Dugaan Monopoli, Sastrawan Lokal Deklarasi Tolak Festival Sastra Bengkulu

yang menyatakan diri menolak Festival Sastra Bengkulu

Bengkulutoday.com - Untuk kedua kalinya, Festival Sastra Bengkulu (FSB) digelar pada  tanggal 13-15 September 2019. Namun berlangsungnya Festival tersebut mendapat penolakan oleh kalangan sastrawan Bengkulu.

Nady Hariyansyah, sastrawan yang tergabung di Kedai Proses ini secara tegas menolak Festival Sastra Bengkulu yang dirasa senyap serta penuh dengan akal bulus. Hal ini ditambah tidak ada sastrawan dari Bengkulu yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.

"Kegiatan yang sama tahun lalu berbuah luka di hati pelaku seni dan pelaku sastra Bengkulu. Dan saya harap pemerintah daerah jangan memberi ruang untuk oknum dari luar Bengkulu membuat acara tanpa melibatkan anak daerah yang berdomisili di provinsi ini.Saya menolak adanya kegiatan ini di Bengkulu, begitu juga teman-teman yang lain," ungkap Nady Hariyansyah, Jumat (13/09/19) malam,. 

Ditambahkan oleh Ganda Sucipta, seorang Sastrawan jebolan dari Universitas Negeri Bengkulu menyatakan sepakat menolak, "pertama, saya sampaikan terimakasih sudah menghubungi saya. Terkait FSB saya secara tegas menolak. Kedua, beberapa hari lalu saya sempat melihat dalam salah satu tajuk berita di media bengkulutoday memuat tentang kegiatan tersebut. Jika memang bisa ditarik silahkan ditarik, jika tidak jangan sampai ada kontradiksi dari pihak media sesudah menyiarkan berita yang 'wah' tentang FSB kemudian tiba-tiba memunculkan berita yang berkebalikan. Ketiga, jika ditanya ke saya soal FSB, secara pribadi dari kegiatan pertama saya sudah menolak dan tidak hadir. Karena dari sudut pandang saya, kegiatan tersebut bukannya malah berkontribusi bagi kesusastraan di Bengkulu, alih-alih malah merusak ekosistem sastra di Bengkulu. Karena sebagian besar para penggagas itu adalah orang-orang yang tidak tau menau soal sastra di Bengkulu. Akhirnya hanya memunculkan nama-nama mereka saja di publik. Ujung-ujungnya tamasya dengan orang lokal sebagai tourgate," tuturnya panjang lebar.

"Sekarang mereka memulainya lagi kegiatan tahun kedua, tentu saya tambah jengkel. Apalagi ditambah dengan tidak adanya peran sama sekali sastrawan yang tinggal di Bengkulu. Baik itu sebagai kurator maupun pemateri. Lebih lucunya lagi ada yang namanya undangan khusus untuk seniman Bengkulu yan mereka pilih sendiri (secara lotre mungkin). Kan aneh yang punya rumah malah jadi tamu," lanjut Ganda.

Selanjutnya disampaikan Syakirin, "jelas saya menolak tegas. Mereka telah menggunakan Bengkulu sebagai obyek kesepakatan jahat untuk memanipulasi (dugaan:red), menggunakan uang negara dengan bertopengkan kegiatan sastra di Bengkulu. Mengingat acara tersebut dihadiri dari berbagai daerah luar Bengkulu yang orang Bengkulu pun tidak tahu. Pesawat, hotel, dan lain-lain. Tentu tidak sedikit menelan biaya. Jadi, Bengkulu sekedar dibuat tempat transit untuk memanipulasi kegiatan dalam mencairkan anggaran. Kabarnya ada bebarapa daerah lain mereka lakukan seperti ini. Jadi jelas sikap saya menolak," ungkapnya.

Senada, dikatakan sastrawan berlatar pendidikan dokter, Dodo Diana, saya menolak festival tersebut karna penyelenggara sama sekali tidak melakukan penetrasi intens pada sastrawan yang memang   berkarya dan berkreatif di Kota Bengkulu. Padahal mereka menamakan diri Festival Sastra Bengkulu. Dan sejak FSB mereka di Tahun 2018 pun tidak ada bekas atau silaturrahmi dengan pecinta sastra di Bengkulu," pungkasnya kesal.

Emong Suwandi, salah satu sastrawan lokal yang ditunjuk dalam kepanitiaan menyatakan diri enggan menanggapi pernyataan tersebut. Ia juga tidak mengambil sikap atas apa yang terjadi terkait FSB, "saya orang pertama di Bengkulu yang dihubungi oleh penggagas kegiatan terebut. Di awal-awal, saya sudah meminta kepada mereka harus ada porsi tersendiri bagi seniman Bengkulu, jangan hanya sekedar jadi peserta dan undangan. Tapi permintaan saya ini tidak ditanggapi mereka, dan hal ini ditegaskan lagi dengan tidak ada komunikasi lagi dari mereka ke saya, ujug-ujug ada pengumuman tentang kegiatan tersebut. Saya tidak menolak dan tidak mendukung kegiatan tersebut, karena saya menganggapnya itu hanya kegiatan biasa saja, sebagaimana kegiatan yang sudah sering dilakukan kawan-kawan di Bengkulu," ungkapnya.

Festival bertema “Sastra, Anak Muda, dan Tradisi” ini kabarnya diikuti sekitar 100 peserta dari Indonesia dan mancanegara. Kegiatan ini diadakan oleh Imaji Indonesia bekerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Pemerintah Provinsi Bengkulu, Radio Republik Indonesia (RRI), FKIP Universitas Bengkulu, dan Djarum Foundation.

Atas beberapa pernyataan penolakan adanya FSB di atas, masih ada lagi yang menyatakan diri sepihak dan berharap adanya evaluasi dari penyelenggaraan FSB. Berikut nama-nama sastrawan/pegiat seni mendeklarasikan diri menolak FSB :

1. Edi Ahmad (penyair/pegiat seni)
2. Herman Suryadi (penyair/penulis)
3. Amrizal DT Bijayo (penyair/pegiat seni)
4. Jayu Marsuis (penyair/pegiat seni)
5. Emong Suandi (penyair/pegiat seni)
6. Nadi Hariyansyah (penyair/pegiat seni)
7. Rosy Mardiansyah (penyair/pegiat seni)
8. Ganda Sucipta (penyair/pegiat seni)
9. Bagus Yuarto (penyair/pegiat seni)
10. Rumasi Pasaribu (penyair/penulis)
11. Diana Gustina (penyair)
12. M. Bisri Mustofa (penyair/pegiat seni)
13. Sucenk Bae (penyair Pegiat Seni)
14. Zhuan Zhulian (penyair/pegiat Seni)
15. Syakirin Endar Ali (penyair/pegiat seni)
16. Yusni Hidayat (penyair/pegiat peni)
17. Adhyra Pratama Irianto (penyair/pegiat seni)
18. Adnan Wiliansyah (penyair/pegiat seni)
19. DC Ariadi (penyair/pegiat seni)
20. Ira Diana (penyair/penulis)
21. Edy Prayekno CLM (penyair/pegiat seni)
22. Andi saleh (pegiat seni)
23. M. Duan Salis (pegiat seni)

Hasil penelusuran tim redaksi, lebih dari 100 orang pegiat seni dan sastrawan se Provinsi Bengkulu yang menolak Festival Sastra Bengkulu. (Bis)