Diaspora Intelektual Muda NU

Ahmad Walid

Oleh Ahmad Walid (PCNU Kota Bengkulu)

Ada satu  hal yang menarik ketika kita bicara tentang ‘intelektual’: bahwa dengannya, kita seolah dipaksa untuk berkaca di depan album waktu yang kita beri nama ‘sejarah’. 

Dalam studi sejarah, Arnold Toynbee mengemukakan adanya recurrent pattern atau kecenderungan berulangnya suatu pola dengan beragam variasinya. Apakah kecenderungan ini pun berlaku ketika memperbincangkan intelektual Indonesia dari masa ke masa? Tentunya, ini akan menarik bila kita telaah bersama. Namun, saya tidak akan membuat cerita ini menjadi panjang dengan membaginya dalam periodisasi waktu yang baku, saya hanya akan membiarkan tulisan ini mengalir sependek jalan pikiran saya yang sederhana.

Sejarah modern pergerakan politik, ekonomi, sosial, dan budaya nasional mencatat kaum terpelajar dalam dinamika masyarakatnya memang amat menonjol. Bahkan terlihat sejak menjelang akhir abad ke-19 dengan tampilnya sejumlah kalangan terpelajar yang melakukan kritik pedas terhadap pemerintahan kolonial. Tidak sedikit diantaranya malah yang sudah berani mengajak rakyat bangkit melawan penjajahan. Perlawanan menentang kolonialisme bukan hanya dilakukan oleh mereka yang mengenyam pendidikan barat, tapi juga oleh kaum terpelajar yang berlatar pendidikan Islam.

Pada 16 Oktober 1905, seorang saudagar batik asal Kampung Batik Laweyan bernama Hadji Samanhoedi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi modern berasas Islam pertama di Hindia Timur, yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya organisasi pergerakan lain di Indonesia. Selain memperdalam ilmu agama pada Kyai Djodjermo di Surabaya, semasa kecil ia juga mengenyam pendidikan di Inlandsche School dan Eerste Inlandsche School. Ini membuktikan bahwa Hadji Samanhoedi bukan hanya seorang pengusaha yang memegang teguh Islam, tetapi juga seorang pejuang intelektual Islam yang anti terhadap segala bentuk penjajahan.

Di era yang sama, kita mengenal RM Tirtoadhisoerjo, murid STOVIA yang sering dikenal sebagai pelopor wartawan Indonesia. Ia senantiasa melakukan kritik pedas terhadap pemerintah kolonial melalui Medan Prijaji. Meskipun surat kabar tersebut bernama Medan Prijaji, surat kabar tersebut tidaklah dimaksudkan hanya untuk kaum priyayi. Malah, ia yang sebelumnya mendirikan Sjarikat Prijaji dan menjadi bagian dari Boedi Oetomo menulis:

Aduh! Dalam programnya perkumpulan muda ini memang memuat maksud yang begitu, akan tetapi antara maksud dan kesampaiannya maksud itu masih ada ruang lebar... tetapi yang demikian juga tak dapat diharapkan, sebab anggota Boedi Oetomo juga ingin berumah yang patut dan penghidupan senang, hingga masing-masing hendak mencari pekerjaan yang baik, biar di kandang gubermen, biar di halaman partikulir”

Kehebatan tulisan itulah yang membuat Tirto harus mengalami pembuangan ke Lampung. Namun, di masa pembuangannya pun ia tak pernah berhenti menulis karangan-karangan yang bertujuan membela rakyat kecil serta melawan praktik buruk dari pemerintah kolonial setempat. Apa yang dialami oleh Tirto dilukiskan indah oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi pulau buru-nya yang terkenal itu. Termasuk juga kisah pertemuan antara Tirto, Mas Marco, serta Hadji Misbach.

Hadji Misbach mendirikan Medan Moeslimin pada tahun 1915 dan Islam Bergerak pada tahun 1917. Salah satu tulisannya yang dirilisnya dalam Medan Moeslimin berjudul Sroean Kita mengundang ragam kontroversi. Ia menyindir umat Islam yang kaya namun enggan bersedekah, juga umat Islam yang memiliki ilmu agama namun enggan mengajarkannya pada bangsanya, malah mereka gunakan untuk menipu bangsanya sendiri.

“..itulah sebabnya bangsa kita yang muslim itu terjerumus dengan tipu daya orang yang mengisep darah kita.. itulah sebabnya kita kaum muslim harus melawan dengan sekeras-kerasnya.. contohlah bergeraknya jujungan kita Kanjeng Nabi Muhammad saw yang menjalankan perintah Tuhan dengan tidak mempedulikan payah susah yang terdapat olehnya, tiada takut sakit mati untuk melawan perbuatan sewenang-wenang.. Siapa yang merampas agama Islam, itu yang wajib kita BINASAKEN!”

