Gelontorkan Belanja Siasati Pandemi, Mendongkrak Ekonomi?

Budi Kurniawan

Pada pembukaan rapat terbatas di Istana Negara beberapa hari yang lalu, Presiden meminta para menteri-nya membelanjakan anggaran kementerian dengan cepat agar perekonomian masyarakat bisa “hidup” kembali. Memang dalam situasi seperti sekarang ini tidak ada hal lain yang bisa menggerakkan ekonomi kecuali belanja pemerintah. Para birokrat harus memiliki sense of crisis yang sama, serta berupaya menyederhanakan regulasi dan SOP penggunaan anggaran.

Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat, sebagaimana biasa dituliskan dalam formulasi persamaan makro dalam perhitungan pendapatan nasional; dimana Y=C+I+G+NX. Formulasi ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional, variabel Y melambangkan pendapatan nasional sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan variabel-variabel di ruas kanan disebut permintaan agregat yang terdiri dari konsumsi rumah tangga (C), investas (I), belanja pemerintah (G) dan ekspor netto (NX). Seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan pendapatan nasional dapat diketahui dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta mengamati dari waktu ke waktu.

Struktur pendapatan nasional dari sisi permintaan agregat memperlihatkan proporsi pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap total permintaan pada kisaran 9 persen. Proporsi pengeluaran konsumsi pemerintah dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing provinsi relatif beragam. Rata-rata proporsi pengeluaran pemerintah di kawasan timur Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan barat. Jika dikawasan barat proporsinya rata-rata sekitar 8 persen, di kawasan timur rata-rata proporsinya mendekati angka 13 persen. Sebagaimana diketahui 80 persen pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia disumbang oleh wilayah Sumatera (21%) dan Jawa (59%).

Provinsi Bengkulu terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur dari utara ke selatan, di antara Bukit Barisan di sebelah timur dan Samudera Indonesia di sebelah barat dengan luas wilayah lebih kurang 21.089,38 km2 dan jumlah penduduk mendekati 2 juta jiwa. Meski terletak di kawasan barat Indonesia, persentase pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap total PDRB (Rp 72,14 triliun) dalam kurun waktu 5 tahun terakhir berada pada kisaran 20 persen. Pengeluaran konsumsi pemerintah tumbuh pada kisaran 3-4 persen pertahunnya. Tak pelak lagi maka stimulus perekonomian sangat diharapkan lewat penggelontoran pengeluaran konsumsi pemerintah. Untuk dapat optimal mendongkrak pertumbuhan ekonomi tentu saja harus melalui pengalokasian belanja anggaran yang tepat.

APBD sudah seharusnya menjadi alat untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Dengan pelemahan ekonomi nasional, APBD punya peran penting agar daerah tidak semakin terpuruk pertumbuhannya. Ketika siklus turun seperti saat ini, APBD men-support supaya tidak turun terlampau dalam meski terkadang langkah tersebut akan berdampak pada aspek penerimaan. Berbeda dengan kondisi krisis ekonomi beberapa tahun sebelumnya, komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang pangsanya mencapai kisaran 65 persen relatif sulit diharapkan untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang optimal saat ini. Pembatasan sosial dalam berbagai skala yang diberlakukan untuk memutus rantai penyebaran covid-19 terasa memberatkan ruang gerak perekonomian. Persentase pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap total PDRB jika dirinci menurut kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu berada pada kisaran 13-26 persen, di mana terdapat 3 wilayah dengan persentase di bawah 15 persen dan 4 wilayah diatas 20 persen.
Pemerintah daerah tentulah lebih paham apa yang bisa diperbuat dalam setengah perjalanan tahun anggran untuk berakselerasi dengan program nasional. Desentralisasi fiskal memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan dananya, mendorong peningkatan efisiensi belanja. Bukan saatnya berpola kepemimpinan transaksional yang hanya berorientasi pada kompensasi dan sejenisnya.

