Hari Pahlawan: Aksi-aksi Rakyat Surabaya Sepanjang Bulan Oktober

Insiden penurunan bendera Belanda di Hotel Yamato Surabaya. (Foto: Wikipedia)

Fatwa jihad fi Sabilillah NU dan Resolusi Jihad NU lahir tidak dari ruang kosong. Keduanya lahir dari respons para kiai NU terhadap keadaan bangsanya yang membutuhkan cantolan kekuatan semangat lahir dan batin untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang dua bulan sebelumnya diproklamasikan Soekarno dan Hatta. Pertama, merebut Gedung Kenpetei.

Pada awal bulan Oktober, rakyat Surabaya mendengar akan datang tentara Sekutu ke kotanya. Mereka tahu, di dalamnya ada tentara Belanda yang ingin kembali menjajah. Karena itulah rakyat membuat serangkaian aksi untuk menggagalkannya. Agus Sunyoto pada buku Fatwa dan Resolusi Jihad: Sejarah Perang Semesta di Surabaya 10 November 1945 mengatakan, tepat pada 1 Oktober 1945 rakyat Surabaya mengepung markas Kenpetei yang berada tepat di depan gedung Gubernur.

Mereka yang mengepung berasal dari kampung-kampung padat penduduk seperti Kawatan, Maspati, Dupak, Kandangsapi, tembok, Bubutan, Kapatihann, Paneleh, Plampitan, Pandean, Grogol, Polak, Ngemplak, Sulung, Bibis, Semut, Jagalan, Pengampon, Kranggan, Blauran, Praban, Kebangsren, Genteng, Krembangan, dan Kemayoran. Menurut Agus Sunyoto, markas tersebut sebelumnya adalah Pengadilan Tinggi, lambang kekuasaan daan kewibawaan penjajah Belanda. Kemudian pada masa Jepang, beralih fungsi  menjadi tempat penyiksaan para pejuang Indonesia. Dalam usaha mengusai gedung tersebut, BKR dan Polisi Istimewa menjadi negisiator utama dengan tentara Jepang.

Karena negosiasi mengalami  kegagalan maka, merebut secara paksa dengan menyerang secara serentak siap-siap dijalankan. BKR dan Polisi Istimewa menyusun taktik penyerangan dengan dengan memutus aliran listrik, air minum, dan semua akses ke gedung tersebut.

Pada tanggal 3 Oktober, gedung tersebut dapat dikuasai rakyat Surabaya. Bendera Jepang diturunkan dan diganti dengan merah putih di Hotel Yamato Surabaya. Dalam aksi perebutan tersebut, gugur 24 orang. Mereka dimakamkan di Taman Bahagia Koesoema Bangsa Surabaya. Kedua, merebut Maskar Besar Kaigun.

Pada tanggal 2 Oktober, ketika sebagian masyarakat Surabaya mengepung Gedung Kenptei, pada saat yang sama, Markas Kaigun di Embong Wungu juga dikepung rakyat yang terdiri dari para pemuda dari kampung-kampung sekitar yaitu Kaliasin, Pregolan, Kedondong, Surabayan, Kedungturi, Genteng, Keputran, Lemah Putro, Kebangsren, Gubeng.  

Para pemuda itu melakukan pengepungan dipimpin kesatuan-kesatuan BKR, Polisi Istimewa, Hizbullah, PRI, BKR-Pelajar, API, BBI. Gedung tesebut dapat dikuasai rakyat Surabaya pada hari itu. Kemudian keesokan harinya secara resmi, Laksamana Muda Yaichiro Shibata atas nama Kaigun Saiko Sikikan menyerahkan pangkalan Angkatan Laut kepada Residen Soedirman atas nama Gubernur Jawa Timur.  

Dengan demikian, Pangkalan Ujung dan Tanjung Perak beserta meriam-meriam pantai sepanjang panta Surabaya-Gresik-Sedayu beserta kapal-kapal perang yang berlabuh di Ujung dan Tanjung Perak dimiliki rakyat Surabaya.

Sebagaimana diketahui, para kiai Nahdlatul Ulama mencetuskan Fatwa Jihad fi Sabilillah dan Resolusi Jihad fi Sabilillah pada tanggal 22 Oktober 1945.

