Cryptocurrency (Mata Uang Digital) dalam Sejarah Alat Tukar

Ilustrasi

Mengingat kembali sejarah perkembangan alat tukar, tampaknya penting guna mendudukkan posisi mata uang elektronik cryptocurrency saat ini sebagai wasilah transaksi. Dulu, garam (salarium) pernah dijadikan sebagai perantara transaksi. 

Penggunaan salarium ini sebagai alat tukar diawali dari pemikiran bahwa dalam sistem barter, kesulitan pertukaran terjadi saat barang yang harus ditukarkan dalam jumlah banyak, dan risiko keamanan di jalan. Untuk itu dibutuhkan media yang praktis sebagai wasilah. Apalagi kebutuhan individu dalam tingkat rumah tangga, tidak melulu pada satu barang. Untuk bahan makanan saja, mereka juga butuh beras, sayuran, rempah-rempah, dan lain sebagainya. Apabila barang yang ditukar hanya satu jenis dengan kapasitas yang besar, akan ada berapa transaksi pertukaran saja untuk terpenuhinya satu kebutuhan individu itu. 

Dengan keberadaan alat tukar ini, mereka menjadi praktis. Mereka bebas pergi ke suatu tempat, lalu dengan perantara alat tukar, mereka mendapat semua kebutuhan. Efeknya, alat tukar menjadi satu kebutuhan. Ada kerja dan tenaga yang harus dikerahkan demi menguasai dan mendapatkan alat tukar tersebut. 

Menimbang kelemahan salarium, lalu beralih ke kulit binatang, beralih lagi ke logam mulia, beralih lagi ke tembaga sebagai bentuk pecahan uang kecil, lalu beralih lagi ke kertas yang menyatakan suatu jaminan kepemilikan, dan selanjutnya beralih ke kertas berharga. Yang terbaru, karena bahan pembuat kertas semakin berkurang, lalu beralih lagi ke penggunaan kartu digital.

Artinya, perubahan yang terjadi pada mata uang dan modelnya, adalah tidak lepas dari sebuah kebutuhan, kepraktisan, keamanan dan daya tukar. Daya tukar lahir dari adanya kepercayaan bahwa uang yang terbentuk memiliki jaminan bisa digunakan dalam pertukaran dan punya daya dukung. Kita percaya dengan notifikasi transfer lewat ATM, atau Kartu Kredit, disebabkan karena kebenaran yang teruji dan berulang. Meskipun fisik uang tidak kita lihat. 

Dengan teknologi mesin transfer ini, kita pun bisa menghargai arti 1 nilai rupiah. Saya bisa transfer ke pihak manapun, dengan bekal e-banking, meskipun uang itu berbunyi 12 rupiah. Padahal, andai kita cari wujud fisik uang senilai 12 rupiah itu, kita yakin tidak menemukannya. Atau mungkin menemukan, tapi betapa sulitnya. Walhasil, kartu elektronik dan e-banking ini menjadi bernilai manfaat sebab menjadikan uang senilai 1 rupiah itu menjadi berharga kembali. 

Hari ini kita memasuki era teknologi digital. Berbagai belahan bumi mana pun dapat kita jangkau dengan mudah berbekal teknologi internet. Laju perdagangan menjadi semakin dipercepat dengan keberadaan fisik masih di tempat. Yang cepat adalah pergerakan pemikirannya dan datanya. Sementara fisik tetap sama berada di lokasi rekreasi atau di mana pun berada. Bahkan, mungkin anda bisa mengontak satu marketplace dan melakukan transaksi jual beli, sementara anda (maaf!) masih berada di kamar kecil, atau bahkan sedang menyuapi seorang bayi. 

Tapi, laju ini masih belum melewati tol arus yang lengang dari lalu lintas data. Anda sedang mentransfer uang ke rekening tabungan lain, hakikatnya anda sedang berjalan ke bank, lalu mengisi dokumen transfer ke bank, lalu mendebit uang untuk dikirimkan ke sejumlah rekening tertentu itu. Jadi, masih tiga alur atau bahkan lebih. Dari anda, ke bank anda, ke bank kawan anda, lalu baru ke kawan anda. Empat poin jalur. Padahal transaksi, sudah bisa dilakukan dengan kontak langsung. Mengapa tidak langsung saja ada wasilah media tukar yang menghubungkan anda secara langsung ke kawan anda? Jika anda adalah blockchain dan kawan anda juga seorang blockchain, kenapa tidak langsung saja transaksi dari blockchain ke blockchain, atau peer to peer (P2P)? Bukankah ini lebih menyingkat?

Untuk itulah diciptakan sebuah wasilah pertukaran P2P dengan kesepakatan berupa alat tukar yang disepakati kedua block tersebut. Lalu, bentuk alat tukar seperti apa yang tepat guna menjadikan P2P itu tetap berlangsung tentunya dengan basis digital? Sudah pasti dalam hal ini, jika wasilah terakhir ini diciptakan, maka harus ada sifat bisa terjaga atas keamanan perantara tersebut, dan sekaligus tidak mudah dipalsukan secara elektronik. Akhirnya ditemukan yaitu sebuah sandi khusus cryptography yang selanjutnya menjadi basic dari  cryptocurrency. 

Bagaimana Cryptocurrency Memiliki Nilai Tukar?

Agaknya, kasus cryptocurrency ini kedudukan 'ainiyah-nya menyerupai era di mana uang kertas masih berjamin emas. Cryptocurrency memiliki nilai tukar dengan tetap mengacu pada nilai mata uang konvensional. Misalnya kita ambil contoh Bitcoin. 1 BTC misalnya berharga 1000 USD. Secara fiqih kita membacanya bahwa 1 BTC merupakan bukti kepemilikan atas 1000 USD. Kita sebut sebagai bukti kepemilikan, karena yang berlaku sebagai alat tukar dalam transaksi bisnis adalah mata uang konvensionalnya dan bukan Bitcoinnya. Mengapa? Karena Bitcoin merupakan mata uang virtual yang tidak bisa dicetak, tapi diakui sebagai alat bantu kepemilikan yang bisa diuangkan.

Hari ini, setidaknya sudah ada tiga lokasi mesin ATM. Beberapa sumber yang sempat dirujuk oleh penulis, mesin ATM ini berfaedah sebagai alat pengonversi dari BTC ke USD, atau IDR (rupiah). Berangkat dari sini, jelas sudah kedudukan BTC yang merupakan salah satu dari contoh cryptocurrency. Dalam bahasa pasar modal, tampaknya BTC ini menyerupai efek yang diterbitkan. Sebagai efek, maka ia memiliki nilai jaminan. Dan sayangnya, kali ini cryptocurrency masih menunjukkan gejala fluktuatifnya yang tinggi. Harga crypto hari ini, bisa jadi berbeda dengan harga crypto pada hari esok. Wallahu a'lam bish shawab.

Ustaz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur