Hitam Putih Dampak Covid-19

Risna Karinda Mahasiswi semester 4 Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

 Oleh: Risna Karinda (Mahasiswi semester 4 Fakultas Hukum Universitas Bengkulu) 

Di Indonesia, telah terdapat beberapa regulasi yang relevan dipahami berkaitan dengan penyakit covid 19 ini ataupun penyakit menular lainnya. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular mengartikan wabah penyakit menular sebagai kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.

Dijelaskan dalam Undang-Undang ini tindakan penanggulangan wabah penyakit menular yaitu: penyelidikan epidemiologis; pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina; pencegahan dan pengebalan; pemusnahan penyebab penyakit; penanganan jenazah akibat wabah; penyuluhan kepada masyarakat; dan upaya penanggulangan lainnya. Penanggulangan penyakit menular dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Artinya, selain berupaya untuk menyelamatkan warganegaranya agar terhindar dari wabah penyakit menular, pemerintah tetap harus memperhatikan kelestaraian lingkungan hidup, demi masa depan yang tetap terjaga.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesahatan mengatur secara khusus penyakit menular dalam satu bab (Bab X). Kegiatan yang dapat dilakukan adalah promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative bagi individu atau masyarakat yang terjangkit. Disebutkan pula bahwa Pemerintah daerah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular atau menyebar dalam waktu singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan. Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit menular, pemerintah dapat menyatakan wilayah tertentu dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa.

Dalam menghadapi situasi mewabahnya penyakit COVID 19 saat ini, Pemerintah Indonesia membuat Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. Peraturan ini diberlakukan untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona atau COVID-19.

Dua peraturan pendukung kebijakan PSBB sudah diterbitkan yakni tentang Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Keputusan Presiden atau Keppres Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah, yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi. Pembatasan sosial berskala besar ditetapkan menteri. Tindakan pembatasan sosial berskala besar meliputi:

  • Peliburan sekolah dan tempat kerja;
  • Pembatasan kegiatan keagamaan;
  • Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Namun, bisa saja nantinya Indonesia akan melakukan Lockdown, mengingat Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina. Pasal 53, 54, dan 55 bicara tentang karantina wilayah atau yang disebut lockdown. Syaratnya, harus ada penyebaran penyakit di antara masyarakat sehingga harus dilakukan penutupan wilayah untuk menangani wabah tersebut. Wilayah tersebut diberi tanda karantina, dan dijaga aparat. Masyarakat tidak boleh keluar masuk wilayah yang dibatasi. Kebutuhan dasar mereka wajib dipenuhi pemerintah.
Seperti di negara-negara lain, Ketika pemerintah china memberlakukan lockdown di Wuhan, tempat di mana virus corona pertama kali ditemukan, sejak jam sepuluh pagi hari itu, semua transportasi publik, termasuk bus, kereta, penerbangan, hingga perjalanan kapal feri ditangguhkan. Keesokan harinya, arus lalu lintas dari 12 daerah lain yang terhubung langsung dengan Wuhan juga ditutup. Penutupan tersebut membuat lebih dari 50 juta orang terkunci Wuhan.

Italia, yang penularan virus coronanya tinggi, kemudian melakukan hal yang sama. Awalnya, lockdown hanya berlaku di utara Italia, namun pada 9 Maret 2020 diperluas sampai ke seluruh penjuru negara. Italia menutup semua perbatasan dan mengimbau warganya agar tak meninggalkan rumah. Selain itu, pemerintah juga memerintahkan warganya untuk menjaga jarak setidaknya satu meter dari orang lain. Bar dan restoran harus tutup jam enam sore. Warga hanya bisa memesan makanan untuk dibawa pulang, tidak boleh berkumpul di tempat umum. Yang melanggar aturan ini akan didenda atau dihukum penjara hingga 3 bulan. Militer pun dikerahkan untuk memastikan aturan ini dipatuhi.

Regulasi-regulasi seperti ini tentunya yang membuat masyarakat mulai terisolasi sehingga melakukan berbagai kegiatan di rumah.

