Desa, Kemiskinan dan Faktor Penyebabnya Dari Masa ke Masa

Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo saat berkunjung ke Seluma, Seluma dianggap sebagai daerah yang masih tertinggal dan miskin
Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo saat berkunjung ke Seluma, Seluma dianggap sebagai daerah yang masih tertinggal dan miskin

SEDIH bercampur haru dan mungkin saja marah dan “sakitnya disini” kata penyanyi dangdung. saya dari dulu tidak suka kalau Bengkulu dikatakan daerah miskin dan ini pernah saya debatkan ketika tahun 2003 kebetulan sempat mengikuti Diklat PIM III Pemda Prov. Bengkulu salah seorang pemateri pakar ekonomi dan benar-benar pakar buktinya sekarang yang bersangkutan sudah jadi Profesor di Perguruan Tinggi ternama di Kota ini.

Kalau teringat malu juga rasanya saya mendebat beliau, karena pemateri waktu itu menyampaikan dengan data-data lengkap bahwa masyarakat pedesaan di Bengkulu masuk katagori rakyat miskin. Dengan sedikit emosi saya tantang sang pakar, bapak jangan gitu, seharusnya bapak kemukakan juga penyebab masyarakat desa kita jadi miskin tersebut, dan saya juga punya data.

Sebenarnya masyarakat pedesaan di Bengkulu tidak dilahirkan untuk menjadi miskin (bahkan semua desa di nusantara), tapi ada faktor menyebabkannya jadi miskin. Dihati saya yang terdalam tidak meragukan data-data empiris sang pakar, tapi persoalan rasa membuat saya jadi berontak, karena kehidupan itu memang saya alami sebagai orang desa dan semua kelaurga saya dulu berada di desa kebetulan saja punya kesempatan untuk tinggal dikota, sifat dan bawaan serta semangat pedesaan tetap saja terbawa baik cara pandang maupun kosa kata sebagai orang desa dengan bahasa ibu yang kental. Ada alasan lain membuat saya berani berdebat dengan Pakar tersebut.

Orang lain nggak tahu padahal sang pakar yang jadi narasumber tersebut kebetulan daerah asalnya sama dengan saya, heheh… (nostalgia Pendidikan Diklat Pim III di asrama haji Bengkulu tahun 2003). Maaf Prof, saya sedikitpun tidak meragukan kepakaran sampean.
Faktanya memang masyarakat Bengkulu tergolong daerah miskin, dan ini ditegaskan kembali oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu, Dyah Anugrah Kuswardani mengungkapkan Provinsi Bengkulu masih menduduki peringkat kelompok termiskin kedua di Sumatera setelah Provinsi (data ini dirilis awal tahun 2017, yang pertama nggak usah disebut provinsi mana, menurut UAS menjaga kode etik). Indikatornya tidak jauh dengan persoalan di Pedesaan yakni masih banyak wilayah belum tersentuh listrik, jalur produksi belum baik dan tingkat penghasilan yang masih rendah. Kalau begitu belum ada perubahan yang signifikan dari tahun 1989 sampai sekarang.

Tahun 1989 persoalan kemiskinan di desa memang sudak saya teliti dan ditulis, dengan penelitian itulah telah mengantarkan saya untuk hidup di Kota bahkan ditugaskan untuk mempin Kelurahan selama tujuh tahun, karena saya selesai menempuh pendidikan S1, dan dinyatakan lulus dan berhak mendapat gelar Sarjana Hukum serta melakat hak dan tanggungjawabnya, dan ditakdirkan juga menjadi pejabat terendah yang punya wilayah . 

Orang hukum bicara kemiskinan, apa relevansinya, nah ternyata kemiskinan tersebut banyak faktor melatarinya. Bukan hanya karena daerah yang tandus, rakyat yang pemalas, sarana dan prasaran kurang atau sering karena terjadi bencana, kalau problem kayak begitu hepotesinya nggak usah diuji lagi, itu sudah jadi hukum alam tapi bukan hukum alam teorinya Thomas Aquinas, maksudnya kalau kondisi seperti itu pastilah jadi miskin. 

Apa relevansinya dari segi hukum, itulah menariknya orang hukum itu, ibarat golongan darah sama dengan darah “O” bisa menjadi elmenen dari sebuah sistem yang sangat konmpleks. Kajiannya berkaitan dengan “Regulasi dan Kebijakan” dan ini pasti kajian orang hukum terutama HTN dan HAN dan Kemiskinan pedesaan menurut saya tidak terlepas dari itu semua. 

Judul Penelitian saya tahun 1989 tersebut “Sistem Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengawasan Pembangunan Pedesaan di Kecamatan... (kalau mau lengkap baca skripsi saya, mungkin masih ada arsipnya di Fak. Hukum Unib dan pembimbingnya alhamdulilah masih ada di Bengkulu yang mulya dan sangat terpelajar bapak H. Azie Alie Tjasa, SH, MH, terima kasih guruku yang sangat saya hormati). Dan saya tetap konsisten mengkaji itu baik dikesempatan pendidikan penjenjangan berikutnya.

Dalam sistem perencanaan di desa waktu itu, memang tidak berjalan, walaupun secara kelembagaan ada LKMD tapi yang berperan justru Kasi PMD di Kecamatan, bahkan dokumen perencanaan tersebut dibuat oleh Kasi tersebut desa tinggal terima saja, pelaksanaan juga demikian dilaksanakan seragam tanpa melihat spesifik di desa kebanyakan digunakan untuk kepentingan fisik desa yang lebih para pengawasan, siapa yang mengawasi dan diawasi tidak jelas walaupun sudah ada Itwilkab, tapi itu aparat internal Pemda, sama-sama dibawah Kepala Daerah, diperparah lagi dengan sistem politik waktu itu yang mono loyalitas, lengkaplah sudah kekacauannya.

Regulasi dan kebijakan yang diterapkan di Pedesaan pada waktu itu luar biasa banyaknya, bertubi-tubi instruksi yang harus dilaksanakan oleh Kepala Desa baik persoalan administrasi maupun teknis, menurut penelitian mahasiswa S3 FH Unpad yang disertasinya saya jadikan rujukan ada sekitar 160an regulasi dan kebijakan yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan pembangunan desa…waw banyak sekali, buku administrasi Desa ada 18 yang harus diisi dan dengan tulisan tangan oleh aparatur desa, padahal perangkat desa waktu itu relative tidak berfungsi, berbagai alasan yang membuat perangkat desa tidak berperan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Kepala Desa “berkarier solo” Kades adalah kantor berjalan dan ini bisa dibuktikan bahwa stempel Kades selalu ada disaku celananya kemanapun Kades pergi. (Bersambung).

oleh : Dr Imam Mahdi

imam mahdi
Dr Imam Mahdi, akademisi IAIN Bengkulu

 

NID Old
5618