Ikatan Perjodohan Refleksi Pendidikan dengan Industrialisasi Korporasi

Inas Zhafira

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim sedang menggaungkan kerja sama dunia industri dengan dunia pendidikan di Tanah Air yang diibaratkan dengan pernikahan massal. Nadiem Makarim pun memberikan pencerahan yang dimaksud dengan pernikahan massal dalam konteks tersebut, yaitu kerjasama konkrit antara kedua belah pihak vokasi dan industri.

“Menurut saya, itu (nama program) yang paling cocok, karena yang saya lihat selama ini tuh, mungkin cuma kencan (kerjasama sementara), PDKT saja, formalitas saja tapi belum ada yang belum benar menikah (kerjasama secara berkelanjutan),” ujarnya melalui webinar, Sabtu (27/6).

Kenapa memilih program bernama pernikahan, selain mudah diingat, alasannya adalah analogi dari pernikahan merupakan sebuah komitmen untuk menjalani hidup bersama. Di mana, dalam realitanya adalah bermaksud untuk membangun kerjasama antara vokasi dan industri.

Dikatakan juga bahwa dibalik ikatan perjodohan itu tentu akan bermuara pada tujuan dalam meraih keuntungan. "Esensi daripada program ini sebenarnya ya paling diuntungkan ya mereka, adalah industri tentunya. Karena sekarang saja cost yang para industri ini harus membayar untuk melatih staf-staf mereka, untuk mendapatkan talenta-talenta banyak sekali yang mesti diimpor, perlu dari luar kota, dari tempat lain dan itu perlu mengeluarkan banyak cost," ucap Nadiem dalam sesi diskusi daring bersama Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud, Wikan Sakarinto pada Sabtu (27/6).

Mendikbud juga mengatakan bahwa industri mesti melihat SMK-SMK ataupun vokasi sebagai lembaga pelatihan para pekerjanya. Keuntungan lainnya juga bahwa lulusan dari SMK maupun vokasi memiliki harga yang kompetitif sehingga industri tak dibebani dengan biaya yang besar untuk merekrut dan mempekerjakan mereka. "Karena masih mudah belum prakarir ya," ucapnya.

Selain maraknya berita ta’aruf berujung kepada pernikahan dua sejoli para artis yang katanya tanpada didahului pacaran juga disindir perihal menjaga jodoh orang lain lantaran ikatan pacaran ternyata tidak menjamin sang kekasih bakal menemani di pelaminan yang menghiasi tagar trending twitter beberapa waktu lalu, maka perjodohan dari pernyataan mendikbud mestilah menjadi pusat perhatian juga oleh kawula muda. Karena hal itu bermuara kepada ranah arah kebijakan dunia pendidikan saat ini. 

Dilansir dari antaranews.com, Wikan Sakarinto selaku Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud menyatakan bahwa sedang menyusun indikator kinerja utama (IKU) untuk mengevaluasi program perjodohan massal antara pendidikan vokasi dan dunia industri saat sedang melakukan video konferensi di Jakarta, pada Jumat (10/7/2020).

Dia menambahkan bahwa IKU tersebut merupakan basis kontrak kinerja pada tahap awal akan diterapkan pada politeknik negeri dan disusul oleh pendidikan vokasi milik swasta. Dipaparkan juga bahwa ada delapan indikator yang akan ada dalam IKU tersebut salah satu diantaranya ialah serapan industri atau wirausaha minimal 80 persen dari lulusan, implementasi magang Kampus Merdeka, prestasi mahasiswa, aktivitas dosen, 50 persen prodi berkolaborasi dengan industri, dan 70 persen mata kuliah menerapkan pembelajaran berbasis proyek. 

Tentu hal di atas mewarnai arah kurikulum yang akan dirancang demi memenuhi program sertifikasi yang berorientasi peningkatan kualitas mahasiswa agar mudah terserap oleh industri. Sehingga peranan Lembaga Sertifikasi  Profesi (LSP) hendaknya terlibat dalam perancangan kurikulum pendidikan vokasi jelas Wikan. 

