inggris inilah beberapa bangunan didirikan dan hingga kini beberapa masih tegak berdiri, sisanya dihancurkan, diabaikan dan terlanjur dihancurkan, dengan alasan akibat kebakaran disekitar lokasi bersejarah itu. Ini terjadi tahun 80-an, saat Provinsi Bengkulu masih dipimpin oleh anak negeri sendiri.   
Kolonial Inggris kala itu sempat membangun Fork York, hasil perjanjian  dengan kerajaan kecil Selebar dengan British East India Company, Tahun 1685 yang memberi Inggris hak untuk membangun sebuah gudang dan Benteng pertamanya. Masih di Tahun 80-an, Sisa peninggalan benteng itu ditemukan di pinggiran sungai daerah Pasar Bengkulu. Penemuan itu hingga kini diabaikan, seakan dicampakan begitu saja. Miriskah?

Hingga kini penulis belum menemukan dimana tempat hunian para kolonial Inggris itu tinggal menetap lama di negeri yang mereka sebut Bencoolen ini. Kalau tempat hunian itu memang ada, kenapa pemerintah dan bagian kepurbakalaan tidak menjadikannya cagar budaya dan menjadi daya tarik sendiri bagi Provinsi Bengkulu. Mungkinkan  tempat hunian orang-orang Inggris itu sudah dibragus atau dialihkan kepemilikannya ke pemerintah pusat, seperti nasib Pengadilan Tingkat Pertama Belanda yang kini di kuasai Kementrian Kehakiman dan Ham RI untuk dijadikan Rupbasan, di daerah Kampung Cina Kota Bengkulu.  

Monumen Mrs Zieck
Tidak hanya Kolonial Inggris saja yang gedol membuat monumen, kolnial Belanda juga membangun hal serupa. Terakhir di era Tahun 70-an, penghancuran  sebuah monumen  Mrs SL Zieck-van Hengel, isteri Wouter Jacob Reichard Zieck, seorang kolonisasi pertanian di Bengkulu atau Benkoelen kala itu. Monumen ini diresmikan  sendiri oleh Nyonya SL Zieck-van Hengel, Tahun 1931. Penulis menduga, monumen yang dimaksud adalah monumen yang ada di persimpangan Pasar Melintang, dekat kantor Resident atau depan UNIHAZ Kota Bengkulu. Munkin saja monumen itulah yang disebut oleh anak negeri dengan sebutan Tugu Lupis Azimuth kota, dihancurkan Tahun 1985. Alasan pemerintah daerah kala itu sepele, hanya untuk pelebaran jalan. Mungkinkah tidak punya nilai history yang dapat dimanfaatkan atas monumen tersebut?

Ceritera Wouter Jacob Reichard Zieck yang menetap di Bengkulu Tahun 1927 hngga 1931 ini, beberapa peninggalannya tak pernah diungkap. Padahal ini merupakan aset sejarah yang terlupakan  pernah ada. Zieck juga pernah meninggalkan jejak  berdirinya sebuah  Pasar Malam, pondasi batu pertama Mulo, termasuk monumen penyingkapan pada keberangkatan mrs. Zieck, wanita residen, yang konon berasimilasi dengan penduduk pribumi setempat. 

Pertanyaan yang menggelitik fikiran adalah,  kenapa di Provinsi lain, peninggalan kolonial atau hal-hal yang  yang mempunyai nilai sejarah selalu di pelihara, diberdayakan dengan diambil manfaatnya untuk daerah. Apakah penguasa dan pengurus provinsi ini tidak suka, ingin, gemar bahkan tak perduli dengan kekayaan nilai sejarah tersebut?

Mungkin jawabannya karena dendam akibat nenek moyngnya pernah dibantai dan membantai. Peninggalan sejarah yang ada itu tidak berguna atau memuat kisah pembantaian anak negeri. Klasik atau mungkin klise memang, kalau itu jawabannya. 

Tentunya lain lagi dengan pertanyaan, bagaimana  dengan harta karun, harta  peninggalan Sang Kolonial Inggris dan Belanda yang di dapat dari petunjuk dukun atau peta-peta peningalan kuno, atau bahkan dari dugaan “logis’ yang ada? Katanya masih ada di bawah tempat peninggalan itu!

Pertanyaan ini tidak pernah ada yang menanyakan. Mungkin. Itu hal yang tidak penting dan sudah lampau. Bisa saja itu. Yang jelas, semua merupakan aksioma.