Optimalisasi kinerja dimungkinkan muncul dengan pola kepemimpinan transformasional dengan kemampuan menginspirasi dan memotivasi pencapaian transedental daripada kepentingan pribadi jangka pendek.

Tanpa terasa, Juli sebagai awal semester kedua tahun ini sedang kita masuki. Pergantian waktu, pergantian bulan dan perubahan semester tidak lagi ditandai karena semua terasa datar bahkan hambar saat pandemi. Mengambil langkah-langkah luar biasa atau extraordinary seperti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan tidak bisa diperbaiki, menata kembali atau mengubah kembali harapan disesuaikan dengan realita adalah jalan terbaiknya.

Perumusan kebijakan pembangunan yang selalu memiliki “mindset” dampak ekonomi dari suatu kebijakan seyogya-nya mengambil lesson learned dari kebijakan terdahulu serta mempelajari resiko yang diambil dari setiap kebijakan, sehingga dapat mengantisipasi resiko yang mungkin/pasti terjadi di masa yang akan datang.

Langkah-langkah pemberian stimulus bertujuan untuk membantu pelaku ekonomi bertahan menghadapi dampak covid-19, menjaga daya beli masyarakat, memberikan kemudahan ekspor-impor, meminimalisir jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK), membantu perbankan memberikan relaksasi dan likuiditas, dan mencegah terjadinya krisis ekonomi dan keuangan. Namun demikian, efektivitas stimulus tersebut akan sangat tergantung pada efektivitas kebijakan pencegahan dan penanganan kasus covid-19. Tidak hanya sangat tergantung dari skenario efektivitas penanganan covid-19, proyeksi pertumbuhan perekonomian juga akan tergantung pada unsur ketidakpastian atas gangguan di sisi penawaran, pengetatan di pasar keuangan, perubahan pola belanja masyarakat, dan fluktuasi harga komoditas global.

Ketika ternyata pandemi masif dan berkala datang dan dipastikan mengganggu kegiatan ekonomi, setidaknya meruntuhkan pandangan sebagian ekonom yang sebelumnya menyatakan bahwa fondasi ekonomi masih cukup kuat, namun ternyata sebagian besar kegiatan ekonomi kita lebih bersifat informal dan goyah. Akibatnya, tidak bisa dihindari lagi efek berikutnya adalah ke sektor pemerintahan sebagai satu-satunya sebagai lender of last demand. Outlook memperlihatkan dampak pertama kepada politik ekonomi yaitu banyak perencanaan pembangunan menjadi tertunda dan terjadi pergeseran fokus orientasi pembangunan menjadi penyelamatan. Tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan kebijakan fiskal yang efektif.

Apakah semua kebijakan yang telah diambil dalam menyikapi pandemi, terutama kebijakan fiskal ini bisa menyelamatkan permintaan tanpa mengorbankan ekonomi jangka panjang sehingga ekonomi tetap sustain ? Instrumen fiskal dan moneter sudah banyak dibatasi oleh parameter endogen, sedangkan krisis yang sekarang dihadapi bersifat eksogen di luar sirkuit ekonomi. Adalah salah besar menganggap ekonomi akan normal dengan sendirinya.

Upaya untuk berdamai dengan covid-19 disambut dengan antusiasme tinggi. Warga kembali menjalankan aktivitas ekonomi dengan kesadaran masih tingginya ancaman untuk kesehatan. Keduanya diupayakan berjalan beriringan, tidak dipertentangkan, meskipun aktivitas ekonomi dan aktivitas lain terlihat sangat agresif dilakukan. Menjalankan aktivitas ekonomi dengan protokol kesehatan yang ketat bukan upaya satu pihak saja, tetapi semua pihak. Atas rendahnya kesadaran, lemahnya disiplin, dan lengahnya petugas, semoga kita tetap dilindungi dari bahaya yang besar.

*) Budi Kurniawan, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Bengkulu