Berdasarkan fakta data yang telah dijabarkan, terdapat arah komersialisasi pendidikan dalam penggalakkan perjodohan dunia industri dengan pendidikan yang sejatinya bukan baru-baru ini saja tapi juga sudah jauh sebelum ini. Kendatipun untuk menyelesaikan problematika pengangguran yang terus melonjak angkanya tetapi hanya bernilai muatan unsur keuntungan semata. Dalam globalisasi kapitalisme memanglah mengharuskan negara mengadopsi sistem ekonomi liberal dengan slogan perdagangan bebasnya. Lalu, adanya privatisasi pada sektor publik yakni seperti sumber daya alam yang dikuasai oleh asing bahkan disahkan oleh badan hukum perundangannya. 

Arus pendidikan yang menggambarkan sebagai industri tersier telah dipelopori oleh WTO – organisasi perdangangan dunia – dengan menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier melalui General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdangangan pada 12 sektor jasa dan salah satu diantaranya ialah sektor pendidikan. Penggunaan kata perjodohan bermaksud pada link and match yang terpatri dalam konsep kapitalisme ialah berpandangan bahwa ilmu sebagai faktor produksi dan negara berfungsi sebagai regulator (Good Governance) yang menfasilitasi komersialisasi ilmu pengetahuan. 

Tentu peranan investasi asing akan sangat berpengaruh kuat selaku juga penyokong tegaknya perusahaan dalam bidang industri. Seperti yang dikutip dari beritasatu.com, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan sudah ada tujuh perusahaan asal Tiongkok yang sudah menyatakan bersedia berinvestasi di Indonesia.

“Saya senang, hari ini sudah ada yang masuk tujuh (perusahaan). Sudah pasti yang tujuh ini,” kata Jokowi saat meninjau Kawasan Industri Batang dan Relokasi Investasi Asing di Desa Ketanggan, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (30/6/2020).

Sementara itu, sudah ada 17 perusahaan yang sudah memiliki komitmen besar masuk berinvestasi di Indonesia. “Kemudian ada 17 perusahaan yang memiliki komitmen besar sudah masuk ke Indonesia, 60 persen hampir 100 persen. Ini juga terus saya sampaikan pada para menteri dan Kepala BKPM dilayani dan dikejar,” terang Jokowi.

Keberlimpahan kekayaan sumber daya alam (SDA) bukanlah rahasia lagi yang bahkan membuat negara-negara investor gemar menanamkan modalnya di Indonesia yang tentu semua itu akan berpengaruh pada beragam sektor dalam lini kehidupan. Alasan yang sering disampaikan bahwasanya untuk mendapatkan buah hasil dari SDA sering terkendala oleh pelaku pengolahannya yaitu pada sumber daya manusia (SDM) nya. Maka, sejak rezim dalam masa pemerintahan sebelum-sebelumnya pun sudah membuka peluang bagi para investor asing yang pada kemudian hari terus bercokol, Indonesia harus rela melihat kekayaan alamnya dinikmati oleh cengkeraman dunia. Apalagi saat harga komoditas dunia meningkat, membuat Indonesia semakin merana. Sebab, tidak bisa meraup maksimal hasil kekayaan alamnya. Maka wajar saja dibalik kekayaan SDA yang ada tetapi angka kemiskinan justru semakin meningkat terlebih lagi semasa pandemi covid-19 ini.
Lantas, benarkah solusi untuk menampung ketenagakerjaan justru dibuka jalannya melalui kerjasama pendidikan vokasi dengan industri ?

Seperti yang sudah dibahas, bahwa industri yang ada saat ini tidaklah jauh dari kontrol investor asing. Hal tersebut tentu sarat akan kepentingan. Dan jika kita lihat inti dari perjodohan tersebut bermuara kepada liberalisasi sektor pendidikan. Sehingga, arah kurikulum kebijakan mencetak manusia buruh yang berfokus pada materi. 