Keduanya merupakan upaya para kiai mendukung secara lahir batin kepada perjuangan rakyat Surabaya untuk mempertahakan kemerdekaan.

Sebab pada waktu itu, bibit-bibit penjajah Belanda ingin menguasai Indonesia kembali terlihat. Kali ini menyusup melalui tentara Sekutu.   Pada tanggal 26 Oktober 1945, terjadi kontak senjata antra rakyat Surabaya dengan Sekutu. Menurut KH Agus Sunyoto pada buku Fatwa dan Resolusi Jihad; Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya 10 November 1945, hal itu terjadi karena Sekutu melanggar kesepatan antara mereka dengan perwakilan rakyat Surabaya.   

Sebelumnya, perwakilan kedua belah pihak bertemu. Pihak Republik Indonesia diwakil Wakil Gubernur Surabaya Soedirman, Doel Arnowo, Walikota Radjiman Nasution, dan wakil dari Mustopo, Jenderal Mayor Mohammad. Sementara dari pihak Sekutu adalah A.W.S. Mallaby dan stafnya. Hasil perundingan itu adalah pasukan Brigade 49 boleh menggunakan beberapa bangunan di dalam kota.  Selain itu, ada tiga poin yang dihasilkan pertemuan tersebut. Pertama, pasukan Sekutu akan membantu penegakkan hukum, ketertiban dan kedamaian. Kedua, pelucutan senjata hanya berlaku untukk tentara Jepanng. Ketiga, tentara Jepang yang dilucuti akan dipindahkan ke luar melalui laut. 

Namun, pihak sekutu mengingkari perjanjian tersebut. Persetujuan untuk menempati beberapa bangunan, mereka bertindak lebih jauh.  Agus Sunyoto merinci kronologinya. Pada tanggal 25 Oktober 1945, Sekutu mendaratkan pasukan Brigade 49 dari Mahratta dan Rajputan Rifles di Surabya. Keesokan harinya, pagi tanggal 26 Oktober, Brigade 49 bergerak memasuki kota Surabaya dan menempati bangunan-bangunan yang sesuai perundingan. Namun, mereka melanggarnya.

Misalnya, saat memasuki daerah Nyamplungan, satu kolone dari pasukan Mahratta Infantry menangkap pimpinan TKR Nyampplungan dan kemudian menguasai Seksi Polisi Nyamplungan dan Bubutan serta melucuti anggota polisi yang bertugas. Terjadi pula pelanggaran-pelanggaran lain. Hal itu menyebabkan penduduk Surabaya marah.  

Di hari yang sama, sekitar pukul 17.00 pasukan TKR Laut dan AMPAL yang mendapat bantuan dari kota mulai menyerang dari jurusan industri Pekulen dan sawah Pulo. Namun, pada saat mendekati pos pertahanan musuh, panser-panser itu diberrondong senjata-senjata berat hingga berbalik arah dan bertahan di pinggir jalan. 

Pada saat seperti itu, suara gemuruh orang banyak, bahkan ada yang berteriak Allahu akbar, datang dari berbagai penjuru Surabaya utara. Menurut Agus Sunyoto, mereka adalah para pemuda dan santri dari kampung-kampung, di antaranya Ampel, Sukadana, Boto Putih, Pekulen Pegirikan, Sawah Pul, Jati Purwo yang dipimpin Achyat Cholil, kader Ansor Nahdlatul Ulama yang aktif di Hizbullah. 

Parapemuda dan santri banyak yang tewaas dalam kontak senjata dengan Sekutu. Hal demikian membangkitakan para orang tua di kampung-kampung. Mereka turun gelanggang membantu mengepung pos pertahanan Sekutu. Hal serupa terjadi di pos pertahanan inggris di Keputran. 

Arek-arek Surabaya paham, berperang melawan Sekutu tidak akan menang jika mengandalkan seadanya. Mereka kemudian memutus kabel-kabel listrik  jaringan telepon, aluran air minum, dna menghentikan pasukan gas di daerah pos-pos pertahanan Sekutu.       Penulis: Abdullah Alawi Editor: Fathoni Ahmad

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/112794/aksi-aksi-rakyat-surabaya-sepanjang-oktober--1- / https://www.nu.or.id/post/read/112931/aksi-aksi-rakyat-surabaya-sepanjang-bulan-oktober--2-
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id