Meskipun memiliki berbagai kerugian berbahaya yang mengancam, nyatanya mewabahnya penyakit COVID 19 ini juga memiliki sisi positif, terutama bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan, bagi diri seseorang akan timbul kesadaran diri akan kebersihan lingkungan sekitar. Artinya, dengan adanya wabah virus corona masyarakat akan menyadari bahwa lingkungan yang bersih akan meminimalkan potensi virus untuk berkembang. Aktivitas seperti membersihkan rumah, buang sampah, cuci tangan dan kebersihan tubuh juga mulai sering digerakan. 
Begitupun secara global, Virus corona pandemi global COVID-19 yang melanda segelintir negara di dunia secara tidak langsung telah berdampak besar bagi sejumlah aspek. Mulai dari lingkungan ekonomi, sosial, hingga mempengaruhi kondisi alam.

Dalam hitungan bulan, COVID 19 telah mengubah cara hidup dan kondisi masyarakat dunia. Physical distancing yang mengharuskan seseorang berdiam diri di rumah ternyata banyak berpengaruh terhadap kondisi alam. Aktivitas ekonomi dan transportasi yang dibatasi juga turut berdampak pada lingkungan. Kegiatan tersebut telah menyebabkan penurunan emisi karbon secara tiba-tiba.

Dibandingkan dengan tahun lalu, tingkat polusi di New York telah berkurang hampir 50% karena langkah-langkah yang dilakukan untuk menekan penyebaran virus. Di China, emisi turun 25% pada awal tahun karena orang diperintahkan untuk tinggal di rumah dan banyak pabrik yang tutup. Penggunaan batu bara di negara ini juga turun 40% pada enam pembangkit listrik terbesar China sejak kuartal terakhir di 2019.

Hal ini menyebabkan udara di China telah naik sebesar 11,4% dibandingkan dengan waktu yang sama di tahun lalu. Di Eropa, gambar satelit menunjukkan emisi nitrogen dioksida (NO2) memudar di Italia utara. Hal ini juga terjadi di Spanyol dan Inggris.

Penurunan gas emisi karbon ini adalah turut dipengaruhi oleh menurunnya laju transportasi.  Langkah untuk menekan penyebaran virus seperti physical distancing dan memotong perjalanan yang tidak perlu telah menurunkan kontribusi gas emisi di dunia. Di mana transportasi telah berkontribusi sebesar 72% pada emisi gas rumah kaca.
 Pun secara global di dunia Internasional, kerugian-kerugian yang dialami akibat wabah penyakit COVID 19 ini juga tampak bertolak belakang dengan isu lingkungan yaitu perubahan iklim dan dampak pemanasan global. Jika Virus Corona sudah dinyatakan sebagai pandemik oleh WHO, maka perubahan iklim pun derajat isunya seharusnya setingkat dengan penyebaran Corona.

Disadari ataupun tanpa disadari, dampak perubahan iklim bakal berpengaruh bagi kehidupan seluruh umat manusia di bumi. Padahal dampak perubahan iklim merupakan ancaman bagi kemanusiaan yang sama-sama memiliki daya bunuh dengan Virus Corona, bahkan mungkin lebih.

Sebelum terjadinya wabah Corona, rezim perubahan iklim (para pihak yang terlibat dalam KTT Perubahan Iklim) hanya disibukkan dengan isu 'yang itu-itu saja, yaitu tanggung jawab untuk mengurangi emisi karbon. Bahkan, tampak kesan kesenjangan kepentingan ekonomi antara negara-negara berekonomi maju dengan negara miskin dan berkembang, menyebabkan KTT Perubahan Iklim hanya menjadi sekedar seremonial tahunan dan retorika belaka.

Akhir tahun 2019 dengan munculnya COVID 19 ini semestinya menjadi tonggak para pihak dalam rezim perubahan iklim maupun pemimpin dunia untuk menyadari bagaimana panasnya bumi saat ini. Para pemimpin dunia maupun elit politik global hingga elit politik lokal masih terjebak pada populisme yang menunjukkan wajah asli untuk menyelamatkan kepentingannya.

Di sisi lain, kaum tidak berpunya hanya bergantung pada sumber daya alam dan tidak paham perubahan iklim. Tetapi mereka menjadi pihak yang paling merasakan dan paling menderita akibat perubahan iklim, akibat variabilits iklim yang menunjukkan anomali.