Sehingga, nilai derajat kemuliaan ilmu itu sendiri semakin terkikis karena tujuan yang batil. Bahkan fakta pun berbicara bagaimana rendahnya moral generasi muda dari hasil pendidikan saat ini sehingga muncullah problematika cabang lainnya seperti pelecehan seksual, kasus bunuh diri, pergaulan bebas, dan perbuatan amoral lainnya seperti kecurangan sejak dini dalam menjelang ujian yang melahirkan generasi tikus berdasi. 
Ini jelas sangat berbeda dengan pandangan Islam yang mendudukan ilmu dengan derajat yang tinggi.

Tujuan pendidikan dalam Islam sejatinya ialah mencetak generasi yang berkepribadian Islam. Sehingga tidak mendikotomikan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Yaitu menjadikan dunia sebagai jembatan menuju akhirat sesuai dengan koridor-Nya. Maka adab dan ilmu menjadi hal yang saling bergandengan dengan tidak menegasikan antara satu dengan yang lainnya. 

Mengutip dari hasil diskusi ustadzah Dr. Rini Syafitri selaku Doktor Biomedik dan pengamat kebijakan publik, jika kita sandarkan arah pendidikan pada prinsip yang sahih. Setidaknya ada tiga yang terpenting.

Pertama, mendudukan fungsi ilmu secara benar. Ilmu bukan komoditas dan faktor produksi, akan tetapi jiwa kehidupan. Ditegaskan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam melalui lisannya yang mulia, ”Perumpamaan  petunjuk dan ilmu yang Allah swt mengutusku karenanya seperti air hujan yang menyirami bumi, …”(Terjemahan hadist riwayat Imam Bukhari dari Abu Musa dari Rasulullah saw); “Diantara tanda-tanda (datangnya hari) kiamat adalah menghilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan” (Terjemahan hadist riwayat Imam Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Anas).

Kedua, fungsi negara yang sahih.  Yakni berfungsi sebagai “raa’in”, pengurus urusan rakyat. Negara adalah pihak yang bertanggung jawab sepenuh terhadap terwujudnya pendidikan vokasi berkualitas lagi gratis atau berbiaya murah.  Ditegaskan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, artinya “..Imam (Khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya” (HR Ahmad, Bukhari).

Ketiga, kurikulum khususnya keterampilan dan keahlian terapan berbasis hubungan yang erat terhadap fungsi negara sebagai raa’in (pemelihara urusan rakyat) dan junnah.  Hal ini meniscayakan dibutuhkannya sangat banyak tenaga terdidik terampil dalam berbagai bidang ilmu terapan.  Baik di bidang kesehatan, pendidikan, pertanian, energi, air bersih, transportasi dan perumahan.

Jadi, pendidikan menempatkan ilmu bukan komoditas dagangan dan juga bukan faktor produksi. Demikian pandangan Islam yang sahih. Konsep sahih Islam ini direpresentasikan pada fungsi pendidikan tinggi, termasuk pada pendidikan vokasi. 

Artinya, pendidikan vokasi dalam perspektif Islam adalah bertujuan tersedianya SDM yang terampil dan terdidik dalam berbagai bidang kemashlahatan publik. Jumlahnya tentu sangat besar karena negara yang berlandaskan Islam adalah entitas yang bertanggung jawab langsung dalam semua pengurusan hajat hidup publik tersebut dan tidak ketergantungan oleh investor asing yang bahkan sudah mengontrol arah kebijakan publik saat ini kearah penguasaan privatisasi SDA termasuk industri. Maka dalam peradaban kejayaan Islam arah pendidikan bukanlah sekadar konsep indah di atas kertas, tetapi telah teruji dalam realitas selama puluhan abad. Demikian tinta sejarah peradaban Islam mengukirnya.

*) Inas Zhafira, Mahasiswa Universitas Bengkulu