Athor Subroto : 'Kita harus mendukung Omnibus Law'

diskusi terbuka

Depok - Foreign Policy Community Of Indonesia (FPCI) Chapter Universitas Indonesia, bekerja sama dengan yayasan Ahimsa dan Origami, gelar diskusi terbuka, Jumat (24/01/2020) pukul 15.30Wib-18.00 Wib, di Walking Drums Margonda, Jalan Margonda Raya No. 426, Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat.

Diskusi tersebtu mengangkat tema “Efektivitas dan Peluang Penyederhanaan Regulasi dalam Omnibus Law“.

Kegiatan dihadiri 70 orang dari elemen masyarakat, mahasiswa, pemuda, Kota Depok dan Jakarta.

Bertindak selaku narasumber yaitu M. Syahwan Arey, MH (LBH Ansor Pusat), M. Iwan Setiawan, MH (Ahli Hukum Tata Negara Unila), Roziqin, SH, Msi, CLA,Cfra (Dosen Univ. Nahdlatul Ulama Indonesia),   Hendri Wijaya ( Kepala Biro Perencanaan Perundang Undangan Kemenaker), dan Athor Subroto, Ph.D (Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI).

s

M. Syahwan Arey, MH (LBH Ansor Pusat),  mengatakan Program Omnibus Law terkesan terburu-buru. “Andaikan program ini makanan maka ini makanan baru dan bisa saja alergi bagi masyarakat Indonesia. Para pakar hukum mengatakan kenapa banyak tumpang tindih peraturan baik yang ada di Pusat maupun daerah dan siapa yang menyebabkan banyak regulasi tumpang tindih? Jawabannya Pemerintah itu sendiri”, ungkapnya.

Lanjutnya, bagaimana kalau program Omnibus Law hadir hanya untuk mensejahterakan pemerintah dan investor, bukan mensejahterakan masyarakat. Dikhawatirkan program Omnibus Law bisa saja membuat tenaga asing dengan mudahnya masuk dan bersaing dengan masyarakat, sehingga SDM kita kalah dalam bersaing.

“Pemerintah punya ketakutan dan mencoba mengganti sistem dengan cepat tanpa memikirkan dampak yang terjadi di masyarakat dalam  jangka panjang. Dikhawatrikan apabila disahkan maka akan ada hak masyarakat yang diganggu.  Pemerintah harus berpikir ulang tentang Omnibus Law, apakah keputusannya dapat mensejahterakan rakyat atau malah menguntungkan Pemerintah dan investor. Ketika Omnibus Law diberlakukan apakah akan mempermudah investasi di Indonesia. Pemerintah harus  melihat apakah program ini sudah masuk dalam program lesgilasi nasional”, jelasnya.

Sementara disampaikan M. Iwan Setiawan, MH (Ahli Hukum Tata Negara Unila) bahwa Omnibus law seperti UU sapu jagat, pada prinsipnya Omnibus Law di Luar Negeri tidak di praktekan dengan civil law tapi common law. Civil law identik dengan administratif. Karena akibat sistem hukum yang civil law dimana tidak ada UU tidak ada hukum akan terjadi overload.

Dijelaskannya, pada Omnibus Law dikhawatirkan tidak berjalan efektif akibat disharmoni kebijakan. Hal ini karena adanya  pergantian rezim pemerintahan baik pada tingkat Pusat maupun daerah.  Berbeda Pemerintahan berbeda kebijakan, ditakutkan nantinya akan seperti itu. Contoh masalah penanganan banjir di Jakarta kebijakan zaman Gubernur Ahok berbeda dengan zaman Anis Baswedan. Ahok melakukan revitalisasi sementara Anis Baswedan Naturalisasi.

Perda tahun 2019 di Pemerintahan pusat banyak peraturan-peraturan yang dibatalkan. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang kurang memahami permasalahan. Banyak peraturan yang kemudian hanya ada hitam diatas putih dan tidak bisa diimplementasikan. Biasanya karena melanggar asasnya, atau bersinggungan dengan perda yang berada diatasnya.