Tulisan tersebut menjadi semangat dan gairah keberagamaan yang baru. Agama tidak lagi menjadi anjuran beramal shalih yang diterjemahkan hanya sebagai ibadah ritual, tetapi mampu menjadi alat melakukan transformasi sosial. Selanjutnya, Hadji Misbach terus berusaha melakukan propaganda dan memimpin beragam aksi pemogokan. Langkahnya semakin masif setelah ia bergabung dengan Sarekat Islam.

Mas Marco Kartodikromo berada dalam sekoci yang sama dengan Hadji Misbach dalam berjuang lewat propaganda melalui tulisan. Ia menulis dalam novelnya, Student Hijo:

“...Tuan berkata orang Jawa kotor, tetapi Tuan toh mengerti juga bila ada orang Belanda yang lebih kotor daripada orang Jawa... “Orang Jawa bodoh”, kata Tuan, “Sudah tentu saja, memang pemerintah sengaja membikin bodoh kepadanya. Mengapakah Regeering tidak mengadakan sekolah secukupnya untuk orang Jawa of Orang Hindia, sedang semua orang mengerti bahwa tanah Hindia itu yang membikin kaya tanah kita Nederland?”

Logika bahwa penduduk pribumi adalah bangsa primitif, kotor, dan terbelakang inilah yang menjadi pembenaran bagi kaum penjajah melanggengkan kekuasaannya di tanah Hindia. Hal ini juga yang membuat kaum terpelajar kita kala itu ‘menjauh’ dari akar masyarakatnya. Sebab, mereka pun tidak ingin dikategorikan sebagai kaum kromo yang primitif, kotor, dan terbelakang.

Multatuli, dalam roman yang ditulisnya berjudul Max Havelaar menulis bagaimana dogma agama menjadi pembenaran bagi Belanda menjajah bangsa Hindia dalam ceramah yang dilakukan oleh Blatherer.

“Arahkan pandangan anda ke kepulauan di Samudera Hindia, dihuni oleh berjuta-juta anak dari putra terkutuk-putra yang sangat terkutuk-Nuh yang mulia, yang menemukan rahmat di mata Tuhan! Di sana dalam ketidaktahuan mereka merangkak di sekitar sarang ular berhala yang menjijikan-di sana mereka menyembah kepala hitam, keriting di bawah penindasan pendeta egois! Disana, mereka berdoa kepada Tuhan, memohon pada nabi palsu yang merupakan kebencian di dalam pandangan Tuhan...”

Lebih lanjut, Blatherer menyampaikan enam tugas yang ia klaim harus mereka lakukan guna menyelamatkan ‘para penyembah berhala miskin’, yang di dalam salah satu poinnya berisi: “Memerintahkan masyarakat Jawa agar dibawa ke Tuhan dengan cara bekerja.”

Logika berpikir inilah yang membuat Tan Malaka resah. Belanda memang memberikan kesempatan bagi kaum pribumi untuk belajar (berhitung dan baca tulis), akan tetapi tujuan pendidikan itu pun hanya mendapatkan buruh dengan upah rendah. Tan yang resah kemudian mendirikan ‘Sekolah Rakyat’ bersama SI Semarang. Sekolah ini tak hanya mengajarkan pada para muridnya agar memiliki keterampilan untuk bekerja dan memenuhi hajat hidupnya, tapi juga menanamkan kesadaran kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan dan penindasan.

Begitulah, kaum intelektual di zamannya mentransformasikan ide dan gagasan yang mereka yakini dalam praksis kehidupan berbangsa. Memang, ada saat dimana terjadi pertentangan ide dan gagsan hingga menyebabkan konflik, baik konflik ideologis maupun politis, akan tetapi yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah kemampuan para cendekiawan kritis masa itu mengatasi perbedaan yang ada. SI misalnya, pada rapat di Purwokerto dikacaukan oleh Moeso lewat SI Merahnya. SI pun pernah ribut dengan Muhammadiyyah karena tak senang dengan sikap Muhammadiyyah yang non-politik dan hanya bergerak di dalam agama. Konflik antara Semaoen dan HOS Tjokroaminoto pernah terjadi, namun Semaoen memilih diam dan Tjokro pun menganggap kelakuan Semaoen sebagai bentuk gejolak kaum muda. Pun, konflik itu pernah terjadi antara kubu Soekarno dan Hatta-Sjahrir. Soekarno yang lebih memilih berjuang dengan agitasi masa lewat pidatonya, serta Hatta-Sjahrir yang memilih berjuang dengan PNI-Baru (Pendidikan Nasional Indonesia) yang berasas sosialis

Maka dengan diskursus intelektual muda Indonesia mengemukakan pertanyaan bagaimana kita menjaga dan merawat Indonesia, dengan banyaknya seminar mengenai wawasan kebangsaan dan menguatnya diskusi tentang memaknai NKRI. Sebagai kader NU tentunya saya memiliki kewajiban dalam menjawab dan mengisi serta menjaga hazanah pemikiran dari para tokoh perjuangan

Masa Depan dan Diaspora Intelektual Muda NU

Etik adalah spirit dasar. Kompas dalam perjalanan. Namun jalan datar, menanjak, turun, berbatu, berpasir harus dihadapi dengan caranya sendiri. Etiknya tetap, caranya menyesuaikan. 

Sebagai contoh di zaman teknologi sekarang. Zaman manusia sapiens berlomba-lomba menjadi Deus kata Harari. Masa di mana keseimbangan kekuatan dunia mulai bergerak tidak lagi unipolar. Politik, ekonomi, budaya bertarung berkelindan disekeliling kita. Mampukah kita sebagai kaum muda membaca perubahan ini.

Kemampuan membaca arah akan membantu kita mengatasi persoalan kedepan. Banyak isu-isu minor maupun mayor yang akan menjadi titik persimpangan. Maka mesti dibuat pola besarnya sebagai strategi penanganan isu.

Bentuk dari kemampuan berpikir tingkat tinggi dan kreatif juga harus dipersiapkan untuk menghadapi perubahan ini. Utamanya lahir gerakan literasi yang bisa membaca arah baru pendidikan Indonesia kedepan.

Zaman kedepan adalah zaman kecepatan sebagai kunci. Teknologi, informasi dan jaringan sebagai kekuatan. Kemampuan generasi NU dalam membentuk kader dan struktur yang memiliki kapasitas memadai akan menentukan jalan kedepan NU

Strategi penguatan ke dalam dan keluar mesti dilakukan. Strategi penguatan ke dalam dalam pandangan saya mesti dibagi menjadi dua cara. Yang pertama adalah penguatan struktur nilai NU melalui platform gerakan. Yang kedua adalah penguatan kapasitas kader melalui sel-sel dinamis lokus kompetensi.

Platform gerakan dilahirkan dalam upaya melengkapi dasar etik di NU. Menjadi kompas pergerakan dalam menghadapi zaman yang akan datang. Tentu saja butuh elaborasi lebih mendalam dalam konten platform baru ini.

Lokus kompetensi diharapkan mampu memberikan jawaban terhadap kompetensi kader. Fokus dari lokus kompetensi bukanlah pada lembaganya, namun pada kadernya. Maka tidak menjadi masalah apabila ada ratusan lokus kompetensi hukum, ribuan lokus kompetensi pendidikan, ataupun puluhan lokus kompetensi teknik di seluruh cabang.

Masing-masing lokus tersebut bisa dihubungkan dalam satu rangkaian lokus pokok. Dengan demikian terbentuklah sebuah skema blockchain lokus kompetensi di NU.

Skema keluar tertumpu pada penguatan isu dan jaringan. Ada isu payung yang digunakan sebagai fokus, dari isu payung tersebut diturunkan menjadi isu-isu derivatif. Implementasi strataknya fleksibel. Pilihan isu payung pun sesuai bacaan zaman. 

Jaringan keluar juga menjadi kunci keberlangsungan NU. Kemampuan NU dalam melakukan ekspansi jaringan akan membentuk suatu kekuatan baru. Dengan seribu kawan lebih mudah mengatasi masalah dan menghadapi tantangan.

Penutup
Hasil dari pemikiran yang dituangkan dalam tulisan ini diharapkan mampu untuk menggugah semangat kecintaan terhadap bangsa dan negara melalui pengabdian di Nahdlatul Ulama. Pemahaman tentang kompetensi inti dan penggunaan etik dalam kehidupan diharapkan mampu membingkai kemajuan pendidikan dan pemikiran yang maju untuk masyarakat Indonesia. Akhirnya saya ingin menutup tulisan ini dengan kutipan yang disampaikan oleh W.S. Rendra (1984) berucap,”Kesadaran adalah Matahari/ Kesabaran adalah Bumi/ Keberanian menjadi cakrawala/ Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata/”.

(**)