Penulis  hanya sedikit mengulas era 80-an, mulai di/terbakarnya Kampung Cina (Kampung Tionghoa), hingga bioskop bangunan Kolonial Inggris yang dinamakan ROYAL CINEMA,  ‘hancur’ ditahun 1982. Ini tempat bemain Tonil para elite Belanda dahulu, rata dan digantikan dengan Pasar Brokoto saat ini. Di era yang sama, dirubahnya sisi pintu pintu monumen Kuburan Bulek atau Thomas Parr, termasuk tak diketahui lagi plat ataupun ornamen yang ada di dalam Tugu Inggris tersebut. Beberapa sumber menyebutkan, renovasi dengan merubah bentuk situs sejarah itu terjadi di tahun 70-an.  

Tidak hanya itu saja, monumen ini nyaris rusak. Pembangunan terowongan bawah tanah yang kini terabaikan, pengaliannya sudah masuk radius monumen. Ini terjadi di era Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamuddin yang mencoba membuat jalan terowongan bawah tanah, melingkari tugu bersejarah itu. Akhirnya proyek itu gagal. Tapi radius situs bersejarah itu tersentuh, anak tangganya yang dulu ada enam, kini hilang satu.

Penghancuran    
Pemimpin terus bergonta ganti. Gedung Bola yang disebut oleh masyarakat  Gedung Nasional atau terakhir disebut masyarakat generasi baru dengan sebutan Kantor CPM, kini luluhlantak dirubah menjadi taman yang tak tahu sebera manfaatnya bagi negeri ini.

Landraad atau pengadilan saat era kolonial Belanda, kini bukan lagi milik Provinsi Bengkulu, namun milik Depkumham RI. Meskipun sempat digugat dan kalah, hingga kini peninggalan bersejarah itu enggan di usahakan kembali, tentunya dengan lobi semisalnya tukar guling.

Ini baru bicara peninggalan yang ada di kota Bengkulu, belum lagi yang ada di kabupaten Provinsi Bengkulu. Kantor Pos pertama di Bengkulu, bangunan bersejarah peninggalan Inggris, kini juga diabaikan.  Belum lagi bangunan rumah sisa kolonial yang dibiarkan lama rusak dan hancur di sekitaran eks Lapas Malabero.Ditahun 2016 ini, terbakarnya eks Lapas Malabero yang di ubah fungsinya menjadi Rutan, akibat kerusuhan para penghuni Rutan. Padahal di tahun 30-an, ini merupakan penjara terngeri, dengan orang-orang rantainya. Penghuninya merupakan orang buangan, penjahat dari daerah lain diluar Bengkulu. Ini sekelumit kecil dari yang ada di Kota Bengkulu, terlepas apa yang bersejarah itu masih di bawah Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi.

Pupus harapan anak negeripun, takkan membuat bergeming pengurus Negeri Bengkulu ini. Letih bercampur gerampun juga percuma. Lihatlah, Tugu Kemerdekaan yang ada di Simpang Bubungan Tiga, sebelah Bank Indonesia dihancurkan, padahal  buatan generasi anak negeri terdahulu, sebelum Provinsi Bengkulu ini ada, hancur di Tahun 1992, walaupun ditengah tugu itu kini masih utuh.

Tak Berguna
Mungkin semua yang bersejarah itu tidak berguna, dan tidak ada artinya sisi peninggalan sejarah dan budaya. Meskipun konon  bisa menjadi sumber ilmu pengetahuan para generasi penerus, sebagai landasan membangun kedepannya.

Jadi, kini masyarakat yang ada di provinsi  atau di luar provinsi Bengkulu, jangan banyak berharap ingin tahu banyak rumah atau gedung tuo sisa Kolonial Inggris dan Belanda yang pernah ada. Gedung  daerah yang kini dipakai Gubernur Bengkulu bernama asli  MOUNT FELIX  itu, ditengahnya merupakan rumah tua Gubernur Jenderal Inggris, persis di beranda gedung saat ini. 

Situs Fort York yang sempat ditemukan di daerah bukit Pasar Bengkulupun kini tak diurus, diatas rumah penduduk dan sekolah dasat. Belum lagi bila melihat areal Keburan Belanda kata masyarakat Bengkulu, Kuburan Inggris yang kini wilayahnya mulai mengecil dan tak terawat.

Seorang teman sempat bertanya pada penulis, “Terus mau apa dan harus bagaimana? Soal peninggalan yang lain seperti Benteng Marlborough bagimana?” Sumringah adalah jawaban yang harus di ekspresikan.

(Pemerhati Sejarah dan Budaya Bengkulu)

NID Old
4484