Implementasi Tujuan Konstitusi

Panora Lebri

Oleh: Panora Lebri, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (NPM : B1A018157)

Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State menyatakan bahwasanya Konstitusi diartikan sebagai dasar dari tata hukum nasional, atau dengan kata lain Konstitusi sebagai landasan dalam menyusun peraturan dibawahnya.

Di Indonesia sendiri kontitusi yang dianut sebagai dasar tata hukum nasional  adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai bentuk aturan tertingi dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagaimana diatur dalam  ketentuan pasal 7 ayat  1 UU No.  12 tahun 2011 JO UU No.  15 tahun 2019 tentang  Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Sebagai bentuk  aturan dasar yang berlaku disuatu Negara, Konstitusi  mengatur mengenai tujuan dalam pelaksanaan kehidupan  berbangsa dan bernegara. Cita mulia dari kontitusi merupakan sebuah amanah yang harus dilaksanakan oleh Penyelengara Negara  dan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Dalam rangka  mengawal pelaksanaan kontitusi sebagai bentuk check and balance dalam pelaksanaan cabang kekuasaan Negara  untuk itu dibentuklah mahkamah konstitusi sebagai the  guardian of the constitution.

Mahkamah konstitusi sebagai anak kandung dari amandemen ke-III UUD NRI 1945 dibentuk pada tangal 18 agustus 2003  dengan tugas dan wewenag khusus sebagaimana yang diamanahkan dalam UUD NRI 1945 pasal 24C yakni “ Mahkamah Konsitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang pututsanya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar , menguji sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangan nya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik , serta memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Jika kita tilik kembali salah satu wewenang dari Mahkamah Konstitusi  untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, jikalau terdapat  produk undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, tidak mempunyai kekuatan hukum, bertentangan dengan norma pembentukan peraturan-perundang-undangan, dan atau tidak pro terhadap kepentingan rakyat.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk itu ialah melakukan judicial rewiew melalui mekanisme uji materil dan uji formil terhadap produk hukum yang diangap  bertentangan dengan konstitusi. Menurut Sri Soemantri, uji formil merupakan pengujian Undang-Undang untuk menilai apakah produk legislatif apakah sudah cara-cara (procedure) pembentukan Undang-Undang sudah sesuai dengan apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Sedangkan menurut Harun Alrasid, uji materil merupakan pengujian undang-undang mengenai isi dari undang-undang bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UUD NRI tahun 1945.
Pengujian undang-undang yang dilakukan dalam satu peradilan, yang lazim disebut dengan judicial review, yang diawali dengan sebuah permohonan, akan berakhir dalam satu putusan, yang merupakan pendapat tertulis Hakim Konstitusi tentang perselisihan penafsiran satu norma atau prinsip yang ada dalam UUD yang dikonkretisir dalam ketentuan undang-undang sebagai pelaksanaan tujuan bernegara yang diperintahkan konstitusi. Satu amar putusan yang mengabulkan satupermohonan pengujian, akan menyatakan satu pasal, ayat atau bagian dari undang-undang, dan bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD NRI 1945, yang kemudian sebagai konsekuensinya undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Dengan kewenangan judicial review, sesungguhnya telah turut menjadi policy maker melalui pengujian dan tafsir yang digunakan MK untuk penyelesaian perselisihan yang dihadapkan padanya. Hal demikian merupakan sesuatu yang dipandang paradoksal. Di satu sisi sistem politik dan pemerintahan didasarkan pada demokrasi, akan tetapi Hakim-hakim yang tidak dipilih secara demokratis-setidak-tidaknyasebagian dari mereka dapat membatalkan produk undang-undang, yang dibuat oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih rakyat secara langsung. 

Hakim yang merupakan pejabat publik yang tidak dipilih oleh rakyat secara langsung tersebut telah menilai dan menguji produk dari wakil-wakil rakyat. Dengan kata lain mereka menguji output proses perumusan kebijakan yang demokratis, dari segi tugasnya untuk menjamin bahwa hukum tertinggi dipatuhi dengan setia oleh pembuat undang-undang, apakah perbuatannya konstitusional atau tidak.

Kalau kita berbicara mengenai judicial review khususnya  uji formil dan uji materil maka pandangan publik akan terarah pada upaya Pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI tahun 1945  yang saat ini tengah diajukan ke Mahkamah Kontitusi  berkenaan dengan pengujian  produk hukum Omnibus Law yaitu UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang pada saat ini sudah ada beberapa permohonan yang telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Pengesahan ini pun cukup menyita perhatian publik pasalnya produk hukum ini sejak awal pembentukanya telah mendapat  penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, karena dianggap tidak pro rakyat dan cacat secara material dan procedural. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dapat dikatakan cacat secara procedural.

Namun UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja tetap saja disahkan dengan dalih untuk mengenjot iklim investasi dan juga pengembangan UMKM. Publik pun seakan pesimis dengan putusan yang akan dijatuhkan Mahkamah Konstitusi nantinya. Dikarenakan, jika kita tilik kembali dari beberapa pengujian produk hukum ke Mahkamah Konstitusi  khususnya berkenaan dengan uji formil yang diajukan ke mahkamah konstitusi tidak pernah ada satu pun permohonan yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sampai saat ini.

Diharapkan dengan adanya permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi mengenai UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi dapat mengimplementasikan tujuannya dalam mengawal pelaksanaan Konstitusi di Indonesia dengan seadil-adilnya.