Belajar Merangkai Luka

Elfahmi Lubis

Indonesia merupakan satu negara yang diberikan mukjizat oleh Tuhan, yaitu kemajemukan. Dengan matra kemajemukannya itu membuat bangsa ini menjadi unik dalam mengorganisasikan perbedaan dalam masyarakatnya. Secara historis, Indonesia mengalami pasang surut dalam mengelola kemajemukan, konflik dan akomodasi selalu berada dalam satu nafas pergulatan.

Primordialisme dan sektarianisme masih menjadi ancaman terbesar bangsa in. Kondisi semakin parah  ketika isu ini berkelindan dengan kepentingan politik lokal, nasional maupun internasional. Pecahnya, konflik SARA diberbagai daerah selama ini lebih banyak dipicu oleh permainan para elit politik, yang menjadikan kemajemukan sebagai kayu bakar untuk mencapai kepentingan.

Kasus Poso, Sambas, Pasuruan, dan Sampit di masa lalu merupakan bukti bagiamana konflik identitas dibenturkan dengan kepentingan politik elit lokal dan nasional. Terakhir, mencapai klimaksnya adalah kerusuhan sosial 1998 yang mendapat momentum bersamaan dengan peristiwa politik reformasi. Isu rasial terhadap saudara kita etnis Tionghoa, telah membuat luka terdalam dalam sejarah kita berbangsa. Isu perkosaan terhadap etnis tertentu beserta properti nya menyisihkan trauma memilukan dalam kita merajut tenun kebangsaan.  

Mulan Bilqis (Twitter, 23/05/20), mengungkapkan bahwa masalah terbesar bagi demokrasi seringkali ditentukan oleh bagaimana  cara suatu negara mengelola kehidupan beragama secara adil, equal, dan tidak diskriminatif. Kehidupan beragama seringkali mengalami ketegangan.

Tidak saja dipicu oleh alasan perbedaan keyakinan teologis, tetapi yg paling sering karena alasan politik. Agama dalam hal ini seringkali dijadikan alat pergulatan politik. Indonesia dg tingkat pluralisme tinggi, hubungan antar agama dan suku sering melahirkan konflik.

 Konflik yg sering didasarkan pada hubungan mayoritas-minoritas. Dimana politik diskriminatif sering berlaku. Politik DISKRIMINATIF biasanya terjadi ketika KEBIJAKAN DEMOKRASI tdk terwujud. Sekelompok orang yg merasa mayoritas menghakimi kelompok minoritas sudah menjadi hal yang biasa.

Kaum minoritas sering menjadi korban anarkisme mayoritas. Di Indonesia sebenarnya ada mekanisme toleransi agama yg diatur dalam Trilogi Kerukunan.  

Namun dalam praktiknya tidak efektif karena esensi kerukunan tidak dihayati secara jujur di atas logika kemanusiaan universal.

Konsistensi kebijakan sebagai regulator seringkali atas nama politik mendiskriminasikan kelompok-kelompok minoritas di atas kepentingan mayoritas. Sejarah mencatat, karena kemajemukan ini para founding father menyadarinya dengan merumuskan slogan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai perekat persatuan dan kesatuan. Hubungan antar umat beragama dibangun secara semu di atas politik pluralisme yg semu pula.

Dalam suasana lagi semangat-semangatnya membangun kehidupan berdemokrasi, peran negara dan masyarakat mayoritas sebaiknya diposisikan secara PAS dalam kerangka kehidupan berkeadilan.

Jangan malah aji mumpung. Tindakan ofensif dan main hakim sendiri meski mengatasnamakan apapun jika berindikasi melawan konsensus hukum dan azas musyawarah seharusnya bisa segera disudahi. Hemat saya, membangun logika demokrasi sebaiknya dibangun di atas nilai-nilai kemanusiaan universal.

 Maka transpormasi teks-teks klasik normatif perlu dilakukan dengan menggali ulang makna kemanusiaan, kesetaraan, dan solidaritas sejati sesama manusia. Akhirnya logika demokrasi menghendaki terciptanya tatanan kehidupan yg egaliter, berkeadilan, seimbang di atas payung hukum dan politik plural yang jujur.

Sayangnya kata-kata indah ini sekarang seperti telah diperkosa oleh kepentingan politik.

---------------------------------------------------------------

Oleh: Elfahmi Lubis, Dosen UMB