Fight Covid-19, Langkah Pemerintah yang Pincang!

M Bisri Mustofa

Covid-19 atau Corona Virus Desease 2019. Adalah virus yang membuat saya kesal dan perlahan membatasi aktivitas di lapangan sebagai pewarta. Ditambah lagi atas antisipasi pemerintah yang telat sepersekian pekan mengatasi penyebaran Covid-19 ini ke Bengkulu. Apalagi imbas politik atas potensi perubahan jadwal Pemilihan Kepala Daerah membuat pemerintah yang berada pada lini paling depan terlihat pincang. 

Ada Kepolisian Daerah, TNI dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) di barisan paling depan. Kemudian ada Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) yang kini bertranformasi menjadi Tim Penanggulangan Angka Kemiskinan dan Kebijakan Stimulus Perekonomian (TPAKBSP) di barisan tengah dan tim kesehatan di barisan akhir dalam menangani keganasan Covid-19. 

Masing-masing gugus tugasnya berperan sangat penting dan epik. Mulai dari Polda dan TNI yang bergotong-royong mencegah penyebaran, Pemerintah Provinsi yang berperan sebagai transimisi kebijakan segala lembaga, dan TPAKBSP dan tim kesehatan sebagai penyelamat masyarakat terdampak Covid-19 ini.

Persentase pencegahannya sangat dominan. Setidaknya Bengkulu jadi tempat singgah terakhir ketiga pandemi ini di Indonesia dengan angka kematian akibat Covid-19 baru satu orang. Coba saja kematian karena PDP tidak masuk kategori protap Covid-19, niscaya, dihitung sebagai zona merah sama sekali belum memberikan kontribusi apa-apa di peta penyebaran pandemi ini secara nasional. Ditambah lagi, transisi Covid-19 adalah dari daerah terpapar. Andai pemerintah sejak dini menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau "Lockdown" aktivitas imigrasi sejak awal, maka bisa dipastikan Covid-19 takkan mampir ke Bengkulu dalam kurun waktu 2 bulan sekalipun. 

Lantas, apa yang membuat tim percepatan penanggulangan Covid-19 atau gugus tugas ini terlihat pincang?

Tim TPAKBSP secara tegas menyatakan bahwa masyarakat terdampak akan diberikan keringanan pembayaran angsuran kebutuhan rumah tangga secara bertahap hingga  beberapa bulan kedepan. Tim kesehatan dalam video yang disampaikan oleh Ikatan Dokter Indonesia menyatakan diri sebagai gugus tugas terakhir yang berfungsi menyembuhkan masyarakat yang terpapar dan menanggulangi kasus Covid-19 ini. Apabila gugus tugas terdepan dan tengah sudah berhasil ditembus pandemi corona ini, maka tim kesehatan lah yang kemudian ada dibatas akhir menekan angka kematiannya.

Pada kasus Covid-19 di Bengkulu saat ini (pertanggal 9 April) mencapai 509 Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan 14 Pasien Dalam Pengawasan (PDP) serta 4 sudah dinyatakan positif dengan kasus PDP 5 orang meninggal dan positif  1 orang meninggal. Kota Bengkulu sebagai kasus terbanyak yakni 121 ODP, 8 PDP, dan 4 kasus terkonfirmasi positif Covid-19. 

Mencuat setelah salah satu jemaah tablig dinyatakan positif pada akhir Maret lalu dan meninggal sehari setelah dikeluarkan hasil lab Litbangkes Kemenkes. Dengan kasus pertama, Pemprov kalang kabut melihat warga kota mendominasi kasus dengan sigap menahan dan mengisolasi mandiri seluruh jemaah yang pernah melakukan kontak dengan terkonfirmasi Corona di Masjid At Taqwa. 

Pemerintah Kota (Pemkot) panas melihat tindakan yang dilakukan oleh Pemprov dengan berdalih telah mengusulkan Lockdown sejak kasus mulai masuk di Indonesia. Namun hal itu tidak didengar oleh Pemprov atas dasar kebijakan nasional dalam mengambil langkah lockdown demi keselamatan perekonomian. 

Penutupan Masjid At Taqwa dipolitisir segelintir pihak sebagai kesalahan kebijakan yang diambil Pemprov. Sebagian menganggap pecah telurnya kasus positif itu kesalahan Pemprov yang dinilai telat lockdown dan sebagian lagi menyalahkan Pemkot lantaran jemaahnya sendiri yang nekat melakukan perjalanan darat dari daerah terpapar ke zona Hijau Bengkulu. 

Lantas masalah ini terendap ketika kasus kedua terkonfirmasi Covid-19 adalah salah satu pegawai perbankan. Pemprov tidak melakukan penutupan atas dasar pemegang kebijakan stimulus perekonomian daerah. Dan ditegaskan oleh rekan kerja positif covid-19 bahwasanya Pasien Positif Covid-19 tidak melakukan aktivitas pekerjaan sejak awal terindikasi virus ini. Kemudian kedua belah pihak dilakukan rapit tes kepada seluruh rekan sampai diputuskan kedua pihak negatif Covid-19. 

Ketidaksinergian Pemprov dan Pemkot muncul kembali ketika pengusulan anggaran penanganan Covid-19 jauh berbeda dengan nominal Pemprov Rp 30,8 miliar dan Pemkot Rp 204 miliar. Muncul konflik sosial di mana ada olok-olok realokasi anggaran yang diusulkan Pemprov sehingga dengan nilai tersebut sama sekali tidak memberikan efek kejut yang dominan. 

Klimaksnya adalah ketika muncul judul pemberitaan disebuah media daring dengan statmen "Perlombaan" yang mengibaratkan penanganan wabah covid-19 yang pincang ini adalah sebuah kompetisi memenangkan sebuah pertempuran. 

"Pemprov tutup masjid dan Pemkot tutup lokalisasi". Begitu nada sumbangnya seolah tidak ada dampak apa-apa yang diakibatkan wabah pandemi ini di tengah masyarakat luas. 

Justru, masyarakat miskin dan gapteklah yang jadi korban sosial. Sedang elit terus asyik mendebat politik tanpa paham dengan situasi yang tengah terjadi.

Tiba-tiba seorang tukang parkir tua yang tidak tau apa-apa soal politik narsis dan kecanggihan teknologi informasi kemudian dikejutkan dengan sepinya pengunjung lokasi lantas bertanya kepada para milenialis, "Kenapa hari-hari ini sepi pengunjung, ya. Tumben. Ada apa?" sambil mengeluh tak dapat penghasilan. 

Sekedar solusi, ketimbang memperdebatkan ketimpangan ide dan inovasi dalam penanganan wabah Covid-19, ada baiknya Pemprov dan Pemkot segera berdamai dengan misi. Pikirkan ribuan masyarakat yang terkena PHK dan para pedagang yang sekarang sudah mulai merintih kekurangan pendapatan. Bahkan sebagian, swasta dan pelaku UMKM hampir saja gulung tikar di bawah kebijakan yang ada tanpa perencanaan panjang bersamaan.

Apalagi kami, sejauh mata memandang, sedalam informasi yang digali, dampak terbesar adalah "gaji" yang tak turun berkali-kali. 

***

M Bisri Mustofa, Penulis Fiksi