Atasi Radikalisme Melalui Pendidikan di Sekolah

ilustrasi

Oleh : Muhammad Zakie )*

Kaum radikal makin ‘menggila’ bahkan tak segan memangsa anak sekolah untuk dijadikan kader barunya. Mereka beroperasi lewat dunia maya dan menciptakan imaji seolah-olah jadi anggota kaum radikal itu keren dan diganjar dengan surga. Untuk mencegahnya, kita bisa membuat kurikulum baru di sekolah untuk mencegah bahaya radikalisme.

Radikalisme adalah paham yang ingin mengubah Indonesia dari negara yang berazas Pancasila menjadi kekhalifahan. Untuk mencapai tujuannya, mereka bahkan menggunakan kekerasan seperti pengeboman dan penyerangan terhadap aparat. Kaum radikal juga menggunakan internet untuk menyebarkan ajarannya dan ingin merekrut generasi muda.

Mengapa harus generasi muda? Karena mereka lebih kritis dalam memandang segala sesuatu dan masih dalam tahap mencari jati diri. jadi relatif mudah terkena rayuan kaum radikal. Untuk mencegah remaja mengikuti ajaran mereka, maka perlu ada pelajaran tentang anti radikalisme di sekolah. Jadi mereka tahu bahwa radikalisme itu terlarang.

Pendidikan anti radikalisme ini bisa diberikan mulai dari tingkat SD, bahkan TK. Yang pertama adalah dengan menanamkan nasionalisme ke dalam jiwa para murid. Caranya dengan membawa mereka ziarah ke taman makam pahlawan. Misalnya menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia, di hari pahlawan, dan lain-lain.

Dalam perjalanan menuju TMP, maka murid bisa didongengi tentang kepahlawanan. Mereka juga bisa diajak pula untuk menonton film-film tentang perjuangan dan mengunjungi museum ABRI. Belajar dengan cara ini lebih efektif daripada sekadar menyimak omongan guru di kelas dan murid jadi terpantik rasa nasionalismenya.

Untuk memberikan pendidikan anti radikalisme tidak perlu dengan membuat mata pelajaran khusus, namun bisa disisipkan di pelajaran sejarah. Yang ditekankan adalah adalah cerita sebelum Indonesia merdeka. Jadi mereka tahu bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan dari banyak orang, bukan hanya dari 1 golongan atau agama.

Selain di pelajaran sejarah, maka pendidikan anti radikalisme juga bisa disisipkan di pelajaran agama. Diajarkan bahwa dalam agama tidak hanya fokus pada hubungan kepada Tuhan, tapi juga sesama manusia. Murid harus toleran terhadap orang yang beragama lain dan saling menghormati.

Guru agama juga menekankan bahwa setiap murid yang taat harus menerapkan agama dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi toleran juga jadi cara untuk taat beragama. Indonesia adalah negara yang terdiri dari 6 agama, jadi harus saling menghormati.

Selain pelajaran tentang toleran, maka guru agama juga bisa mengajarkan tentang sejarah perang dan jihad. Di era milenial ini perlu ada pelurusan makna jihad adalah dengan berjuang, bukan dengan melawan orang lain yang tidak seagama. Jihad adalah kerja keras, bukan dijalani dengan jalan kekerasan dan pengeboman.

Begitu juga dengan istilah negara kekhalifahan. Guru menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang terdiri dari banyak suku dan agama. Jadi tidak bisa diubah begitu saja menjadi negara kekhalifahan. Konsep negara kekhalifahan sangat tidak mungkin untuk diterapkan di Indonesia, karena masyarakatnya tidak hanya datang dari 1 agama saja.

Selanjutnya, dalam pelajaran anti radikalisme, juga bisa diceritakan tentang kasih sayang. Bukankah sudah dicontohkan bahwa Nabi adalah orang yang sabar dan penyayang? Beliau tidak pernah meneriaki orang yang beragama lain dengan sebutan ‘kafir’. Sudah seharusnya kita meniru beliau yang penyayang dan toleran, dan tidak pernah mengajarkan jalan kekerasan.

Pembelajaran tentang anti radikalisme di sekolah diperlukan sejak dini karena murid bisa memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Murid juga diajari tentang sejarah perjuangan para pahlawan dan jadi orang yang toleran terhadap sesama. Mereka jadi paham apa bahaya radikalisme dan tidak mudah dipengaruhi oleh kaum radikal.

)* Penulis aktif dalam Pustaka Institute