Padahal berdasarkan data NOAA (The National Oceanic and Atmospheric Administration) tahun 2019 merupakan tahun kedua yang terpanas setelah tahun 2015. Suhu bumi mencapai 2,07 derajat Farenheit atau mengalami kenaikan 1,15 derajat Celcius. Hal tersebut menunjukkan kondisi bumi memasuki masa kritis karena kenaikan suhu bumi mencapai 2 derajat Celcius akan menyebabkan kekeringan ekstrem dan kenaikan permukaan laut.
Kekeringan ekstrem akan menyebabkan petani subsisten dan peladang tradisional yang akan mengalami penderitaan terlebih dahulu. Kenaikan permukaan laut pun menyebabkan nelayan dan masyarakat pesisir terancam kehidupannya.

Upaya bersama untuk menjaga agar suhu bumi tidak meningkat hingga 2 derajat Celcius, gagal menjadi kesepakatan dalam KTT Perubahan Iklim. Kegagalan hasil dari KTT Perubahan Iklim adalah indikasi dari bagaimana lemahnya komitmen para pemimpin dunia. Hal tersebut diperburuk dengan perilaku masyarakat global yang tidak ramah lingkungan.

Kerusakan ekosistem dipercepat dengan laju pertumbuhan ekonomi dan kebijakan yang memudahkan kepentingan ekonomi politik untuk merambah dan melakukan eksploitasi lingkungan hidup.

Lingkungan hidup menjadi komoditas yang bisa dipertukarkan untuk pemuasan kepentingan yang bersifat materialistis. Maka, laju konsumerisme semakin tidak terkendali. Konsumerisme membutuhkan pemuasan kebutuhan melalui gambaran gaya hidup yang pada akhirnya menghasilkan lautan sampah yang sulit untuk diurai. Maka, struktur yang demikian memberikan keleluasaan bagi korporasi dan elit politik korup untuk melakukan transaksi. Berikutnya, masyarakat yang mengedepankan konsumerisme sebagai gaya hidup semakin abai dengan realita kerusakan lingkungan hidup. Berbagai kerusakan lingkungan yang bersumber dari pengambilan kebijakan, tata kelola hingga budaya konsumerisme menutupi narasi bahwa bumi saat ini sedang sakit.

Virus Corona muncul di saat bumi sedang sakit ataupun perubahan iklim terjadi semakin ekstrem. Solusi untuk mengurangi laju perubahan iklim belum optimal dan kemudian ditambah dengan permasalahan lainnya yang membutuhkan daya dukung ekologis dan sosial.

Di Eropa, pemerintah masing-masing telah mengambil kebijakan mengkarantina wilayahnya demi memutus laju perkembangan wabah COVID 19, salah satu caranya dengan membatasi transportasi jalan, yang merupakan sumber terbesar nitrogen oksida, dan memperlambat produksi di pabrik-pabrik yang mengeluarkan limbah gas.
Hal ini menyebabkan perubahan kepadatan nitrogen dioksida, yang notabene dapat menyebabkan masalah pernapasan dan kanker. Artinya, orang-orang yang tinggal di kota-kota berpolusi lebih berisiko terjangkit Covid-19, karena paparan udara buruk yang berkepanjangan dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh sehingga membuat orang lebih sulit untuk melawan infeksi.

Berdasarkan studi, jumlah kematian dan hilangnya harapan hidup dari polusi udara menyaingi efek dari merokok tembakau dan jauh lebih tinggi daripada penyebab kematian lainnya, bahkan polusi udara melebihi malaria sebagai penyebab global kematian dini dengan faktor 19. Angka tersebut melebihi kekerasan dengan faktor 16, HIV/AIDS dengan faktor 9, alkohol dengan faktor 45, dan penyalahgunaan narkoba oleh faktor 60. Artinya, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya polusi udara benar-benar dapat membunuh.

