Dikuasai Kartel, Masa Depan Petani Kopi Bengkulu Suram

Kopi di Kepahiang

Sekali waktu saya mampir di kedai kopi seorang sahabat di Kabupaten Kepahiang. Seduhan kopinya begitu nikmat dalam setiap sesapan lidah. Iya, kopi Kepahiang dan Bengkulu pada umumnya dalam satu tahun terakhir ckup mencuri perhatian. Kualitas kopi dari petani begitu dijaga mulai dari merawat hingga hidangan pada tamu semua dikelola dgn baik untk kualitas premium.

Para pengusaha kopi kelas lokal di Bengkulu mulai percaya diri menampilkan kopi Bengkulu pada kejuaraan nasional dan internasional, menyusul prestasi-prestasi luar biasa dalam bentuk pengakuan membanggakan.

Sekali waktu seorang sahabat petani kopi masih di Kepahiang mengontak saya berbicara untuk mengganti kebun kopinya dengan pertanian lain. Saya lalu bertanya, bukankah kopi saat ini dalam kondisi prima? mengapa harus diganti?.

Sahabat yang baik hati itu menjawab, saya sudah cukup lama bertani kopi, ke depan masa depan kopi semakin suram, bukan karena kopi tak diminati tapi kartel kopi yang menggurita membunuh petani. Jawabnya serius.

Tak ada hubungan positif saat kopi Bengkulu mendunia dengan kesejahteraan petani. Iming-iming harga tinggi bila pengelolaan baik dari pembeli kopi premium tak terbukti. Ratusan ton kopi yg dikelola petani sesuai permintaan tak dihargai sesuai kesepakatan dengan berbagai alasan. 

Kerjasama dengan pembeli kopi premium kerap kali tak setara. Standar yang diminta pembeli saat dipenuhi sering diingkari pembeli. Alih-alih mendapatkan harga yang baik petani terpaksa menjual dengan harga rendah. Tangisan petani benar adanya. Kartel sejumlah perusahaan kopi kelas nasional bermain untk membunuh berkembangnya kopi premium yang dikelola petani ikut pula berkontribusi, pembunuh senyap.

Pembeli kopi premium berulah melukai petani. Saat ini terjadi para tengkulak lokal kembali menjadi malaikat penolong. Dengan tengkulak lokal petani lebih gampang bernegosiasi terutama berhutang. Dengan pembeli kopi premium petani sulit bernego. Minta barang bagus saat dipenuhi banyak alasan, ujung-ujungnya kopi dihargai murah.

Belum lagi kalau mau dilihat mayoritas kebun kopi petani masih bersengkta dengan sejumlah instansi baik kehutanan maupun tumpang tindih dengan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan.

Jalan yang ditempuh mempopulerkan kopi Bengkulu sudah benar namun perbaikan nasib hidup petani, pola distribusi dan kepemilikan lahan yang adil juga harus dilakukan.

Kita mengiginkan menyesap kopi deng petani yang bercerita tntang ana-anaknya yang kuliah di kampus-kampus ternama. Kita merindukan menyesap kopi dg petani sambil petani itu berencana membuka sekolah-sekolah alternatif yang modalnya diambil dari usaha kopinya, bercita-cita petani menjdi pengusaha pertanian, umroh, haji atau apalah namanya. Ah, kopi di gelas mulai dingin......

(Catatan Firmansyah)