“Jokowi berharap pada program Omnibus Law ini menginginkan  investor  mudah datang dan birokrasi tidak jelimet dengan adanya pelayanan satu atap dan sebagainya. Berbeda pemerintahan berbeda kebijakan hal itu yang dikhawatirkan masyarakat. Muncul over loud peraturan. Problematikanya banyak peraturan perundang - undangan yang kurang memahami permasalahan. Apakah Omnibus Law bisa dijalankan, apakah putus ditengah jalan karena tahun 2024 terjadi ganti pemerintahan. Cenderung mendukung terbentuknya pusat legislasi nasional seperti pada Kampanye Jokowi menjelang pemilihan Presiden kemarin”, paparnya.

Selanjutnya, Rosikin mengatakan OL dari sisi pemeberantasan korupsi. Akan menjadi UU penyederhanaan regulasi. Kalau ingin menyederhanakan regulasi untuk berantas korupsi kenapa tidak dari dulu saja dilakukan? Ditakutkan hal ini hanya sebagai paket Pilpres.

“UU yg dibuat tidak gratis, biasanya sudah ada perjanjian antara Pemerintah dan oknum-oknum yang punya kepentingan. Kalau alasannya hanya karena tumpang tindih peraturan kenapa tidak dilakukan dari dulu. Untuk menjadi UU perlu perjalanan panjang. Tetapi yang terjadi malah banyaknya tumpang tindih peraturan. Dan sekarang mau dibuatkan aturan demi menghapuskan peraturan yang tumpang tindih”, terangnya.

“Pada Omnibus Law, Pemerintah sedang menggodok substansi namun kultur dan infrastruktur tidak diperhatikan. Kultur birokrat dilayani bukan melayani, apakah infrastruktur di daerah  sudah siap dalam menyederhanakan regulasi. Sudah siap dalam perizinan terpadu. Program revolusi mental pemerintah masih terjadi korupsi, oleh karenanya program Omnibus Law sebaiknya draft atau substansinya masyarakat dapat mengetahuinya agar dapat memberikan masukan. Jangan sampe ganti pemerintahan ganti kebijakan sehingga masyarakat yang dirugikan”, sambungnya.

Kemudian, Hendri Wijaya (Ka Biro Perencanaan perundang-undangan Kemenaker RI) mengatakan  Perekonomian Indonesia masih berada dibawah negara tetangga. Kondisi ini dipicu karena banyaknya pengangguran, tidak adanya perjanjian pada pekerja informal sehingga tidak dilindungi oleh regulasi yang ada.

“Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ada 11 klaster, salah satunya ketenagakerjaan. Perlambatan ekonomi dunia sangat berdampak pada perekonomian Indonesia. Beberapa permasalahan politik di luar negeri misal yang ada di negara Hongkong dan Korea bisa mempengaruhi iklim investasi di Indonesia. Omnibus Law ada untuk menghilangkan tumpang tindih Peraturan Perundang Undangan,  dan nantinya akan menyederhanakan regulasi yang ada. Konsesi Omnibus Law, terlalu banyaknya peraturan Perundang Undangan dari berbagai sektor”, terangnya menuturkan.

Ia menilai, Omnibus law menyederhanakan regulasi yang sudah ada.  Permasalahan yang membuat iklim investasi di Indonesia kurang bersaing karena adanya berbagai UU yang dinilai menghambat investasi. Omnibus Law tidak mengambil semua UU yang sudah ada, hanya UU yang dapat menghambat regulasi.

“UU no 13 melindungi pekerja dari PHK. Peningkatan perlindungan pekerja dan perluasan lap kerja, ada 3 sub klaster pekerja kontrak, alih daya dan waktu kerja. Upah yang dihitung per jam nyatanya dapat lebih tinggi dibanding upah bulanan. Namun memang upah yang dihitung per jam tidak berlaku untuk pekerja”, jelasnya.

Hal sama juga dikatakan Athor Subroto, bahwa menurutnya Kita harus mendukung Omnibus Law, karena  Omnibus Law merupakan aturan yang baik dan kita harus mengikuti apapun yang bersifat baik. Dari klaster yang ada didalam Omnibus Law harus benar-benar dapat mencakup aturan-aturan yang memang menghambat regulasi.

Diharapkan dengan adanya peraturan ini dapat menyederhanakan regulasi, dapat membuat investor mudah masuk ke Indonesia. Apabila semua terhambat, maka pereknomian Indonesia akan dengan mudahnya menurun. Dan semoga semua aturan yang ada dapat mensejahterkan semua kalangan masyarakat. (AA)