Polusi udara ini benar-benar harus ditekan, khususnya nitrogen dioksida gas yang sebagian besar dikeluarkan oleh mobil, truk dan beberapa industri. Maka demikian, angka-angka yang menunjukkan pandemi virus corona sebagai bencana kesehatan global ini adalah kesempatan untuk menilai, aspek mana dari kehidupan modern yang mutlak diperlukan. Selain itu, perubahan positif apa yang mungkin terjadi jika kita mengubah kebiasaan dalam skala global setelah besarnya dampak pandemi virus corona yang akibatkan Covid-19.

Lingkungan hidup sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh umat manusia yang terhingga nilainya, sehingga lingkungan hidup harus dijaga kelestariannya agar dapat menunjang kelangsungan hidup itu sendiri.
Mewabahnya penyakit mematikan Covid 19 tentunya juga memiliki dampak terhadap lingkungan, terkhusus apabila ditinjau dari hukum lingkungan. Di Indonesia, segala hal yang berkaitan erat dengan lingkungan hidup diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dikatakan bahwa Negara memiliki tanggungjawab menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, karena lingkungan hidup yang baik dan sehat dapat memungkinkan manusia berkembang secara optimal, selaras, serasi, dan seimbang. Sebab setiap manusia pada dasarnya berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidupnya. Sebagaimana, tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Maka dengan mewabahnya penyakit Covid 19 ini negara seharusnya bertindak tegas menghadapi pandemik penyakit global ini. Hal itu terlihat dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa penanggulangan wabah penyakit menular dengan melakukan kegiatan seperti promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative bagi individu atau masyarakat yang terjangkit. Pemerintah daerah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular atau menyebar dalam waktu singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.

Pemerintah Indonesia membuat Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. Peraturan ini diberlakukan untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona atau COVID-19. Tindakan pembatasan sosial berskala besar meliputi:

  • Peliburan sekolah dan tempat kerja;
  • Pembatasan kegiatan keagamaan;
  • Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Begitu pula di negara-negara lain, Ketika Pemerintah China memberlakukan lockdown di Wuhan, sejak jam sepuluh pagi hari, semua transportasi publik, termasuk bus, kereta, penerbangan, hingga perjalanan kapal feri ditangguhkan. Arus lalu lintas dari 12 daerah lain yang terhubung langsung dengan Wuhan juga ditutup.

Italia, juga melakukan hal yang sama. Italia menutup semua perbatasan dan mengimbau warganya agar tak meninggalkan rumah. Selain itu, Pemerintah Italia juga memerintahkan warganya untuk menjaga jarak setidaknya satu meter dari orang lain. Bar dan restoran harus tutup jam enam sore. Warga hanya bisa memesan makanan untuk dibawa pulang, tidak boleh berkumpul di tempat umum. Yang melanggar aturan ini akan didenda atau dihukum penjara hingga 3 bulan.

Negara juga bertanggungjawab mencegah dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Dalam hal ini tentunya dengan adanya pembatasan sosial berskala besar atau yang sering disebut karantina masyarakat, pencemaran ataupun kerusakan lingkungan hidup senyatanya berkurang, polusi udara menurun drastis akibat asap kendaraan transportasi maupun limbah pabrik, termasuk terhadap pencemaran sungai-sungai sehingga mengakibatkan ikan-ikan ataupun makhluk hidup lain di sungai lebih terjaga, makhluk hidup darat dan udara juga lebih bebas karena berkurangnya gangguan dari tindakan manusia.

Disisi lain, masyarakat juga memikul kewajiban dan tanggung jawab akan kelestarian dan keberlanjutan terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

Sehingga, perlu adanya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai dampak lingkungan hidup yang dalam hal ini dapat meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup.

Namun, perlu diperhatikan bahwa pemerintah dalam keikutsertaan perlindungan dan pengelolaaan lingkungan hidup, ketentuan-ketentuan yang dilaksanakan oleh pemerintah, meliputi:

  1. Mengatur dan mengembangkan kebijakan dalam rangka pengelolaaan lingkungan hidup.
  2. Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan kembali sumber daya alam termasuk sumber daya alam genetika.
  3. Mengatur sistem dan hubungan hukum antara perseorangan dan atau subyek hukum lainnya. Serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya genetika.
  4. Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial.
  5. Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.